Selasa, 16 Desember 2008

Profil

Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

Dasar Pemikiran

Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp), yang lahir pada 24 November 2008 merupakan gerakan pemikiran progresif yang berkomitmen meneruskan dan mengembangkan tradisi intelektual Prof. Satjipto Rahardjo, seorang pemikir dan sekaligus penggagas lahirnya paradigma hukum progresif. Keprihatinan Prof. Tjip (sebutan akrab bagi sang guru) terhadap keterpurukan hukum di Indonesia, yang dinyatakan baik berupa wacana lisan maupun tulisan, sering membuat banyak kalangan terhenyak dan membuat para akademisi hukum dan praktisi hukum mengernyitkan kening. Salah satu kritiknya yang fenomenal ialah “bahwa hukum itu sudah cacat sejak dilahirkan”. Hal ini sejatinya adalah sebuah tragedi hukum. Masyarakat diatur hukum yang penuh cacat, karena ketidakmampuannya untuk merumuskan secara tepat kebutuhan dan persoalan yang ada di masyarakat, akibatnya masyarakat diatur oleh hukum yang sudah cacat sejak lahir.

Gerakan pemikiran hukum progresif tidak akan mudah ‘dibaca dan dipahami’ apabila hanya bermodalkan pemikiran normatif-positivistik yang cenderung mengerdilkan ilmu hukum. Apalagi jika ilmu hukum menutup diri dari berbagai disiplin ilmu yang lain. Seyogianya penegak hukum bahkan kita semua harus berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang hanya bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan an-sich. Sebab hukum bukanlah semata-mata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep nonhukum. Hukum harus pula dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang senyatanya dan dapat diterima oleh dan bagi semua insan yang ada di dalamnya.

Hukum progresif adalah salah satu terapi terhadap krisis hukum Indonesia saat ini menuju masa depan. Gagasan ini akan selalu mengalir, yang tidak mau terjebak dalam status quo, dan secara progresifitas melakukan gema pencarian, pembebasan dan pencerahan; yaitu memobilisasi secara cepat dan melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan bagi kemandegan penegakan hukum saat ini. Bila demikian, gema tersebut akan sampai kepada pandangan filosofis bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan hukum itu hadir bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.

Berangkat dari itu semua, Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp) mendedikasikan diri sebagai lembaga studi independen yang mengedepankan pengkajian terhadap persoalan-persoalan kontemporer yang berkaitan dengan hukum, negara, dan masyarakat. Lshp juga akan berupaya mengembangkan serta mempublikasikan karya dan gagasan dalam tradisi pemikiran progresif, sebagai apresiasi dan turut serta dalam memperluas wacana pengembangan ilmu hukum baik itu secara teoritis dan praksis hukum.

Kajian & Opini

Kajian Hukum dan Masyarakat

Gejala penetrasi hukum yang semakin meluas ke dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat menyebabkan, perkaitannya dengan masalah-masalah sosial juga menjadi semakin intensif. Keadaan ini menyebabkan, bahwa studi terhadap hukum harus memperhatikan pula hubungan antara tertib hukum dengan tertib sosial yang lebih luas. Kajian tentang hukum dan masyarakat ini akan memperhatikan bagaimana bekerjanya hukum yang mengajarkan keteraturan dan manakala menemukan ketidakteraturan dalam masyarakat.

Kajian Dinamika Politik dan Konstitusi

Kehadiran politik dalam masyarakat dapat dilihat dari bermacam-macam sudut. Memandang dan memahami politik, tidak hanya dalam batas-batas ilmu politik itu sendiri. Jika diamati dalam konteks yang lebih luas, politik itu tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Penempatan politik dalam konteks yang luas itu, membawa kita kepada pembicaraan tentang dinamika politik dalam hubungannya dengan konstitusi suatu negara. Peran politik sangat besar dalam melegitimasi lahirnya sebuah konstitusi setiap negara. Sementara itu konstitusi memberikan panduan penting bagi bangsa dan negara tentang ke arah mana demokrasi dan nilai-nilai hak asasi manusia selanjutnya akan berjalan. Fokus kajian ini tidak melihat konstitusi semata-mata hanya sebagai dokumen hukum, melainkan suatu alam pikiran yang mengandung pergulatan kemanusiaan, yang tidak terlepas dengan dimensi sosial, kultural, ekonomi, politik, maupun lainnya.

Kajian Hukum Progresif

Ilmu hukum progresif adalah tipe ilmu yang selalu gelisah melakukan gema pencarian, pembebasan dan pencerahan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena memang hakikat ilmu adalah; mencari kebenaran. Hukum progresif juga menempatkan diri sebagai kekuatan pembebasan, yaitu membebaskan diri dari tipe berfikir normatif-positivistik. Sekalian dengan proses transformasi hukum yang lebih mengutamakan tujuan dari pada prosedur, merupakan komitmen hukum progresif yang mencerahkan. Kajian hukum progresif akan terlihat bentuknya, manakala ia diberi kesempatan untuk melakukan kritik-konstruktif terhadap fenomena penegakan hukum, politik, sosial, dan budaya, maupun tentang aspek-aspek kemasyarakatan yang beragam secara nasional.

Mobilisasi Sikap dan Opini

Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp) akan secara intensif mengembangkan tradisi pemikiran progresif, serta membangun sensitifitas sikap dan opini masyarakat melalui karya-karya publikasi, sebagai sebuah koreksi mendasar atas bekerjanya hukum yang mengajarkan keteraturan dan sekalian menemukan ketidakteraturan.

Struktur Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

Ketua : Faisal, S.H.
Sekretaris : Andresah, SE.

Bidang Kajian Hukum dan Masyarakat :
Direktur Bidang : Munawir, S.H.

E-mail :

Bidang Dinamika Politik dan Konstitusi :

Direktur Bidang : Amar Abdullah Arfan, S.H.

E-mail : amar_83@telkom.net

Bidang Kajian Hukum Progresif :

Direktur Bidang : David Antony, S.H.

E-mail : alfarabie_idiolizm@yahoo.com

Bidang Mobilisasi Sikap dan Opini :

Direktur Bidang : Hamiko Senota, S.H.

E-mail : garis.depan@yahoo.co.id

Lshp Universitas Muhammadiyah Yogyakarta : Koordinator Kurnia Yulianto

(E-mail;kyan_gie@yahoo.co.id)

Lshp Universitas Gajah Mada : Koordinator Zulfakar

(E-mail;mr_zulvakar@yahoo.com)

Lshp Universitas Janabadra Yogyakarta : Koordinator Deni Ismail Pamungkas

(E-mail; deni_kurt84@yahoo.com)

Lshp Universitas Islam Indonesia : Koordinator Jayanti Puspitaningrum

(E-mail; jai_papua@yahoo.com.)

Lshp Universitas Wahid Hasim Semarang : Koordinator M. Shidqon Prabowo

(E-mail;kaji_blink@yahoo.com )

Lshp Universitas Padjajaran Bandung : Koordinator Eka Haryani

(E-mail; eka_anhar@yahoo.com)

Lshp Universitas Airlangga Surabaya: Koordinator Vivin Ika Widya Ariyanti

(E-mail; ash_segaf@yahoo.com)

Lshp Universitas Hasanuddin Makasar : Koordinator Fajlurahman Jurdi

(E-mail; rahman.jurdi@yahoo.co.id)

Lshp Universitas Sriwijaya Palembang : Koordinator Hamiko Senota

(E-mail; garis.depan@yahoo.co.id)

KONTAK Lshp

Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)
Kantor
Lshp ;
Jl. Sidikan No. 21 Yogyakarta 55161 INDONESIA

Telepon : 0852 28 378 988
E-mail : progresif_lshp@yahoo.com
Website :


Kumpulan Artikel Lshp

MENGGAGAS PEMBAHARUAN HUKUM

MELALUI STUDI HUKUM KRITIS

A. Pendahuluan

Pencermatan mengenai bagaimanakah kondisi hukum seutuhnya yang terjadi di seputaran kita selalu mengusik dalam setiap perenungannya. Dalam suasana keterpurukan seperti sekarang ini kita terdorong untuk mengajukan berbagai pertanyaan mendasar, seperti; kita bernegara hukum untuk apa? Apakah hukum itu hanya semata-mata untuk mengatur masyarakat atau untuk suatu tujuan yang lebih besar?. Tulisan ini ingin mengajak pembaca berpikir bahwa pada akhirnya pengaturan oleh hukum tidak sah semata-mata memenuhi agenda keadilan prosedural, tetapi karena mengejar suatu tujuan dan cita-cita tertentu; yaitu meletakkan hukum pada ruang sosial yang lebih luas.

Formalisme hukum disinyalir telah menjadi salah satu sebab ambruknya penegakan hukum.

Kegagalan dalam penegakan dan pemberdayaan hukum ditengarai oleh sikap positivistik dalam memaknai negara hukum. Rusaklah negara hukum kita dan celakalah bangsa kita bila negara hukum sudah direduksi menjadi “negara undang-undang” dan lebih celaka lagi manakala ia kian merosot menjadi “negara prosedur”. tidak peraturan perundangan itu suatu saat hanya akan menjadi kumpulan kertas yang tidak memiliki daya mengikat terhadap masyarakat, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.

Kerisauan dan kegalauan di atas menjadi pijakan berpikir dalam perenungan panjang untuk menentukan gagasan pembaruan hukum melalui studi hukum kritis yang berbasis progresif. Pembaruan hukum merupakan wujud imajinasi sebuah kesadaran baru yang menggeluti sebuah wilayah konseptual yang sangat luas. Di sana berbagai motivasi dan konsep pembaruan akan berkelit-kelindan yang menunjukkan tempat pembaruan hukum Indonesia saat ini.

Manakala proses pembaruan hukum demi terwujudnya kesadaran baru-tanpa bisa diingkari-merupakan bagian dari proses politik yang progresif dan reformatif. Di sini hukum dapat difungsikan sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat (tool of social engineering), entah yang diefektifkan lewat proses-proses yudisial atau yang diefektifkan melalui proses legislatif. Seperti apa yang dikatakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto (2007:95) mengatakan dalam fungsinya yang reformatif sebagai tool of social engineering itu, pembaruan hukum acapkali hanya diperbincangkan sebagai legal reform. Secara harfiah legal reform berarti pembaruan dalam sistem perundangan-undangan belaka. Kata legal berasal dari kata lege yang berarti ‘undang-undang’ alias materi hukum yang secara khusus telah dibentuk menjadi aturan-aturan yang telah dipastikan/dipositifkan sebagai aturan hukum yang berlaku secara formal. Dengan demikian, pembaruan hukum akan berlangsung sebagai aktivitas legislatif yang umumnya melibatkan pemikiran-pemikiran kaum politis dan/atau sejauh-jauhnya juga pemikiran para elit profesional yang memiliki akses lobi.

Bergeraknya proses pembaruan hukum yang membatasi perbincangannya pada pembaruan norma-norma positif perundang-undangan saja, membuktikan masih kokohnya watak keras positivisme hukum dalam pembangunan hukum kita saat ini. Alam pemikiran positivisme hukum menjadi jalan kelam masa depan legal reform, serta membuat hukum terisolasi dari dimensi sosial-masyarakat. Lantas tak heran, ketika fungsi legislasi sebagai pintu awal pembaruan hukum lebih sering mengedepankan konflik kepentingan politik melalui dalih-dalih prosedur legislasi dari pada mencerminkan dialektika subtansial.

Dalam konteks membebaskan hukum dari tawanan paham positivistik seperti itu, tulisan ini mengajak untuk mempertimbangkan gagasan melalui critical legal studies (“selanjutnya disingkat CLS” atau studi hukum kritis), yang berkembang di Amerika Serikat, dapat menjadi pijakan alternatif dari kemandegan pembaruan hukum Indonesia saat ini. CLS yang muncul dengan menentang habis-habisan pandangan dasar postivisme hukum yang merupakan doktrin hukum liberal; tentang netralitas, kemurnian dan otonomi hukum. CLS mengecam doktrin tersebut dengan menyebutnya tak lebih sebagai mitos belaka, karena dalam kenyataannya hukum tidak bekerja dalam ruang hampa, namun sangat ketat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan dimensi sosialnya. Satjipto Rahardjo (2007:169)

B. Agenda Membebaskan Hukum

Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan hukum itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia. Berawal, dari pesan pendek dari Satjipto Rahardjo; yang menjelaskan bagaimana memahami hukum sebagai relasi sosial selayaknya mewakili ekspresi kepentingan masyarakat.

Menjalankan hukum di Indonesia kini terancam kedangkalan berpikir, karena orang lebih banyak membaca huruf undang-undang daripada berusaha menjangkau makna dan nilai yang lebih dalam. Ini adalah rumusan kualitatif dari pengalaman empirik selama ini, seperti upaya menjalankan supremasi hukum, menangani koruptor-koruptor kelas kakap seperti terbebas dari jangkauan hukum, belum lagi pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia menikmati kebebasan dari hukuman; dan pemandangan kelam parodi lainnya. Alih-alih memberi kesejahteraan dan kebahagiaan kepada rakyat, supremasi hukum malah kehilangan pesonanya sebagai institusi keadilan.

Maka kesempatan untuk merenungkan apakah yang mendasari hukum telah mengalami degradasi cita-cita sosialnya. Kita memang seperti berkejaran dengan waktu, sehingga skeptis memikirkan soal yang lebih mendasar itu. Masalahnya barangkali terletak di sini, yakni pada paradigma hukum atau cara pandang yang selama ini mendasari praktik hukum kita. Paradigma positivisme yang selama ini menjadi ‘kaca mata’ kita dalam membaca realitas hukum barangkali sudah kehilangan relevansinya dalam menjawab problem sosial saat ini. Akibatnya kita memberikan jawaban dan solusi yang keliru pula. Pemeriksaan kembali secara kritis terhadap paradigma yang mendasari pandangan-pandangan kita selama ini mau tidak mau sepertinya harus dilakukan. Sudah saatnya masalah ini tidak membelenggu paradigma penegak hukum kita yang cenderung postivistik dalam penerapannya.

Seperti diketahui, kajian hukum di Indonesia yang secara geneologis berasal dari tradisi hukum Eropa Kontinental atau civil law (masuk melalui kolonial Belanda), berkembang di bawah bayang-bayang paradigma positivisme. Paradigma ini sebetulnya berasal dari filsafat positivisme August Comte (1798-1857). Positivisme merupakan paham yang menuntut agar setiap metedologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai sesuatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam pra-konsepsi metafisis yang subjektif sifatnya.

Diaplikasikan ke dalam pemikiran tentang hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum, sebagaimana dianut pemikir hukum kodrat. Karena itu setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkrit antara warga masyarakat. Hukum tidak lagi dikonsepsi sebagai asas moral meta-yuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex.

Masuknya arus utama aliran positivisme hukum itu ke bumi Indonesia, dalam perkembangannya menjadi saham pemikiran yang dominan. Positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum di negara-negara yang tengah tumbuh modern dan menghendaki kesatuan atau penyatuan hukum. Dinyatakan oleh Anthon F. Susanto (2008:80) bahwa positivisasi hukum selalu berakibat sebagai proses nasionalisasi dan etatisasi hukum, dalam rangka penyempurnaan kemampuan negara dan pemerintah untuk monopoli kontrak sosial yang formal melalui pemberlakuan atau pemberdayaan hukum positif.

Seakan-akan paradigma positivisme hukum dalam perjalanannya tidak pernah mengalami apa yang disebut oleh Kuhn sebagai anomaly; menjadi heran ia terus relevan digunakan untuk memandang atau membaca realitas hukum saat ini. Bukannya paradigma postivisme hukum memahami realitas hanya cenderung menggunakan teks-teks formal secara kaku. Dengan menekankan pada konteks tersebut, aliran hukum Critical Legal Studies Movement (Gerakan Studi Hukum Kritis) akan menampilkan pemikiran hukum yang menjadi oposisi dari paradigma postivisme hukum yang sedemikian dominan.

Gerakan CLS sudah menggejala pada tahun 1970an di Amerika Serikat, sebagai arus pemikiran hukum yang tidak puas dan menentang paradigma hukum liberal yang sudah mapan dalam studi-studi hukum atau jurisprudence. Dengan menengok pada perkembangan jurisprudence di tempat lain, wacana ingin mengajak melihat secara kritis permasalahan hukum di Indonesia, terutama dengan mengajak membebaskan kajian-kajian pembaruan hukum dari paradigma otorianisme kaum positivis yang sangat elitis.

Sebagai topik awal perhatian, CLS mengalihkan alur berpikir normologik ke arah nomologik, Ifdhal Kasim (1999:27). Sehingga pembacaan terhadap proses pembaruan hukum dapat dilakukan tanpa harus terjebak sebatas merubah/membuat sejumlah pasal dan ayat dalam undang-undang, lebih jauh gagasan pembaruan hukum juga mengena pada dasar-dasar paradigmatiknya. Sebagaimana analisis CLS, tidak semata-mata bertumpu pada teks, tetapi juga mengarahkan analisisnya pada konteks dimana hukum itu eksis, dan melihat hubungan kausal antara teks (doktrin hukum) dengan realitas.

C. Manifesto Studi Hukum Kritis; Kritik Terhadap Doktrin Hukum Liberal

Studi hukum kritis (critical legal studies) ini lahir dengan dilatarbelakangi oleh kultur politik yang serba radikal dalam dekade 1960an. Berawal dari sebuah pertemuan kecil di Wisconsin-Madison ‘Amerika Serikat’, bertepatan dengan diselenggarakannya Conference on Critical Legal Studies pada tahun 1977, medeklarasikan gagasan kritis sebagai sebuah gerakan penolakan status quo dan determinasi keberpihakan hukum terhadap politik. Meskipun gerakan-gerakan tersebut bervariasi dalam konsep, fokus dan metode yang dipergunakan, dalam gerakan ini mengandung kesamaan-kesamaan tertentu, terutama dalam hal protes terhadap tradisi dominan pemikiran doktrin hukum liberal, yang menurut mereka hanya sedikit sekali bisa digunakan untuk menjawab masalah-masalah keresahan sosial dan politik.

Melalui Roberto M. Unger, sebagai tokoh terdepan gerakan studi hukum kritis, mengenalkan diskursus ini sebagai suatu gerakan pemikiran dan wacana berwatak ‘progresif’, yang merasa tidak puas dengan kemapanan tradisi hukum liberal, dan ia berusaha menemukan pendekatan baru untuk menjelaskan peranan dan bekerjanya hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Yang dimaksud doktrin hukum liberal disini, ialah teori-teori hukum yang berakar dari tradisi pencerahan yang memisahkan hukum dari politik dan otonomi atau netralitas proses hukum dari intervensi politik, sehingga dilukiskan seolah-olah proses pembentukan hukum, pembaruan hukum, dan penegakan hukum terlepas dari nilai-nilai sosial, ekonomi, dan kompetensi dalam arena politik.

Menurut kalangan gerakan CLS, doktrin atau asas-asas hukum liberal itu tidak lebih dari suatu mitos saja. Karena, tidak dikonstruksikan oleh teorinya, proses-proses hukum bekerja bukan di ruang hampa melainkan bekerja dalam realitas yang tidak netral dan nilai yang ada dibelakangnya adalah subyektif. Maka dari itu, paraktik jurisprudence hukum liberal gagal menangani isu-isu seperti diskriminasi ras dan gender, ketidakadilan, kemiskinan, serta penindasan dan seterusnya.

Dalam kenyataannya bahwa CLS telah menjadi gerakan politik, karena ia ikut memprakarsai perubahan politik yang radikal. Maka, ketika hukum menciut ke dalam bidang politik, antara hukum dan politik sudah benar-benar menyatu yang tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Pada konteks yang lebih riil, penganut CLS percaya bahwa logika politik dan struktur hukum muncul dari adanya power relationships dalam masyarakat. Keberadaan hukum adalah untuk mendukung (support) kepentingan-kepentingan atau kelas dalam masyarakat yang membentuk hukum tersebut. Dalam kerangka pemikiran ini, maka mereka yang kaya dan kuat, menggunakan hukum sebagai instrumen untuk melakukan penekanan-penekanan kepada masyarakat sebagai cara mempertahankan kedudukannya, Satjipto Rahardjo (2006:53). Karenanya di dalam Critical Legal Studies: An Overview yang diterbitkan oleh Legal Information Institute Cornell Law School dikatakan, hukum sekedar diperlakukan sebagai a collection of beliefs. Maksudnya diartikan sebagai seperangkat keyakinan-keyakinan yang digunakan sebagai alat pengendali tertib sosial. Munir Fuady (2003:5).

Bertolak dari itu maka dapat diketahui bahwa, ide dasar studi hukum kritis adalah hukum tidak dapat dipisahkan dari politik, dan hukum tidaklah netral dan bebas nilai. Dengan perkataan lain, dalam pandangan studi hukum kritis, hukum di dalam kebijakan formulasi sebagai bentuk dari pembaruan hukum, hingga pada ranah kebijakan aplikasinya selalu mengandung pemihakan-pemihakan, sekalipun doktrin hukum liberal dibentuk keyakinan akan kenetralan, obyektifitas, prediktabilitas dalam hukum. Bahkan keberpihakan hukum pada kekuatan yang lebih dominan bisa terjadi karena sesungguhnya basis sosial hukum penuh dengan hubungan yang kompleks, tidak kaku, bahkan bisa mengarah pada keadaan tidak seimbang. Seperti apa yang dikatakan oleh Charles Sampford, apa yang di permukaan tampak teratur, tertib, jelas dan pasti sebenarnya adalah ketidakteraturan (disorder).

Pada tulisan I Nyoman Nurjaya (2008;168), mengatakan kritik kalangan pengikut CLS terhadap doktrin hukum liberal, bahwa doktrin tersebut bersifat incoherent, internally inconsistent, dan self-contradictory dengan kenyataan yang ada, karena proses-proses hukum bekerja tidak seperti dikonstruksikan oleh doktrin hukum liberal sebagai netral, objektif dan otonom dari proses-proses politik yang berlangsung dalam masyarakat dan kehidupan bernegara. Tetapi, justru yang terjadi sebaliknya, hukum bekerja dalam realitas yang tak netral dan nilai yang melekat di belakang hukum bersifat subyektif. Karena itu, terjadi inkonsistensi secara internal dalam struktur doktrin hukum liberal, yang tidak memberi penjelasan dan pemahaman yang koheren atau sesuai dengan kenyataan masyarakat. Dalam konteks ini, manifesto studi hukum kritis menegaskan bahwa doktrin hukum liberal membuat kita tidak mampu menjelaskan dan memahami secara koheren hubungan antara hukum dengan nilai-nilai dalam kehidupan sosial. Sehingga konklusi yang dapat diterjemahkan oleh gerakan studi hukum kritis, bahwa doktrin hukum liberal dipandang sebagai mitos belaka.

D. Pembaruan Hukum Dalam Perspektif Studi Hukum Kritis

Pembaruan hukum sangat erat sekali dengan kebijakan politik hukum, dalam rangka pembangunan hukum nasional, meletakkan kebijakan pembaruan sebagai suatu pernyataan kehendak negara mengenai arah perkembangan hukum yang ingin dibangun pada masa yang akan datang (ius constituendum). Kebijakan pembaruan hukum tidak akan terlepas dari ruang lingkup politik, karena pembaruan ini dibangun atas dasar kepentingan publik, melalui keterwakilan aparatur negara berdasarkan otoritas politiknya. Dengan demikian, proses kebijakan pembaruan hukum menjadi sangat rentan dari pengaruh prosedur dan pilihan-pilihan legislatif, yang menjadi bagian dari sistem pembuatan hukum yang sarat nilai karena melibatkan proses perebutan kepentingan dalam masyarakat.

Maka, menyadari realitas sebagaimana yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, hukum dapat diakui sebagai subsistem yang tanpa terelakkan akan berhimpit struktur dengan subsistem politik, kemudian juga dengan subsistem sosio-kultural. Hukum tidak hanya bertumpu pada segi-segi doktrinal semata, yang mengandalkan metode deduktif (melalui silogisme logika formal), tetapi juga mempertimbangkan faktor nondoktrinal seperti; pengaruh faktor sosial, ekonomi, dan politik dalam proses pembaruan hukum.

Pembaruan hukum dalam perspektif studi hukum kritis, dengan mengutip pendapat Duncan Kennedy melalui metode “elektis”nya lebih memberi perhatian pada upaya bagaimana mengungkapkan doktrin hukum yang diciptakan dan bagaimana ia berfungsi mensahkan suatu sistem sosial tertentu. Artinya, sebelum melakukan analisis hukum diperlukan pemahaman yang memadai mengenai segi subtansi dan doktrinal hukum atau yang disebut “internal relation”, kemudian baru dikaitkan dengan realitas hubungan sosial, ekonomi dan politik yang disebut “external relation”. Jadi, terdapat perbedaan analitis antara subtansi dan struktur internal pemikiran hukum di satu pihak, dan variable-variabel di luar hukum yang kemungkinan bakal mempengaruhinya. Untuk memahami realitas hubungan sosial, politik dengan hukum, maka digunakan pendekatan elektis dengan mengaitkan segi internal relation dengan segi external relation.

Dengan demikian, hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan merupakan resultante dari berbagai proses interaksi dan negosiasi berbagai kepentingan di antara faksi-faksi dalam masyarakat dan negara. Jadi, analisis untuk memahami pembaruan hukum haruslah diarahkan kepada realitas kekuatan-kekuatan sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat. Metode analisis CLS sangat terbuka untuk digunakan mengkritisi fenomena pembaruan hukum yang berlangsung di Indonesia. Misal, dengan hadirnya Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dipandang sebagai produk hukum nasional pertama di bidang pengelolaan sumber daya alam. Selain Pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi negara, UUPA juga menjadi dasar hukum pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang terwujud sebagai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam perspektif CLS pembaruan hukum semacam ini, yang disebutkan oleh Pasal 33 UUD 45 dan UUPA mencerminkan dominasi negara dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, sehingga mengabaikan keberadaan hak-hak masyarakat adat atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Bukannnya masyarakat adat ada di tanah air Indonesia jauh sebelum adanya konstitusi negara ini. Akan tetapi, mengapa implementasi hak-hak masyarakat adat dibatasi dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Implikasi yang muncul kemudian selain pengabaian atas akses, kepentingan dan hak-hak masyarakat adat juga pengabaian atas kenyataan kemajemukan hukum (pluralisme hukum), karena hukum negara menggiring ke arah individualisasi hak-hak komunal masyarakat adat, dan proses individulisasi tanah-tanah komunal menjadi komoditi bercorak komersial.

Dalam konteks sosial, kebijakan pembaruan hukum dalam upaya merancang sistem hukum yang baru, mesti berangkat dari kebutuhan-kebutuhan dan wajah empirik kemajemukan hukum bangsa. Karena kemajemukan hukum bangsa berujung pada kebutuhan hukum yang berbeda dan juga pengalaman hukum yang berbeda, penyajiannya harus sesuai dengan situasi empirik wajah sosio-kultural masyarakat Indonesia yang beranekaragam. Sehingga praktek terhadap gagasan-gagasan pembaruan hukum tersebut bisa dibumikan tanpa resistensi. Itulah kemudian, jika wacana pembaruan hukum hanya dimengerti membuat/mengubah pasal-pasal saja, kemudian juga hanya menggunakan pendekatan hukum, tanpa melibatkan pendekatan lain sebagai pertimbangan rasional dalam kebijakan pembaruan hukum. Artinya, gagasan pembaruan hukum Indonesia harus menyentuh wilayah paradigmatiknya, yang berangkat dari konsep dasar cita-cita hukum bangsa, sehingga kebijakan itu tidak menuju pada pemaksaan kaidah sosial masyarakat tertentu kepada masyarakat lain yang memiliki nilai dan kebutuhan hukum yang berbeda.

E. Simpulan

Gagasan tentang pembaruan hukum di Indonesia yang terutama bertujuan untuk membentuk suatu hukum nasional, tidaklah semata-mata bermaksud untuk mengadakan pembaruan (ansich), akan tetapi juga diwujudkan menuju pembaruan hukum yang berwatak progresif, yang mana kebijakan pembaruan hukum merupakan konkretisasi dari sistem nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya kesesuaian antara hukum dengan sistem-sistem nilai tersebut. Konsekuensinya adalah bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan pembaruan hukum, atau sebaliknya. Layaknya apa yang telah di jelaskan oleh studi hukum kritis, bahwa memahami pembaruan hukum haruslah diarahkan kepada realitas kekuatan-kekuatan sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat. Jika demikian, kerangka pembaruan hukum Indonesia, harus berlangsung atas dasar prinsip cita hukum bangsa yang selalu menjadi asas umum yang memandu terwujudnya cita-cita dan tujuan negara. Sehingga hasil dari pembaruan hukum nasional tetap dapat menjaga/memelihara integritas bangsa baik secara ideologis maupun secara teritorial. Kemudian juga membuka jalan bahkan menjamin terciptanya keadilan sosial, sehingga negara dapat tampil secara demokratis.

Referensi

H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum “Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali”, Cet IV, Refika Aditama, Bandung, 2008.

Ifdhal Kasim, Gerakan Studi Hukum Kritis, terjemahan ELSAM, Jakarta, 1999.

I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam “Dalam Perspektif Antropologi Hukum”, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2008.

Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis “Paradigma Ketidakberdayaan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

_______________, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Buku Kompas, 2007.

Soetandyo Wignjosoebroto, Pembaharuan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Lihat Dony Donardono, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta, HuMa, 2007.

ANTINOMI NILAI SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DAN POSITIVISME HUKUM;

MEMBACA REALITAS PERTUMBUHAN KORUPSI PARLEMEN[1]


F. Pendahuluan

Sejak terpilihnya Antasari Azhar menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) publik mendapat sajian drama berlakon: ‘Rangkaian penangkapan koruptor serta proses pengusutan beberapa kasus korupsi’. Layaknya suatu drama semakin kedepan akan terus menyajikan adegan menarik dalam setiap episodenya. Itu sebabnya muncul paham bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya, sehingga sering kita mendengar bahwa perbuatan “korupsi itu biasa” karena terjadi nyaris di semua sektor dan lapisan masyarakat.

Realitas pertumbuhan korupsi di Indonesia sudah memasuki level “top markotop[2], hal ini tidak saja dilihat dari akumulasi hasil korupsi akan tetapi pelaku/aktor koruptor telah melibatkan penegak hukum dan legislator sebagai pihak yang teradili. Setidaknya penangkapan Irawady Joenoes (Anggota Komisi Yudisial) dan Urip Tri Gunawan (Ketua Tim Penyelidik Kasus BLBI Kejaksaan Agung) merupakan potret lemahnya penegakan hukum kita saat ini. Belum lagi gosip jalanan yang di ungkapkan beberapa lalu oleh group band Slank, bahwa di parlemen tidak sedikit mafia gentayangan mencari proyek uud “ujung-ujungnya duit” dan ternyata hal itu tidak sekedar gosip melainkan fakta yang tertunda, karena beberapa hari setelah polemik lirik gosip jalanan Al Amin N (Fraksi PPP) di tangkap oleh KPK atas tuduhan menerima uang suap dari Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan dalam kasus mempermudah proses alih lahan hutan produksi. Tidak hanya sampai disitu, kabar terakhir Bulyan Royan dan Yusuf Emir Faishal (Anggota DPR) juga meramaikan dan memperpanjang rentetan pertumbuhan korupsi di parlemen, dan sampai hari ini sudah tercatat 6 (enam) orang anggota dewan telah resmi dinyatakan menjadi tersangka oleh KPK.

Meningkatnya pertumbuhan korupsi saat ini, tidak terlepas dari nilai positivisme hukum buram berlatar suram sehingga membuat pemberantasan korupsi mengambil jalur lambat. Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) hukuman penjara yang dikenakan pengadilan kepada para terpidana korupsi rata-rata 2-5 tahun saja.[3] Mengapa hakim menjatuhkan hukuman penjara yang rendah, sekalipun publik menghendaki lain?. Kausanya adalah dalam memutuskan kasus korupsi hakim banyak memberikan keputusan yang sifatnya positivistik berangkat dari akar kepastian hukum berlandaskan dengan mengeja pasal-pasal tanpa melihat ejaan penderitaan rakyat akibat perbuatan korupsi. Jadi tak heran ketika persoalan keadilan kehilangan makna dalam mimbar penghakiman. Memang tidak sulit menjumpai paraktik positivisme hukum, sebab ia tidak jauh dari kita. Akibatnya, mudah pula ia mengambil keadilan dari kita hanya dengan dalih menjaga yang telah diletakkan dan diberlakukan oleh hukum.

Paradigma positivisme hukum dalam menjelaskan dan menyelesaikan masalah cenderung menganut ajaran legisme dan analitical jurisprudence yang semua itu merupakan pendekatan tradisional. Ajaran legisme menekankan bahwa hakikat hukum adalah hukum yang tertulis (undang-undang), artinya di luar undang-undang tidak termasuk hukum. Sedangkan ajaran analitical jurisprudence menegaskan bahwa hukum seyogianya dipandang dari segi hukum positif, dengan dalih; bahwa sistem hukum merupakan sistem yang tertutup dan karena itu segala masalah hukum harus disoroti secara yuridis pula.[4] Pendekatan tradisional tersebut memiliki kelemahan, yakni tidak mampu mengungkapkan realitas hukum dan pertumbuhan korupsi secara holistik, karena mengabaikan dimensi sosial serta cita-cita hukum suatu bangsa. Padahal, dalam kenyataannya hukum tidak bisa memungkiri hubungan timbal baliknya dengan masyarakat atau lingkungan sosial di mana hukum itu berlaku dan diterapkan. Dengan demikian pendekatan tradisional itu yang mengilhami menyebarnya paham positivisme hukum dan mengabaikan tujuan bahwa hukum untuk melayani kepentingan manusia dan bukan sebaliknya.

Sehingga tak heran hadirnya undang-undang 31/1999 tentang korupsi saat ini belum sepenuhnya mewakili cita-cita bangsa untuk dengan segera bebas dari budaya koruptif. Dalam kajian pembahuruan hukum pidana, Prof. Barda Nawawi Arief mengatakan banyak sekali terdapat kelemahan yang mengandung masalah yuridis materiel dalam undang-undang korupsi tersebut.[5] Paling tidak yang paling subtantif yaitu; mengenai efektivitas sanksi pidana mati sebagai efek jera terhadap koruptor ternyata mustahil dapat diterapkan oleh hakim. Karena syarat mutlak untuk mengenakan sanksi pidana mati, bahwa ketika korupsi dilakukan negara dikatakan dalam keadaan krisis moneter dan bencana alam, serta adanya pengulangan pidana (recidive). Sehingga syarat ini dirasa sebagai formulasi pasal yang cenderung berlebihan, kecuali syarat adanya pengulangan pidana (recidive) masih mungkin untuk diterapkan. Akan tetapi syarat recidive masih belum memiliki kualifikasi yang jelas dalam undang-undang korupsi saat ini.

Harus diakui undang-undang korupsi kita sebagai salah satu produk hukum negara, telah disusupi berbagai kepentingan subyektif ala positivisme hukum untuk tetap mempertahankan budaya korupsi di negeri ini. Belum lagi kita dihadapkan beberapa proses penyelesaian kasus korupsi yang terbilang tebang pilih dan sering berlindung pada persoalan prosedur hukum, dan hal ini merupakan watak keras dari positivisme hukum. Setidaknya semua ini dapat dijadikan alat baca terkait aktualisasi nilai postivisme hukum, yaitu sesuatu yang sudah sangat menggurita baik itu dalam kebijakan formulasi (terkait pembuatan undang-undang) sampai pada ranah penegakan hukum.

G. Pembahasan

Sampai sekarang positivisme menjadi salah satu teori yang tetap bertahan dalam ilmu hukum. Positivisme muncul sejak awal kebangunan dari teori-teori hukum modern. Ia mengakhiri suatu periode ribuan tahun teori-teori yang digolongkan ke dalam teori hukum alam. Memang teori hukum alam tidak hilang sama sekali, melainkan tempatnya tidak lagi “semulia” sebelumnya. Tempat itu sudah direbut dan digantikan oleh positivisme. Kelahiran positivisme hukum kembali menegaskan betapa ilmu itu selalu berjalan di belakang kenyataan. Positivisme hanya bisa muncul pada saat kenyataan membutuhkan itu dan kenyataan tersebut adalah lahirnya hukum modern menyusul negara modern di abad ke-18. Sejak munculnya negara modern, maka peta dunia hukum harus rasional. Ciri dari rasionalisasi dari negara modern yaitu adanya pembagian kerja ke dalam berbagai tugas dan peran khusus, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.[6] Munculnya lembaga legislatif, secara ekstrem bisa dikatakan bahwa sejak saat itu tidak ada produk hukum kecuali yang dibuat oleh otoritas parlemen (legislatif).

Meneropong gejolak korupsi parlemen yang selama ini membuat semua lapisan masyarakat terkejut, dengan pemberitaan wabah korupsi berada pada titik sentral pemerintahan. Kalaupun ada yang tercengang, itu lebih disebabkan sulit untuk memahami penyimpangan yang dilakukan oleh seorang dewan yang dipilih secara langsung demi memperjuangkan nasib dan masa depan rakyat. Secara umum, modus korupsi parlemen dilakukan terbilang sederhana; dengan menerima uang suap, gratifikasi, perjalanan dinas yang sifatnya fiktif. Akan tetapi dari beberapa modus tersebut yang paling mungkin untuk dilakukan adalah menerima uang suap dalam mempermulus kepentingan klien hitam_nya.

Misalnya, kasus dugaan suap yang melibatkan Bulyan Royan (Anggota Komisi Perhubungan DPR), uang suap yang diterima sebanyak US$ 66 ribu dan 5.500 euro itu di peroleh berkaitan dengan proyek pengadaan 20 unit kapal patroli di Derektoral Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan.[7] Sekiranya ini tidak hanya terjadi pada Bulyan Royan saja, karena pada proses penyidikan dimungkinkan adanya indikasi keterlibatan anggota dewan yang lain di parlemen.

Parktik korupsi, yang sudah menggurita dan kronis di parlemen tidak lagi disadari sebagai abnormalitas melainkan dihayati sebagai pembagian garapan untuk memperkaya diri saja. Praktik korupsi itu sedikit demi sedikit namun terus menerus meresapkan berbagai anomali yang dapat disadari oleh hamparan rakyat Indonesia. Penigkatan kesadaran akan deret anomali itu melahirkan krisis, yang ditandai dengan ketidakpercayaan besar-besaran terhadap fungsi keterwakilan yang diamanahkan kepada anggota dewan di parlemen.[8] Karena hal ini merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan atas otoritas yang ia miliki dan sekaligus penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan oleh rakyat.

Korupsi parlemen yang selama ini terjadi merupakan perwujudan konkrit dari watak keras positivisme hukum, yang konon mengagungkan faham individualisme serta menjauhkan diri dari konsep moral.[9] Faham individualisme menganggap diri sendiri lebih penting daripada orang lain; dan cenderung menghendaki kebebasan untuk berbuat, sehingga dalam perbuatannya serba tidak peduli untuk melecehkan hak-hak dan martabat manusia, karena pemberlakuan hukum itu tidak diukur dari prinsip moral. Justru positivisme hukum menolak adanya moralitas dalam hukum, karena membubuhkan moralitas berarti memberikan ketidakpastian hukum.[10]

Dalam penjelajahannya ternyata faham positivisme hukum tidak lebih dari sekedar bangunan rapuh, akibat dari ini masyarakat sebagai basis riil dari kenyataan hukum menjadi gerah melihat hukum digerogoti dari dalam dan tak tampak dinamis. Melalui Eugen Ehrlich yang berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat di pihak lain.[11] Kritik sociological jurisprudence terhadap positivisme hukum menjadi jalan terang yang selama ini hukum sangat terisolasi dari dimensi sosial-masyarakat. Antinomi[12] nilai sociological jurisprudence dan positivisme hukum seakan memberikan ruang sosial yang berbeda. Jika postivisme hukum mempertahankan nilai-nilai ajarannya yang cenderung statis, sebaliknya nilai sociological jurisprudence hadir melakukan dekonstruksi terhadap apa yang diajarkan oleh postivisme hukum. Karena ajaran sociological jurisprudence mengatakan hukum akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[13]

Kenyataan ini menunjukkan, bahwa dalam pembuatan hukum serta penegakan hukum semua itu tidak terlepas dari perilaku hukum masyarakat. Maka sudah semestinya apa yang dikatakan oleh Prof Tjip, sebutan akrab dari tokoh sosologi hukum Indonesia yang mencetuskan teori hukum progresif dengan gagasan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.[14] Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sama halnya, ketika situasi tersebut di analogkan kepada antinomi persoalan keadilan dan kepastian hukum yang selalu menjadi polemik pada setiap kasus korupsi parlemen.

Selama ini, seperti yang kita ketahui bersama setiap proses penangkapan, penyidikan dan persidangan kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik selalu memiliki peredebatan prosedur hukum acara yang sangat rumit, dan hal inilah kemudian menjadi legitimasi advokat para koruptor dalam menjalankan supremasi kepastian hukum. Tetapi hal ini tidak terjadi pada kasus-kasus lainnya, yang cenderung tidak berbelit-belit sampai pada tahap eksekusi hukuman.

Pemahaman tentang hukum seperti demikian itu berimbas pula pada pemahaman antara keterkaitan hukum dan kepastian hukum menjadi relatif. Hukum tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Yang benar adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan seperti undang-undang.[15] Lebih jauh Charles Sampford melakukan kritik terhadap ajaran dari postivisme hukum yang melihat sisi hukum hanya pada ranah kepastian hukum saja, ia mengatakan; hukum itu penuh dengan ketidakteraturan (the disorder of law).[16] Kalau para ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu harus dijalankan dengan penuh kepastian dan keteraturan, maka itu sebetulnya bertolak dari kepentingan profesi yang mereka lakoni pada waktu itu saja, dan bukan hal yang sebenarnya.

Sebab bagaimana ahli hukum bisa bekerja dengan tenang, kalau hukum yang mereka gunakan itu banyak mengandung ketidakpastian. Dengan demikian, menurut Sampford, kepastian hukum itu lebih merupakan keyakinan yang dipaksakan daripada keadaan yang sebenarnya.[17] Ternyata peraturan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dan prilaku.

Bahwa telah jelas betapa kaku_nya paradigma pistivisme hukum yang menjadi akar dari pertumbuhan korupsi parlemen selama ini. Mulai dari persoalan formulasi dari beberapa pasal yang memang masih memiliki kecenderungan ingin melestarikan budaya korupsi, sampai pada pola penegakan hukumnya. Keadaan ini tidak dapat dipertahankan karena nilai tawar dari gagasan postivisme hukum tidak mampu menjelaskan tentang nilai apa yang menjadi dasar dari suatu keberlakuan suatu kaidah hukum. Artinya postivisme hukum dengan segala kerumitannya sudah tidak sesuai lagi dengan kenyataan masyarakat, seperti apa yang menjadi kritik sociological jurisprudence terhadap positivisme hukum. Sebab hukum itu tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Serta menempatkan hukum dalam konteks yang luas, dan membawa kita kepada pembicaraan tentang hukum dalam hubungannya dengan lingkungan sosial dan lebih khusus lagi mengenai perilaku hukum masyarakat.

H. Simpulan

Potret kelam positivisme hukum merupakan akar dari korupsi parlemen yang akan selalu memperkeruh cita hukum suatu bangsa, yang mana nilai moral, keadilan dan kemanfaatan sosial akan selalu dikelilingi oleh rasa cemas. Jadi sangat wajar ketika hukum hanya dijadikan alat tempat berlindung dibalik kepentingan arogansi para koruptor. Dengan demikian kritik sociological jurisprudence terhadap positivisme hukum adalah bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tentang hukum. Dengan itu hukum akan berjalan lebih memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.[18] Bukannya semua hukum adalah segala upaya untuk mendekatkan diri pada maksud-maksud tata moral di dalam gerak dunia dan kehidupan, atau rumusan yang lebih konkret adalah yang dikatakan oleh Gustav Radbruch; yaitu hukum adalah kehendak untuk bersikap adil.[19] Maka lahirnya hukum positif ada untuk mempromosikan nilai-nilai moral, khususnya keadilan. dan sepertinya hal ini tidak dimiliki oleh para koruptor di parlemen yang memiliki watak keras positivistik.

M. Shidqon Prabowo, S.H

Koordinator Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

Universitas Wahid Hasyim

Referensi

Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2005.

Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya “Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (behavioral jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar”, Citra aditya Bakti, Bandung, 2007.

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Rikardo Sumarmata, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia “Kritik atas Paradigma Positivisme Hukum”, HuMa, Jakarta, 2007.

Dharmawan, Jihad Melawan Korupsi, Buku Kompas, Jakarta, 2005.

E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta, 2007.

Kamus Ilmiah Populer, GITAMEDIA, Surabaya, 2006.

M Fadjroel Rachman, Rekor Koruptor “Top Markotop” Opini Kompas, 17/9/2007.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum “Pencarian Pembebasan dan Pencerahan”, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2004.

_______________, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006.

_______________, Biarkan Hukum Mengalir, Buku Kompas, Jakarta, 2007.

Tempo 11 Juli 2008, Edisi No. 2537.

PARADIGMA HUKUM PROGRESIF;

ALTERNATIF PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA


I. Pendahuluan

Dalam lintasan sejarah, pembangunan sebagai sebuah upaya penataan ekonomi sebuah negara dapat ditelusuri dalam kurun waktu yang lama. Bahkan pemikiran-pemikiran Adam Smith yang disusun sejak abad ke-18 masih dijadikan rujukan bagi pembangunan ekonomi saat ini, khususnya negara-negara maju yang mengidentifikasi ekonominya sebagai mazhab kapitalis. Tetapi dalam penyelenggaraannya, proyek pembangunan sempat terhenti akibat Perang Dunia II yang melantakkan sebagian besar negara, terutama negara-negara Eropa. Setelah Perang Dunia II itulah, Eropa yang hancur lebur akibat perang, dengan sendirinya memerlukan pembangunan untuk menata kembali perekonomiannya. Instrumen pembangunan (atau tepatnya rekonstruksi) ini adalah program bantuan besar-besaran dari Amerika Serikat, yakni Marshal Aid. Program ini memiliki tujuan ganda, untuk menjalankan ekonomi dunia dan menahan laju komunisme.[20]

Tampak sejak awal gagasan pembangunan yang mulai marak dijalankan setelah Perang Dunia II itu memiliki tujuan penting, khususnya lewat program Marshal Aid, pertama, pembangunan dipakai sebagai alat untuk menyebarkan tata ekonomi tunggal dunia, dimana model ini mendasarkan diri pada mekanisme pasar dan liberalisasi perdagangan. Kedua, pembangunan juga memiliki tujuan politis untuk menahan perluasan ide dan penerapan komunisme yang dianggap membahayakan kepentingan negara kapitalisme.[21]

Proyek pembangunan setelah Perang Dunia II sarat dengan capaian-capaian material dalam bidang ekonomi. Pembangunan dilukiskan sebagai sebuah proses menuju kemajuan material perekonomian, sehingga ukuran-ukuran keberhasilannya dilihat dari indikator semacam pertumbuhan akumulasi investasi dan tingkat konsumsi masyarakat. Dengan karakteristik semacam itu, negara-negara yang memiliki akumulasi modal dan ketahanan ekonomi yang mapan, akan semakin melakukan ekspansi ekonomi ke tiap-tiap negara yang berada pada zona Dunia Ketiga. Istilah Dunia Ketiga lebih diartikan sebagai negara-negara yang secara ekonomi masih miskin, atau negara-negara yang sedang berkembang. Konsep pembangunan Dunia Ketiga tentunya memiliki tingkat harapan tersendiri dalam memenuhi sektor pembangunan ekonominya, sehingga tidak dapat disetarakan dengan negara adikuasa yang telah berkembang dalam segala aspek.

Bagi negara-negara Dunia Ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup, atau bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya bisa bersaing di pasar internasional; sementara negara-negara adikuasa persoalannya adalah bagaimana secara sistematis dapat melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah mapan.[22] Sehingga filsafat pembangunan seperti ini kerap disebut dengan istilah “fordisme”, yang merujuk kepada upaya terciptanya masyarakat dunia yang makmur berdasarkan maksimasi kegunaan tanpa batas, yang dibentuk melalui tiga elemen penting, yaitu rasionalitas, efesiensi, dan produksi/konsumsi massal.[23]

Tidak dapat dipungkiri filsafat pembangunan ekonomi Indonesia dalam pandangan dunia internasional, bahwa Indonesia menjadi perhitungan negara yang sedang berkembang serta identik dengan zona Dunia Ketiga. Pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia era Orde Baru memang cukup banyak mendatangkan perubahan. Salah satu diantaranya adalah dalam bentuk peningkatan pendapatan per kapita nasional. Bila pada tahun 1969 pendapatan per kapita Indonesia baru mencapai US$ 70, maka berkat pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 6,5 persen per tahun, pada tahun 1995 angka itu telah meningkat menjadi sekitar US$ 880, atau sekitar Rp. 2 juta per orang per tahun. Sejalan perkembangan waktu pendapatan pada sektor pertanian, jasa dan industri semakin seimbang.[24]

Tetapi bila dikaji lebih jauh, perjalan pembangunan ekonomi Indonesia pada era Orde Baru yang mengesankan telah terjadinya peningkatan kesejahteraan secara berarti, namun pada prospek jangka panjang menyisakan tangisan dan penderitaan ekonomi secara sistemik. Hal ini dapat di lihat krisis moneter yang bergejolak pada tahun 1998, serta diikuti dengan instabilitas politik menjadikan Indonesia menjadi negara yang mengalami krisis berkepanjangan, dan sampai hari ini dapat dirasakan dampak dari pembangunan ekonomi di bawah rezim Orde Baru. Salah satunya ialah, negara ini dipaksa melakukan penyesuaian dengan mekanisme pasar terhadap kenaikan harga minyak dunia. Tak heran ketika setiap waktu harga BBM (bahan bakar minyak) akan selalu naik, disamping Indonesia saat ini bukan lagi sebagai negara eksportir minyak, di lain hal sistem perekonomian yang masih terkesan hanya mengikuti poros mekanisme pasar, tanpa ada kontrol yang akuratif. Alhasil mental negara ini menjadi rapuh, kesenjagangan sosial makin terlihat tanpa batas, tingkat kriminalitas tiap tahun meningkat, serta yang lebih ironis lagi ketahanan pangan menjadi problem yang selalu menghantui.

Kemudian timbul suatu pertanyaan dimana peran hukum sebagai bentuk perwujudan instrumen regulasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia? Seharusnya hukum harus berperan untuk mengerakkan masyarakat menuju perubahan yang terencana. Disini hukum berperan aktif sebagai alat untuk rekayasa sosial (law a tol of social engineering). Artinya hukum dalam bidang kehidupan yang nyata harus lebih difungsikan sebagai sarana sosial kontrol dalam kehidupan masyarakat.[25] Jika asumsi pembangunan ekonomi Dunia Ketiga khususnya Indonesia disandarkan pada paradigma hukum progresif yang implementasinya responsif dan mendatangkan kemanfaatan sosial, tentunya alur berfikir pembangunan ekonomi Indonesia tidak serumit saat ini.

Tidak dapat dinafikan hukum progresif bukan instrumen ilmu ekonomi secara murni, akan tetapi prospek pembangunan ekonomi tentunya tidak terlepas dari mekanisme hukum dalam melakukan aktivitas ekonomi, yang hasil akhirnya dalam aspek hukum dapat memenuhi nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Maka paradigma hukum progresif dapat dijadikan batas apresiasi terhadap dinamika perkembangan arus globalisasi yang tidak saja terjadi pada sektor ekonomi dan tekhnologi, melainkan juga pada batas-batas tertentu, dan setiap negara terpaksa mengikuti arus globalisasi hukum sebagai bentuk penyesuaian terhadap pembangunan ekonomi melalui tujuan mekanisme pasar dan perdagangan internasional.

J. Fungsi & Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan

Hakekat pembangunan Indonesia adalah amanat konstitusi yang sesuai dengan ikrar dan cita-cita bangsa. Secara ideologis makna pembangunan negara ini ialah pancasila, yang dapat diartikan pembangunan adalah membangun bangsa Indonesia seutuhnya, serta strategi pembangunan ialah pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan sosial, serta stabilitas politik. Kemudian lebih lanjut ditegaskan secara eksplisit pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa; hakikat pembangunan nasional adalah: mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Berdasarkan garis amanah konstitusi, maka makna pembangunan nasional harus mampu mereduksi nilai keseimbangan pada setiap aspek kehidupan sosial masyarakat. Sejak awal bangsa ini dihadapkan dengan tanggung jawab yang begitu besar, yaitu meneruskan perjuangan pasca penjajahan kolonialisme dalam bentuk pembangunan nasional pada setiap dimensi sosial masyarakat. Akan tetapi persoalannya apakah amanah yang mulia ini dapat begitu saja dijalankan dengan mudah. Mungkin hal ini tidak perlu dijawab, karena realitas kehidupan saat ini dapat menggambarkan potret Indonesia dalam menjalankan program pembangunan nasional pasca merdeka dari penjajahan tahun 1945.

Setidaknya dapat dijelaskan secara umum ada beberapa tahapan atau tingkatan pembangunan yang dialami oleh suatu negara mulai dari negara berkembang sampai menjadi negara maju, yaitu tahap pertama, unifikasi dengan titik berat bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional, tahap kedua industrialisasi dengan fokus terhadap aktivitas pembangunan ekonomi dan modernisasi politik, kemudian tahap ketiga negara kesejahteraan dimana tugas negara terutama adalah perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.[26]

Dalam suatu negara program pembangunan yang baik adalah pembangunan yang dilakukan secara komprehensif. Artinya, pembangunan selain mengejar pertumbuhan ekonomi semata, juga harus memperhatikan pelaksanaan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia warga negaranya yang telah diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan, baik hak-hak sipil, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, pembangunan yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah akan mampu menarik lahirnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Dari berbagai studi mengenai hukum dan pembangunan dapat diketahui, setidaknnya program pembangunan harus memenuhi kualitas hukum yang kondusif bagi perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu stabilitas (stability), kalkulasi yang terencana (predictability), keadilan (fairness), pendidikan (education), dan pengembangan profesi hukum (the special development abilities of the lawyer).[27]

Stabilitas dan predictability adalah merupakan prasyarat untuk berfungsinya sistem ekonomi. Predictability sangat berperan, terutama bagi negara-negara yang masyarakatnya baru memasuki hubungan-hubungan ekonomi melintasi lingkungan sosial tradisional mereka. Sedangkan prasyarat stabilitas berarti hukum berpotensi dan dapat menjaga keseimbangan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Aspek keadilan akan tercermin dari proses hukum, persamaan dihadapan hukum, dan standar sikap/perlakuan pemerintah, dan lain-lain akan mempengaruhi kelangsungan mekanisme pasar dan mencegah campur tangan pemerintah yang terlalu dominan.[28]

Sedangkan pendidikan dan pengembangan profesi hukum merupakan sesuatu keharusan yang harus diberdayakan dalam praktek hukum, agar dapat berperan sebagai ahli hukum dalam pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi.

Berbicara mengenai fungsi dan perkembangan hukum dalam pembangunan ekonomi suatu negara pada dasarnya tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pendekatan ekonomi terhadap hukum atau sebaliknya, pendekatan hukum terhadap ekonomi, yang lazim dikenal dengan analisis ekonomi terhadap hukum. Salah satu contoh konkrit bahwa adanya elaborasi keilmuan antar dua displin ilmu ekonomi dan hukum, ialah daya paksa arus globalisasi ekonomi yang memaksa instrumen hukum sebagai regulasi mekanisme ekonomi menyesuaikan diri terhadap perkembangan internasional, hal ini sering disebut dengan globalisasi hukum.

Sehingga materi muatan berbagai Undang-undang dan perjanjian-perjanjian sebagai sumber hukum positif harus mengadopsi kaedah-kaedah dan diharmonisasikan dengan ketentuan-ketentuan internasional yang bersifat lintas dan melewati batas-batas negara, yang dilakukan melalui ratifikasi perjanjian-perjanian dan konvensi-konvensi serta kovenan-kovenan internasional, maupun hubungan-hubungan dan perjanjian privat serta institusi-institusi ekonomi baru.

Pendekatan hukum ekonomi bersifat dan menggunakan pendekatan-pendekatan transnasional dan interdisipliner, dengan mengkhususkan diri pada hubungan-hubungan antara masalah-masalah ekonomi dan sosial nasional dan regional serta internasional secara integral. Atau dengan perkataan lain, pengaturan bidang-bidang hukum ekonomi harus selaras dengan arah dan kebijakan politik ekonomi pembangunan dan politik hukum pembangunan serta politik pembangunan masyarakat secara intern dan transdisipliner secara holistik dan sistematik.[29]

Sehingga dapat dikatakan bahwa ruang lingkup bidang hukum ekonomi (economic law) merupakan bidang hukum yang luas dan berkaitan dengan kepentingan privat dan kepentingan umum (public interest) sekaligus. Untuk itu pendekatan ekonomi terhadap hukum, akan menjadi salah satu cara agar tidak terjadi ketertinggalan hukum dalam lalu lintas ekonomi dalam dan antar negara dengan negara lainnya baik secara nasional, regional dan internasional.[30]

Maka fungsi dan peran hukum dalam pembangunan dalam tahap legislasi nasional dimasa mendatang perlu memberikan prioritas pada undang-undang yang berkaitan dengan akumulasi modal untuk pembiayaan pembangunan dan demokratisasi ekonomi untuk mencapai efisiensi, memenuhi fungsi hukum sebagai fasilitator bisnis.

Oleh karenanya ahli hukum yang terlibat sebagai pembuat undang-undang harus mampu memadukan studi hukum dengan disiplin ilmu lainnya secara komprehensif, agar tertib sosial bagi berfungsinya hukum karena terjadinya perubahan sosial dan tata pergaulan antar kelompok masyarakat, negara, antar negara, baik itu taraf nasional, regional dan internasional yang dalam prosesnya dapat berjalan secara responsif terhadap prinsip keseimbangan kepentingan pembangunan yang progresif.

K. Arus Globalisasi & Masa Depan Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga

Revolusi industri dianggap sebagai tonggak lahirnya ekonomi global, yang tidak lagi memisahkan teori ekonomi sebagai acuan regulasi perekonomian negara. Teori ekonomi diposisikan hanya sebagai saksi perasan pemikiran sejarah yang dapat dilihat pada pasca Perang Dunia II dan berbagai keadaan yang berubah cepat, terutama dalam bidang perekonomian dunia yang menghilangkan sekat negara, bangsa serta kewilayahan. Revolusi teknologi informasi juga merupakan faktor pendukung utama perekonomian global atau biasa kita kenal dengan globalisasi.

Arus globalisasi juga memaksa peran pembangunan ekonomi Dunia Ketiga untuk lebih maju. Disamping itu, sumber daya alam yang dimiliki akan sangat berperan dalam melakukan pembangunan ekonomi, tinggal bagaimana manajemen sumber daya manusia yang dimiliki dapat melakukan pengelolaan terhadap aset produktif yang dapat mendukung pembangunan ekonomi setiap negara.

Fenomena arus globalisasi yang paling nyata, bagaimana negara-negara yang sedang berkembang pada Dunia Ketiga akan menjadi target kepentingan ekonomi negara adikuasa. Belum lagi, masalah ’gap’ (kesenjangan) yang semakin melebar antara negara-negara berkembang dan miskin dengan negara-negara maju maupun dengan Transnational Corporation (TNC). Upaya penghapusan kemiskinan (Poverty Alleviation) sebagaimana banyak dinyatakan secara retorik oleh Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) kenyataannya hanyalah sikap mengelabuhi publik (kebohongan publik) secara terang-terangan, mengapa demikian? karena, dalam kenyataannya arah dan tujuan globalisasi dengan arah tujuan penghapusan kemiskinan sangatlah bertolak belakang, bukan saja bertolak belakang, tetapi juga berlawanan secara mendasar.[31]

Globalisasi adalah mengenai pembukaan pasar seluas luasnya di seluruh dunia melalui berbagai instrumen termasuk Bank Dunia, IMF, MNC, TNC, WTO, dan lembaga sejenis lainya, dan ”PASAR” tidak pernah memikirkan aspek sosial termasuk aspek perubahan pengaturan sumber daya manusia dan kecenderungannya justru hanya pada agenda penghapusan kemiskinan, penciptaan pasar untuk bagaimana menghasilkan profit dan profit, bukti paling jelas adalah liberalisasi sektor keuangan oleh IMF dan Bank Dunia pada tahun 1980an yang kini menjadi sebab utama krisis ekonomi, pelarian modal keluar negeri, serta beban utang meningkat tajam dan volatilitas keuangan tidak berkesudahan yang membangkrutkan bangsa-bangsa negara berkembang dan miskin hanya dalam hitungan hari.[32]

Kemudian dari regulasi dan berbagai kenyataan untuk memperjelas fakta permasalahan. Maka, berikut sederet masa depan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga yang menjadi korban globalisasi hukum yang menyengsarakan, diantaranya Venezuela dengan krisis ekonominya yang terjadi akibat dari masuknya kepentingan globalisasi dengan alasan pasar bebas dan ”TANGAN TUHAN” atas mekanisme pasar yang mengaturnya. Krisis Venezuela terjadi sebab salah satu produsen terbesar minyak dunia ini dikuasai oleh perusahaan minyak Amerika, dan negara-negara Eropa. Seharusnya negara yang memiliki jutaan bahkan milyaran barel minyak ini harus lebih sejahtera, ternyata 80% penduduknya adalah masyarakat miskin, dan Hugo Chaves berpendapat bahwa kemakmuran akan dapat tercapai apabila perusahaan minyak dikelola sendiri bukan dikelola oleh pihak asing.[33]

Tidak jauh dari Venezuela negara tetangganya Meksiko juga mengalami hal yang sama barang kali lebih parah, IMF dan Bank Dunia mengatur kemudahan investasi lewat penanaman modal asing 100% penguasaan dan monopoli HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Dalam hal ini terkait dengan perdagangan dunia, yaitu berupa memberikan hak istimewa bagi individu atau perusahaan atas karya ciptanya, dalam bentuk Paten, Merk dan Hak Cipta, maka berbagai barang temuan dapat di kuasai siapa saja yang mendaftarkan terlebih dahulu, syaratnya merupakan temuan baru, mengandung langkah inovatif dan dapat diterapkan dalam industri (produksi massal). Sehingga teknologi dapat dikuasai terus menerus serta berbagai kemudahan untuk menguasai negara dalam berbagai sektor terutama barang publik. Semua kemudahan tersebut dan penghapusan atas berbagai hambatan usaha disuatu negara akan semakin memperbesar (TNC) dan membuatnya sebagai penguasa dunia yang sebenarnya.[34]

Dinegara kita pun tidak jauh dari apa yang terjadi pada negara-negara sedang berkembang lainnya, memasuki dasawarsa 1980an kecenderungan ekonomi Indonesia semakin terintegrasi kepada ekonomi global. Perlu kita ketahui banyak kejadian kasus globalisasi yang kemudian menghancurkan baik dari segi kedaulatan nasional, hukum, dan jutaan rakyat Indonesia. Krisis yang berlangsung hingga saat ini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan korban terparah globalisasi.

Kasus ini tidak pernah diakui IMF dan Bank Dunia, dan para ekonom liberal yang selalu menyalahkan kepada pemerintah dan negara bersangkutan, baik dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), Bad Governance dan lainya; karena hendak menutupi kepentingan mereka yang sebenarnya, dan ada berbagai hal lain semacam liberalisasi ekonomi dan kapitalisme global yang dipraktikan di Indonesia sebagai agenda besar deregulasi pelicin globalisai.

Dari kegagalan dan dampak globalisasi maka ada satu hal yang menjadi perhatian kita bersama yaitu, berupa runtuhlah teori ekonomi sebab bila dilihat dari awal mulai globalisasi yang merupakan perasan dasar dari teori Adam Smith (5 Juni 1723-Juli 1790) dengan bukunya ”An Inquiry into the nature and couses of the wealth of nations” dan biasa disingkat dengan wealth of nation yang merupakan buku pertama tentang perekonomian modern dan merupakan dasar perdagangan bebas serta kapitalisme.[35]

Pendekatan yang dijelaskan arus globalisasi pada aspek pembangunan ekonomi Dunia Ketiga terkesan hanya menciptakan ruang eksploitasi tak terhenti. Serta akan menjadikan dunia matematis ekonomis dan tidak dapat pula menjelaskan sebagian dunia yang sudah global. Padahal sudah sama-sama kita ketahui ilmu ekonomi merupakan ilmu sosial yang berangkat dari realitas sosial bukan fisika atau aljabar yang serba pasti ditambah dengan pandangan teori ekonomi yang kausalitas (sebab-akibat) misalnya, jika pemerintah menurunkan tingkat suku bunga dan berharap dapat merangsang perekonomian, dengan maksud bisnis dapat meminjam uang dan membuat investasi modal.

Sebagaimana yang sudah diuraikan sebelumnya, globalisasi merupakan proyek normatif yang dibalut melalui teori ekonomi dengan tujuan membentuk tatanan masyarakat yang sesuai dengan logika pasar. Bangunan dasar globalisasi ini, menurut Bourdieu, tidak lebih sebagai sebuah fiksi matematika murni yang didasarkan pada sebuah abstraksi luhur mengenai realitas. Bentuk abstraksi ini dibangun konsepsi rasionalitas yang bercorak individual. Rasionalitas individual, seperti halnya paradigma neoklasik, memandang individu-individu dalam rangka memaksimumkan utilitas mereka melalui pilihan sarana yang terbaik guna melayani tujuan-tujuan meraka. Dengan kata lain, individu-individu adalah unit-unit yang dapat mengambil keputusan sendiri secara rasional dan otonom[36]

Globalisasi merupakan sebuah tatanan rezim diskursif yang koheren, yang mampu megkonstruksi pemahaman sosial mengenai otoritas. Atas nama program pengetahuan ilmiah, globalisasi mengubah dirinya menjadi program politik untuk bertindak dan selanjutnya menerapkan makna hegemonik terhadap tatanan dunia. Sebagai proyek politik, globalisasi menuntun dunia untuk mencapai kesejahteraan universal berlandaskan pada utopia pasar bebas.

Singkatnya, globalisasi secara canggih mampu menggabungkan berbagai modal yang dikuasainya (ekonomi, politik, militer, sosial, dan pengetahuan tekhnologi) untuk kemudian membanguan kekuasaan dalam rangka memonopoli pemahaman atas kemajuan, pertumbuhan, dan kesejahteraan. Sehingga masa depan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga hanya menjadi target pasar negara adikuasa melalui mekanisme pasar dan perdagangan internasional sebagai bentuk paket arus globalisasi.

Pertanyaannya kemudian, apakah masih ada jalan untuk menyelamatkan masa depan pembangunan ekonomi negara-negara Dunia Ketiga? Tentunya tulisan ini berangkat dari gagasan awal bahwa perlu adanya mekanisme hukum yang progresif dalam memetakan pembangunan ekonomi yang juga tidak mengeyampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya disamping faktor ekonomi secara murni, perlu kiranya instrumen hukum sebagai regulasi dapat berfungsi lebih responsif terhadap hak-hak dasar masyarakat dalam melakukan pembangunan ekonomi pada setiap negara, khususnya di Indonesia.

L. Memahami Paradigma Hukum Progresif

Adalah Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip panggilan akrab beliau yaitu seseorang yang dijuluki Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresif.[37] Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.[38]

Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif-yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.[39]

Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga khususnya di Indonesia, kegagalan pembangunan ekonomi yang hanya disandarkan pada liberalisasi ekonomi dan itu dibuktikan dengan arus globalisasi ekonomi memaksa Indonesia harus masuk kedalam poros mekanisme pasar dan perdagangan Internasional. Akibatnya dibawah pemerintahan Susilo Bambang Yudoyhono (SBY) dengan tekanan dinamika ekonomi internasional tidak aneh ketika pemerintah sekarang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sampai Jilid II, hal ini dilakukan dengan dalih menyesuaikan harga minyak dunia yang melonjak naik secara drastis. Sehingga pemerintah melakukan pengurangan alokasi subsidi BBM untuk menyelamatkan APBN nasional.

Alasan-alasan diatas secara teknis ekonomis cukup bisa dimaklumi. Persoalannya kebijakan menaikkan harga BBM harus realistis terhadap kondisi rakyat saat ini. Untuk sampai pada keyakinan bahwa dampak kenaikan harga BBM secara simultan tak berdampak besar terhadap inflasi dan daya beli masyarakat, agaknya perlu terlebih dahulu mengetahui secara seksama kondisi daya tahan masyarakat. Artinya pemerintah terlebih dahulu melakukan general chek up atas daya tahan ekonomi masyarakat. Dalam pandangan hukum progresif hal inilah yang disebut kebijakan yang tidak memberikan kemanfaatan sosial bagi masyarakat, dan seakan-akan ilmu ekonomi hanya tombol kematian bagi kepentingan masyarakat secara umum. Karena pilihan meanstream ekonomi Indonesia yang cenderung postivistik terhadap kepentingan neo liberalisme belaka.[40] Sehingga tak heran agenda untuk menjalankan sistem ekonomi seperti ini, yang pertama adalah melakukan globalisasi hukum yang disesuaikan dengan kepentingan pragmatis yaitu akumulasi modal. Artinya mekanisme hukum yang diciptakan bertitik sentral pada mazhab sistem pembangunan ekonomi neo liberalisme sampai masuk ke dalam ranah positivisme hukum.

Paradigma hukum progresif sangat menolak meanstream seperti ini yang berpusat pada aturan/mekanisme hukum positivistik, dan hukum progresif membalik paham ini. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir dari hukum. Para penegak hukum menjadi unjung tombak perubahan.[41]

Dalam logika inilah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tak lagi pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan, karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakukan interpretasi[42] secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan pada pencari keadilan.[43]

Berdasarkan uraian diatas, hukum progresif, sebagaimana hukum yang lain seperti positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan yang lain, sebagaimana akan diuraikan dibawah ini.[44]

Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa “hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia”. Artinya paradigma hukum progresif mengatakan bahwa hukum adalah untuk manusia. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sama halnya, ketika situasi tersebut di analogkan kepada undang-undang penanaman modal yang saat ini cenderung hanya mengedepankan kepentingan invenstasi belaka, tanpa melihat aspek keadilan dan keseimbangan sosial masyarakat. Sewajarnya bahwa undang-undang penanaman modal sebagai regulasi yang pada kaitannya juga dengan pembangunan ekonomi di Indonesia diciptakan untuk pemenuhan hak dasar masyarakat. Bukan dengan tujuan sebaliknya, masyarakat menjadi victim akibat dari aturan tersebut.

Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normative dan legalistik. Sekali undang-undang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bias berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah lebih dulu. Dalam hubungan dengan ini, ada hal lain yang berhubungan dengan penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut, yaitu berkaitan dengan perumusan-perumusan masalah kedalam perundang-undangan. Subtansi undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk ke lembaga atau badan legislatife.

Terakhir adalah, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan diametral dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. Diatas telah dijelaskan betapa besar risiko dan akibat yang akan dihadapi apabila kita “menyerah bulat-bulat” kepada peraturan. Cara berhukum yang penting untuk mengatasi kemandegan atau stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi yang membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bias dilakukan, apabila kita melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia dalam berhukum. Karena pada dasarnya the live of law has not been logis, but experience.[45]

Gagasan hukum progresif dan karakteristik yang membedakannya dengan yang lain sebagaimana uraian di atas, memberi warna dan cara pandang baru di dalam memahami hukum sebagai regulasi pembangunan ekonomi. Gagasan tersebut paling tidak merupakan pertimbangan pada aspek mekanisme yang dijalankan pada roda pembangunan ekonomi Indonesia, walaupun kita tahu bersama bahwa paradigma hukum progresif bukanlah sesuatu ilmu ekonomi murni. Berkaitan dengan hal itu, muncul pertanyaan, bagaimana jika gagasan hukum progresif ini secara mekanistik dapat diterapkan dalam alternatif pembangunan ekonomi Dunia Ketiga, yang pada khususnya dalam konteks Indonesia. Uraian di bawah ini akan menjelaskan persoalan tersebut.

M. Alternatif Pembangunan Ekonomi Progresif

Secara konstitusional sistem pembangunan ekonomi Indonesia didasarkan pada prinsip keseimbangan, kepastian dan keadilan yang kemudian semua itu dikelola dan diatur oleh negara. Dengan pemahaman seperti itu bahwa bangsa ini mempunyai cita-cita bersama untuk mendapatkan hak kedaulatan ekonomi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Bertolak dari itu, hak kedaulatan ekonomi secara eksplisit dapat dilihat pada Pasal 33 ayat 1,2, dan 3 UUD 1945 yang secara utuh dan menyeluruh dapat dijadikan orientasi sistem perekonomian Indonesia. Amanat konstitusi ini dapat dipahami tidak hanya dimaksudkan sebagai landasan yuridis sistem perekonomian Indonesia, melainkan sekaligus sebagai dasar bagi penyelenggaraan demokrasi pembangunan ekonomi Indonesia.

Ketika melihat konsep dasar dari Pasal 33 ayat 1,2 dan 3 UUD 1945 dalam kerangka hukum progresif, sejatinya masih berada pada optik sosiologis bahwa hukum diperuntukkan melayani kepentingan masyarakat. Seperti halnya yang disebutkan dalam amanat konstitusi tersebut “bahwa bumi, air dan kekayaan alam beserta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pada hakikatnya gagasan ini adalah suatu proses memberi bentuk terhadap sejumlah keinginan hak kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia. Dengan demikian yang lebih dikedepankan adalah membuat suatu bangunan perundang-undangan yang memiliki orientasi pada kebijakan pembangunan ekonomi dengan struktur rasional dan bertolak dari potret struktur social masyarakat. Paradigma yang demikian itu tentunya dalam menghadapi masalah, tanpa meninggalkan subjek akar rumput masalah.

Terlepas dari kejelasan bentuk serta tujuan sistem pembangunan ekonomi Indonesia tersebut, suatu hal kiranya perlu ditegaskan disini. Dengan ditetapkannya Pasal 33 ayat 1,2 dan 3 UUD 1945 sebagai konsep dasar tujuan dari pembangunan ekonomi Indonesia, hal itu tidak serta merta merupakan penolakan terhadap ketidakhadiran investor asing dengan melakukan aktivitas ekonomi melalui perusahaan yang tidak berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akan tetapi persoalannya kehadiran perusahaan asing yang melakukan eksplorasi maupun eksploitasi terhadap sumber daya alam yang dimiliki, justru membuat Pasal 33 UUD 1945 ini tidak lagi memiliki legitimasi kedaulatan ekonomi kerakyatan. Karena antara mewujudkan cita-cita demokratisasi pembangunan ekonomi yang berbasis kerakyatan berdasarkan amanat konstitusi, akan selalu bersitegang dengan realitas yang sampai sejauh ini perusahaan asing hanya mengeruk kekayaan alam kita, tanpa memberikan kontribusi secara seimbang dengan apa yang sudah menjadi hak bangsa ini. Tentu bangsa ini tidak selalu menutup mata, bagaimana bisa potret yang terjadi di papua, kekayaan alam yang berlimpah ruah, dan freport sebagai perusahaan asing dari Amerika Serikat yang melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam di papua hanya sekian persen saja hasil dari penambangan dapat dinikmati oleh rakyat papua. Terbukti fenomena busung lapar menjadi ancaman bagi rakyat papua, dan persoalan ini menjadi indikator kegagalan sistem pembangunan ekonomi saat ini.

Ilmu hukum progresif memperhatikan kesenjangan sosial yang terjadi dengan motif pembangunan ekonomi, dilakukan melalui sistem ekonomi neo-liberalisme. Di balik prinsip-prinsip dasar dari sistem ekonomi neo-liberalisme, terlihat jelas bahwa antara faktor kerakusan manusia sebagai embrio munculnya paham positivisme hukum pada sektor sistem ekonomi tersebut, sesungguhnya merupakan mata rantai yang terkait erat di antara satu dengan lainnya. Kehadiran globalisasi sebagai proses kapitalisasi ekonomi liberal, tidak lain berakar pada perilaku manusia individu yang mengumbar nafsu keserakahan duniawi, dan tidak segan-segan mengorbankan kepentingan masyarakat keseluruhan.[46]

Globalisasi telah memunculkan pembagian kekuasaan yang tidak merata dan tidak seimbang. Sebagian besar kekuasaan dalam pembuatan hukum maupun penegakan hukum berada di tangan para aktor globalisasi, sedangkan para pelaku ekonomi di negara-negara berkembang semakin memberikan tekanan ekonomi. Kondisi demikian itu memberikan bukti bahwa sistem perekonomian menjadi faktor pendorong terjadinya perlapisan sosial dalam skala global. Penumpukan kekuasaan di tangan para aktor globalisasi, berhubungan dengan penguasaan sumber-sumber daya alam dalam masyarakat (dunia). Dengan terjadinya perlapisan sosial, maka hukum pun sulit mempertahankan netralitasnya. Di sinilah Friedman menunjukkan bahwa perlapisan sosial merupakan kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu bersifat diskriminatif, baik pada substansi maupun pelaksanaannya dalam menjalankan sistem pembangunan ekonomi global maupun nasional.[47]

Maka paradigma hukum progresif selalu mencerna perubahan yang terjadi dalam dinamika masyarakat. Dengan kualitas yang demikian itu, maka hukum progresif akan selalu gelisah melakukan pencarian dan pembebasan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena memang hakikat ilmu itu adalah mencari kebenaran. Setidaknya paradigma hukum progresif memberikan jalan dengan berupa alternatif di tengah-tengah degradasi orientasi sistem pembangunan ekonomi Indonesia saat ini. Pertanyaannya, tindakan apakah yang perlu dilakukan secara mendasar dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia secara lebih berkeadilan, partisipatif dan berkesinambungan? Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan tersebut. Untuk itu peranan negara dalam politik pembangunan ekonomi Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945, ditekankan pada segi membuat peraturan perundang-undangan guna mengatur jalannya pembangunan ekonomi yang berbasis kerakyatan. Tujuannya adalah untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang seorang dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke tangan orang seorang yang memungkinkan dilakukannya penindasan rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa.

Agenda pembangunan ekonomi kerakyatan yang diasumsikan sebagai agenda pembanguanan ekonomi progresif, didasarkan atas upaya terus-menerus menciptakan demokratisasi modal dengan penuh keseimbangan, keadilan serta kepastian demi kesejahteraan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Setidaknya terdapat empat agenda pembangunan ekonomi kerakyatan yang perlu segera dilakukan. Keempat agenda pembangunan ekonomi progresif tersebut, pertama, desentralisasi penguasaan sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah. Hal ini dapat dilakukan dengan melanjutkan reformasi fiskal (pembaruan UU Perimbangan Keuangan Pusat Daerah, UU Perpajakan, dan UU Pajak dan Retribusi Daerah). Dengan catatan kebijakan pembaruan formulasi ini merupakan refleksi dari amanat konstitusi Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945.[48] Kedua, pembatasan penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap. Selama ini, penguasaan lahan pertanian secara berlebihan dilakukan yang dilakukan oleh segelintir pejabat, konglomerat dan atau petani berdasai sebagaimana terjadi pada era Orde Baru harus segera diakhiri.[49]

Ketiga, penciptaan struktur dan mekanisme pasar yang menjamin berlangsungnya persaingan secara berkeadilan. Struktur dan mekanisme pasar yang menjamin berlangsungnya persaingan secara berkeadilan merupakan satu-satunya institusi yang dapat diandalkan untuk menghindari terjadinya konsentrasi ekonomi dan monopoli usaha di tangan segelintir pengusaha besar. Untuk itu, UU Anti Monopoli harus lebih diupayakan secara optimal agar dapat menjamin terwujudnya lingkungan usaha yang transparan dan kompetitif.[50] Kemudian yang keempat, penerapan sistem perpajakan yang bersifat progresif sebagai upaya untuk mempertahankan demokratisasi modal ditengah-tengah masyarakat. Selain itu, penerapan sistem perpajakan yang bersifat progresif ini juga diperlukan sebagai upaya untuk secara terus-menerus membentuk dana sosial bagi anggota masyarakat yang rentan. Dengan adanya sumber dana pasti bagi penyelenggaraan program perlindugan sosial maka tanggung jawab negara sebagai pemelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana yag diamanatkan oleh konstitusi akan dapat dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan.[51]

Dari kenyataan tersebut, bahwa konsep alternatif pembangunan ekonomi kerakyatan dengan langkah progresif yang mencoba mencari penyelesaian terhadap krisis pembangunan ekonomi yang terus-menerus terjadi di Indonesia, tampaknya masih merupakan konsep pinggiran yang masih belum dijalankan sepenuhnya. Konsep ini masih harus di perjuangkan secara gigih, dan mungkin akan memakan waktu yang lama sebelum pada akhirnya dapat dijalankan secara efektif.

N. Simpulan

Sebagai simpulan kiranya patut dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi kerakyatan yang mendasari keempat agenda gagasan alternatif pembangunan ekonomi progresif tersebut memang tidak didasarkan pada paradigma sistem ekonomi neo-liberalisme, melainkan melalui paradigma sistem ekonomi progresif. Artinya, pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia tidak lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat dan perusahaan-perusahaan konglomerasi, melainkan dilakukan pada kekuatan pemerintah daerah, mekanisme pasar berbasis kerakyatan, usaha-usaha pertanian rakyat dan sistem perpajakan yang progresif. Diatas fondasi sistem pembangunan ekonomi progresif itulah selanjutnya, bangunan ekonomi Indonesia yang adil, partisipatif, dan berkesinambungan akan ditegakkan.

David Antony, S.H.

Direktur Bidang Dinamika Politik dan Konstitusi

Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

Referensi

Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis Memetakan Perekonomian Indonesia, Korupsi Kepresidenan, Grasindo, Jakarta, 2002.

Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.

Faisal Basri, Kita Harus Berubah, Kompas, Jakarta, 2005.

Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi & Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001.

Leonard J Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and Policy, 1989, dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005.

Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia “Belajar dari Kegagalan Ekonomi Orde Baru”, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004.

_______________, “Pembangunan Kerakyatan Melalui Demokratisasi Pengelolaan SDA”, Suara Pembaharuan, Jakarta, 19 Februari 1999.

Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

_______________, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006.

_______________, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.

_______________, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002.

_______________, Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.

_______________, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982.

Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, September 2005.

Thomos M. Franck, The new Development : Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries, Wisconsin Law Review No. 3 Thn 1972, hlm. 772. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005.

POTRET SOSIOLOGI POLITIK MASYARAKAT

DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA


O. Pendahuluan

Politik kontemporer, dalam praktiknya oleh kebanyakan orang dipahami sebagai sikap ambivalensi, terkadang dikutuk tetapi sekaligus diharapkan. Di satu sisi, perilaku politik dari hari ke hari kian rutin dimaknai sebagai cela ketimbang keluhuran. Perilaku politik dianggap sebagai potret dan asal-muasal kericuhan, dagang sapi, identik dengan perilaku tamak, licik, munafik, dan hanya sekedar retorik. Bagaimana tidak, jika diibaratkan politik sebagai tanaman kehidupan, maka buahnya ialah demokrasi yang kebablasan. Tidaklah berlebihan perumpamaan tadi, jika dihadapkan dengan beberapa sengketa pilkada ke belakang selama ini. Mobilisasi massa, unjuk rasa seputar pilkada masih menarik minat dan terus mendapat sokongan. Di berbagai daerah orang makin mudah dimobilisir untuk menolak atau mendukung ini dan itu, untuk menuntut perhatian mulai dari yang mengaku oposisi sampai pada kelompok-kelompok pendukung.

Setidaknya sudah berbagai orde politik kita lalui, mulai dari orde lama, orde baru dan terkini orde reformasi, tetapi belum juga menunjukkan perannya yang signifikan terhadap pertumbuhan demokrasi bangsa. Sebagaimana kontes politik pada saat ini menyiratkan keprihatinan kita bersama, di saat yang bersamaan aktor-aktor politik berlomba-lomba mendeklarasikan partai politiknya sebagai ancaman kompetisi di ajang berbagai pemilu. Pilihan politik saat ini, secara tegas telah menenggelamkan budaya politik orde baru yang bersifat sentralistik dan otoritarianisme. Dengan kata lain, di massa orde baru kekuasaan secara keras membatasi pikiran dan partisipasi, maka rakyat tidak begitu saja diberikan ruang untuk berpolitik.

Paradoks ini menciptakan dugaan bahwa seakan-akan perilaku politik dimaknai sebagai rutinitas kelembagaan dan perilaku aktor-aktornya. Inilah kontes politik yang sering kehilangan legitimasi dari rakyatnya, karena indikator perilaku politik diukur melalui insiden-insiden hasil, seperti; koruspi politik ‘jabatan birokrasi di DPR yang berkonotasi korupsi’, serta politik uang di setiap pemilu dan pilkada merupakan potret buram berlatar suram dari sosiologi politik masyarakat kita pada akhir-akhir ini. Rasionalisasi kesemerawutan kondisi bangsa saat ini, intinya akan berakhir pada sikap yang sama bahwa politik sebagai instrumen bahaya laten yang selalu menciptakan suasana dishumanisasi.

Kita memang sedang berada dalam konstruksi sosial yang ‘anti politik’. Lalu, mengapa perlu menjelaskan potret sosiologi politik masyarakat dalam konteks hak-hak asasi manusia? Apa yang salah dari cara berpolitik kita saat ini, sehingga dirasa perlu tulisan ini mengutarakan hubungan mata-rantai antara politik dan masyarakat, agar tetap berada pada jalur kearifan dan juga menjaga hak-hak dasar manusia.

Ketika berbicara potret perilaku politik masyarakat, tak luput juga dengan sikap ingin meluruskan pengertian politik yang selama ini ditafsirkan dalam olok-olok: “manusia adalah binatang politik”. Degradasi ini mewakili kondisi deskriptif politik kita sehari-hari, yaitu berpolitik berarti berperilaku tamak, licik dan kasar. Padahal paham yang sesungguhnya dari konsep zoon politikon adalah mulia, yaitu bahwa manusia adalah binatang (makhluk) yang berpolitik. Artinya, berbeda dengan binatang, manusia memiliki peralatan alamiah untuk mengorganisir diri guna mencapai hidup yang adil. Itulah politik. Karena itu “ilmu” tentang politik disebut sebagai ilmu yang paling utama (the highest of all sciences), karena politik merupakan urusan keadilan umum, melibatkan semua orang, dan untuk membahagiakan seluruh rakyat.[52] Preskripsi seperti inilah yang mesti dikembalikan dalam cara berpolitik kita.

Menjelaskan perilaku politik masyarakat tentu saja bukan sekadar upaya mengoreksi sebuah olok-olok, melainkan suatu upaya besar untuk menerangkan peristiwa-peristiwa kritis dalam sejarah orde politik, dan kemudian mencari dasar-dasar rasionalisasi untuk merawat kemanusiaan dan menghindari berulang-nya perendahan terhadap martabat manusia.[53]

Problem ini membawa kita pada soal yang amat mendasar dalam filsafat politik, yaitu masalah normativitas sebuah perilaku politik masyarakat; apakah kondisi sosio-psikologis yang perlu bagi penyelenggaraan sebuah kontes politik. Filsafat politik, oleh karenanya, merupakan pembacaan dan pencarian gagasan dalam kaitannya dengan moralitas publik. Pada akhirnya dalam menjelaskan perilaku politik masyarakat tidak bisa mengeyampingkan konsep tentang watak dan tujuan manusia itu sendiri. Dengan begitu, kita akan paham bahwa konsepsi manusia sebagai makhluk rasional memiliki kebebasan dan kehendak menentukan-dirinya, dan memiliki tujuan tertinggi yang lebih penting daripada proses sosial dan politik di mana dia terlibat.[54]

Mereduksi makna kebebasan yang merupakan bagian dari kebutuhan dasar sebuah masyarakat politik, tentu akan melahirkan sumber energi komunikasi antara tindakan dan argumentasi. Terbukti cara berpolitik kita tidak akan terlepas dari dialektika tindakan dan argumentasi sebagai bentuk kehendak politis. Hanya saja, kebebasan yang sudah ada bersama-sama pada watak dasar manusia dalam menyelenggarakan kontes politik, harus terwadahi melalui argumentasi sebagai tindakan warganegara. Artinya, tindakan untuk beragumentasi berlangsung dalam kesetaraan konstitusional. Dengan kata lain, kebebasan untuk melakukan tindakan dan argumentasi tetap menjaga serta menjamin kenyataan hak-hak dasar manusia secara konstitusional.

P. Sosiologi Politik dan Kearifan Nilai

Terlebih dahulu perlu dikemukakan bahwa embrio studi sosiologi sesungguhnya telah mulai sejak August Comte (1798-1857). Comte mencetuskan istilah “sosiologi” ini dalam bukunya yang terkenal cours de philosophie positivie jilid 4 untuk menunjukkan ilmu tentang masyarakat. Dengan menekankan makna ilmiah dari disiplin sosiologi pada ide mendasar yang menyatakan bahwa seseorang harus menggunakan metode-metode pengamatan yang di pakai ilmu-ilmu alam untuk mempelajari gejala-gejala sosial.[55] Selanjutnya perkembangan ilmu sosiologi, sejak akhir abad 19 mulai tumbuh pesat seiring dengan berkembangnya derivasi disiplin sosiologi, seperti; sosiologi hukum, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi politik dan sebagainya.

Secara sederhana sosiologi berarti studi mengenai masyarakat. Dalam lingkup masyarakat terdapat unit dasar sebagai analisa sosiologis, baik itu struktur politik, agama, ekonomi, dan hukum. Dalam ikhtiar untuk melakukan analisa pada konteks kemasyarakatan, para sosiolog modern dengan berbagai cara telah mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang membahas kelompok-kelompok sosial, dan studi mengenai interaksi-interaksi manusia dan interrelasinya. Karena itu pusat perhatian sosiologi ialah tingkah-laku manusia dalam konteks sosial.[56]

Menempatkan sosiologi sebagai optik analisa terhadap ilmu politik tidak semudah yang kita duga. Jika sosiologi itu terutama memperhatikan tingkah-laku manusia dalam konteks masyarakat dan dalam hal ini mencakup segala-galanya, maka jelaslah ilmu politik itu hanya menempati beberapa aspek saja dari masyarakat. Terkadang politik hanya identik dengan lembaga-lembaga sosial seperti, badan legislatif, eksekutif, dan partai politik. Serta lebih khusus lagi bahwa perilaku politik terlihat dari cara bekerjanya politik melalui proses pemilihan legislatif dan eksekutif, maupun interaksi politik antar negara. Karena itu, akan semakin sulit bagi kita untuk menentukan batas-batas dan nilai-nilai ilmu politik, dan kemudian untuk memfokuskannya kedalam sosiologi politik.

Perhatian sentral dari ilmu politik adalah penyelesaian dari konflik-konflik manusia; atau proses dengan mana masyarakat membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan-kebijakan tertentu; atau secara otoritatif mengalokasikan sumber-sumber dan nilai-nilai tertentu; atau berupa pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh di dalam masyarakat.[57] Setidaknya hal itu menjadi aktivitas dan tujuan politik. Namun tidak banyak orang membantah, bahwa politik ialah seni mempengaruhi dan selebihnya orientasi kekuasaan.

Jika sosiologi politik mempelajari mata-rantai antara politik dan masyarakat, dengan demikian secara konseptual basis sosio-politik menggunakan sosialisasi politik, partisipasi politik, rekrutmen politik, komunikasi politik dan pendidikan politik sebagai alat baca terhadap perilaku politik masyarakat.[58] Dimana konsep tersebut digunakan untuk membangun pengaruh, memperluas keterlibatan dalam sistem politik, penjaringan regenerasi kader politik, distribusi informasi secara merata dan sampai kepada pembelajaran politik.

Pada prinsipnya mempelajari tingkah-laku politik dan masyarakat tidak saja berangkat dari varian konsep di atas, kearifan nilai yang menjadi kultur masyarakat merupakan eksponen penting terbentuknya lembaga politik dan idelogi politik masyarakat. Kearfan nilai dapat dipahami sebagai alur atau peristiwa dalam kehidupan sosial. ‘Ada’ dalam politik bukan dunia keseluruhan, melainkan ‘ada’ atau situasi di wilayah sosial, dan ‘ada’ juga dalam arti kolektif. Situasi seperti ini menunjukkan kearifan nilai kolektifitas menjadi tradisi yang sejak lama berada dalam batas kesadaran dan menjadi pilihan hidup masyarakat kita. Sebaliknya, masyarakat barat sangat fanatik dengan kearifan nilai individualistik-nya, dan tidak sama dengan nilai yang kita miliki. Maka tidak heran, ketika perilaku politik pecah belah diterapkan pada masyarakat kita, cenderung situasi ini tidak akan bertahan lama, bila pada saat yang sama masyarakat kita sadar dan mau berubah berdasarkan kearifan nilai yang dimiliki.

Q. Masyarakat dan Politik

Kehadiran politik dalam masyarakat dapat dilihat dari bermacam-macam sudut. Memandang dan memahami politik, tidak hanya dalam batas-batas ilmu politik itu sendiri. Jika diamati dalam konteks yang luas, politik itu tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Penempatan politik dalam konteks yang luas itu membawa kita kepada pembicaraan tentang perilaku politik dalam hubungannya dengan lingkungan sosial dan lebih khusus lagi masyarakat. Sesungguhnya dalam kehidupan berpolitik, faktor dan campur tangan manusia tidak pernah berhenti berkelebat, baik sebagai operator maupun sasarannya. Karena peranan manusia yang terus-menerus itu, kita perlu lebih memastikan, bahwa manusialah aktor penting di belakang kehidupan politik.

Oleh karena itu, kita akan memahami masyarakat yang memiliki peran dalam mempertahankan eksistensi politik. Bila demikian, peran yang dilakoni oleh setiap masyarakat tentu berangkat dari premis yang sama, bahwa faktor kepentingan menjadi agenda tindakan dan argumentasi kontes politik. Dibalik kepentingan tersimpan kehendak tingkat kebutuhan masyarakat, baik itu secara personal maupun kelompok. Sehingga pemenuhan kehendak akan membentuk peran berdasarkan temperatur tingkat kepentingan masing-masing. Sulit untuk tidak percaya, bahwa masyarakat sebenarnya dalam kesehariannya selalu berpolitik. Sehingga pergulatan antara masyarakat dan politik tidak dapat dihindarkan, sisanya adalah ungkapan kekecewaan terhadap espektasi politik. Dalam hal ini, perlu dipertegas tidak setiap masyarakat mempunyai cara pandang yang sama terhadap politik, baik itu politik secara normatif sampai cara bekerjanya politik di masyarakat. Semua itu dipahami jika kontes politik telah menciptakan ekspresi kebebasan, dan disitulah muncul sekat/jarak ideologis. Sebab cara berpolitik masyarakat akan selalu memiliki karakter dan ciri khas tersendiri.

Bagi masyarakat Barat, mungkin politik dianggap sebagai badly needed. Meski sering membuat kebebasan individu terbelenggu, kehadirannya senantiasa diperlukan. Tanpa politik, maka aturan-aturan kolektif sulit diperoleh. Sebagai zoon politicon, kehadiran politik sungguh diperlukan. Tapi deferensiasi peran dan struktur sudah tercipta sedemikian rupa, belenggu atau pengaruh politik dapat dikurangi hingga batas yang paling minimal. Mungkin dalam setiap pemilu saja terjadi fenomena politik secara massal. Itu pun tidak harus dilakukan oleh semua orang yang sudah memperoleh hak memilih. Kelihatannya, memilih atau tidak sudah menjadi hak asasi dari tiap anggota masyarakat yang bersangkutan. Orang pun tidak terlalu mempersoalkan seberapa jauh politik berperan dalam masyarakat. Justru jika politik disalahgunakan masyarakat akan dengan mudah mengecamnya. Karena kedaulatan ada di tangan rakyat, mereka pula yang kelak akan menetukan arah politik selanjutnya.[59]

Hampir semua watak politik modern menyerahkan legitimasi kedaulatan di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi senjata pamungkas untuk membuat, menjalankan dan bahkan mematahkan/merobohkan manifestasi politik yang sengaja dibebankannya. Manifestasi politik merupakan tindakan dan argumentasi yang sengaja dibuat dan sengaja pula dijalankan sebagai wujud pilihan hidup berdemokrasi. Namun pada waktu yang sama ia berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang dibuatnya, manakala skema-skema manifestasi politik itu sudah tidak sesuai lagi dengan cara berpolitik pada masyarakat tertentu.

Lalu, salahkah ketika masyarakat yang mencoba ingin meloloskan diri dari “belenggu” cara berpolitik yang berseberangan dengan keyakinannya. Keyakinan untuk mendapatkan hak-hak konstitusionalnya baik dalam arti obyektif maupun sebaliknya. Situasi ini menunjukkan politik akan menampilkan ekspersi kebebasan dalam kemajemukan perbedaan. Seperti apa yang dituliskan dimuka, masyarakat adalah tempat berkelebatnya politik, maka faktor kebutuhan akan melahirkan varian kepentingan yang berbeda. Dibalik itu rupanya tersimpan kerumitan antara masyarakat dan politik, salah satunya cermin cara berpolitik yang berbeda dan menjadikan perilaku politik masyarakat terfragmentasi kepada kepentingan tertentu.

R. Relasi Politik dan Kebebasan

Kebebasan sebagai sesuatu yang fundamental dalam politik, keduanya memiliki relasi pengakuan terhadap keberadaannya. Bagi politik, tanpa adanya kebebasan tidak mungkin ada politik dan politik tanpa kebebasan sama sekali bukan politik. Dinamisasi antara politik dan kebebasan akan selalu berjalan, dan mungkin saja saling menuntut atau juga menunjukkan minatnya terhadap orde politik tertentu. Seperti yang kita ketahui, berbagai orde politik telah dilalui oleh negara ini, tetapi politik dan kebebasan memiliki ruang hidup sendiri. Sehingga impian bangsa ini semakin tidak sabar ingin melihat politik tidak lagi menjadi tawanan oleh penguasa pada jaman orde baru. Pada intinya memiliki cita-cita bersama untuk bebas menuju orde politik selanjutnya, yang menjamin hak-hak asasi manusia.

Tidak dapat dipungkiri, lahirnya orde politik reformasi terlihat adanya dinamisasi politik yang pesat di Indonesia. Tonggak penting yang mengawali secara dramatik dinamisasi tersebut yaitu jatuhnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 dari kursi kekuasaan yang telah didudukinya selama tigapuluh dua tahun.[60] Dari aspek politik cukup banyak perubahan yang terjadi selama ini. Betapa tidak, tirani kekuasaan pada masa orde baru membuat kehidupan demokrasi politik menjadi tawanan serta terkondisikan dengan instruksi penguasa. Sehingga jarang sekali kita dapat mendengar kritik dengan suara lantang yang ditujukan kepada pemerintah, hal ini disebabkan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum tidak dijamin pada waktu itu.

Insiden seperti ini justru membuat politik terbelenggu dengan kekuasaan yang absolut. Apa jadinya politik jika tidak diberikan ruang kebebasan? Jawaban ini telah kita rasakan bersama pada orde politik sebelumnya. Saat ini orde politik kita berusaha untuk mencari jati dirinya. Wajah politik modern yang selalu mengedepankan penghargaan terhadap hak asasi manusia, tetapi justru terkadang politik sering melahirkan pelanggaran kemanusiaan.

Pelanggaran hak asasi manusia terjadi dalam iklim demokrasi yang lebih berfokus pada hak, ketimbang kebebasan. Konsep hak asasi manusia yang demikian ini terjadi sejak adanya pergeseran paradigma dari paham “hak kodrat tradisonal” yang lebih menekankan ide kebebasan kepada paham “hak kodrat modern” yang lebih menekankan ide hak itu sendiri.[61] Pergeseran ini pada gilirannya mempengaruhi konsep dan praktik demokrasi itu sendiri. Kalau pada konsep tradisional yang terutama diwakili oleh Aristoteles, manusia di lihat sebagai makhluk sosial (zoon politikon), maka konsep modern yang terutama diwakili Hobbes melihat manusia sebagai makhluk yang mencari kepentingan diri sendiri, dan kebebasan hanya bermakna sejauh itu bermanfaat untuk memuaskan kepentingan diri sendiri.[62]

Konsep dan praktik demokrasi yang diajukan oleh paham tradisional lebih melihat hak manusia pada jalinan kelindan kebebasan satu sama lain, sementara paham modern lebih melihat hak manusia sebagai tuntutan individual tanpa memperhatikan kepentingan yang lain apalagi bersama.[63] Dalam konteks di atas, semakin intensnya kontes politik modern yang terbukanya katup kebebasan politik menyusul banyak terjadinya ketidakramahan kembali antara politik dan hak dasar kemanusiaan. Watak liberal sebagai taradisi asal paham politik modern adalah bentuk pendangkalan terhadap kearifan paham politik bangsa kita. Tentu kearifan ini, berangkat dari nilai kolektifitas, dimana memahami makna kebebasan disandarkan pada kesetaraan konstitusional. Artinya, kebebasan semestinya tidak saja dilihat sebagai bagian dari hak, melainkan sebagai ruang pemenuhan hak. Jika makna kebebasan tidak dipahami seperti itu, kebebasan bukan lagi kebebasan, melainkan terjadi kekacauan.

S. Kesadaran Cara Berpolitik “Progresif”

Berbagai fenomena cara berpolitik yang dihadapi bangsa ini, menunjukkan perkembangan yang makin kompleks, baik dalam ranah teoretis maupun ranah paraktis. Hal tersebut telah memacu perkembangan berbagai ide dan pandangan untuk menyikapinya. Desakan untuk menentukan secara sosiologis tentang bagaimana cara berpolitik kita saat ini menjadi lebih terasa manakala ketika melihat betapa politik itu semakin memegang peranan sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat modern.

Harus diakui kebelakangan ini, bahwa cukup banyak prestasi politik kita yang berjalan tidak memuaskan. Kemudian tidak jarang juga layar kaca, media cetak dan media elektronik tampil memberi kabar pada masyarakat luas mengenai kegagalan cara berpolitik kita selama ini. Kebijakan politik disisi lain tidak saja dapat diterima dengan tangan terbuka, terkadang hanya menjadi komoditi politik untuk dijadikan bahan cerita rakyat. Sudah menjadi kebiasaan ketika terjadi konflik politik, selalu masyarakat pada tingkat level bawah menjadi mesin konflik yang berkepanjangan. Sengketa pilkada maluku utara adalah satu dari sekian banyak konflik politik yang sampai detik ini tidak menemui jalan terang, hal ini disebabkan para elite politik dengan sengaja melakukan proses pembiaran terhadap konflik itu, agar gejolak yang terjadi dapat membuat kekacauan. Dalam hal ini diperlukan progresifitas dan kesadaran cara berpolitik, agar dapat menekan kesenjangan yang melebar antara harapan dan kenyataan.

Kata kuncinya adalah berani tidak kita untuk membebaskan diri dari faham bahwa politik tidak hanya sekedar pemenuhan kepentingan dirinya sendiri, akan tetapi politik dapat menjamin interaksi sosial masyarakat menjadi humanis dengan penuh kesadaran bahwa kepentingan pemenuhan hak-hak dasar manusia adalah segalanya. Sehingga jika kita bertanya bagaimana moral politik ‘progresif’, kandungan nilai moral ini adalah kepedulian yang tidak kunjung berhenti, mengenai bagaimana mendorong politik untuk memberikan jalan yang lebih baik dan lebih baik lagi kepada bangsanya.

Salah satu perwujudan moral tersebut adalah pada waktu dibicarakan kesadaran cara berpolitik sebagai kesinambungan antara melemahkan paham kepentingan untuk dirinya sendiri, kemudian di arahkan untuk membangun makna kebebasan yang disandarkan pada kesetaraan konstitusional. Moral politik ‘progresif’ ingin mendorong cara kita berpolitik tidak pernah mengenal waktu untuk berhenti, melainkan selalu ingin melakukan sesuatu menuju kepada keadaan demokrasi politik yang lebih baik.

Salah satu cara berpolitik yang sangat merisaukan adalah ketika secara mutlak berpegangan pada peran kepentingan antagonis. Cara dan peran yang demikian itu merupakan hal yang banyak dilazimkan dalam kontes politik kita saat ini. Cara berpolitik tersebut hanya melihat manusia sebagai market politik atau selebihnya objek kepentingan. Di sinilah letak gagalnya potret perilaku politik masyarakat kita jika melihatnya dalam konteks hak asasi manusia.

Pada dasarnya, nilai-nilai hak asasi manusia dapat ditandai dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (masyarakat). Keseimbangan antara aspek kemanusiaan dan aspek kemasyarakatan mengandung makna antara hak-hak perorangan (individu) di satu pihak dan hak-hak kemasyarakatan (sosial) di lain pihak.[64] Dengan perkataan lain, bagaimana bisa dapat diwujudkan keseimbangan antara keduanya jika bekerjanya politik hanya ditempatkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Kesadaran yang meliputi nilai progresifitas semestinya politik merupakan manifestasi dan sekaligus hadir sebagai pelestari hak-hak dasar manusia.

Jika kita berbicara pada ranah tipologi, maka kesadaran cara berpolitik ‘progresif’ dijalankan ke dalam tipe berpolitik dengan nurani. Cara berpolitik itu tidak hanya menggunakan rasio kepentingan, melainkan juga sarat dengan kenuranian. Di sinilah cara berpolitik kita akan dirasuki dengan rasa empati, kejujuran, komitmen dan keberanian. Dengan demikian maka kita akan berbicara nurani rakyat dalam ruang sosial yang lebih luas. Keadaan akan menjadi ideal manakala baik peran/aktor politik maupun sistemnya sama-sama progresif. Dengan pandangan ini, cara berpolitik kita dapat menampilkan makna arti yang progresif, jika politik itu hadir dapat menjaga keseimbangan antara hak kemanusiaan dan hak kemasyarakatan, dan bukan berarti sebaliknya.

T. Simpulan

Salah satu kerisauaan kita sebagai bangsa, yaitu terhadap kurangnya kesadaran cara kita berpolitik untuk turut memecahkan problem-problem besar bangsa dan negara kita. Cara berpolitik yang menempatkan pemenuhan kepentingan untuk dirinya sendiri, sudah waktunya untuk ditinjau kembali. Selama ini, potret sosiologi politik yang demikian itu tidak mampu untuk memecahkan problem sosial. Suatu cara berpolitik yang berwatak progresif perlu dilakukan untuk menembus kemandegan. Maka bukan penglihatan yang harus ditutup atas potret politik masyarakat kita saat ini, melainkan secara progresifitas untuk menumbuhkan kesadaran berpolitik dengan nurani dan sekaligus hadir sebagai pelestari hak-hak asasi manusia.

Amar Abdullah Arfan, S.H.

Direktur Bidang Dinamika Politik dan Konstitusi

Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

Referensi

Barda Nawawi Arief, Perlindungan HAM dalam Hukum Positif di Indonesia, Himpunan Naskah Lokakarya Nasional Tentang Hak-HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, Jakarta, 1992.

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik “Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern” Cet II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

Munafrizal Manan, Pentas Politik Indonesia Pasca Orde Baru, IRE Press, Yogyakarta, 2005.

Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Cet V, Rajawali Pers, Jakarta, 1995.

Robertus Robet, Kembalinya Politik “Pemikiran Politik Kontemporer Dari (A)rendt Sampai (Z)izek”, Cipta Lintas Wacana, Jakarta, 2008.

Soerjono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Syarofin Arba, Demitologisasi Politik Indonesia, CIDESINDO, Jakarta, 1998.

AKTUALISASI PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO

TERHADAP POTRET KEJAHATAN KEMANUSIAAN

(ANALISIS PUTUSAN No. 45 PK/Pid/HAM AD HOC/2004)


U. Pendahuluan

Isu hak asasi manusia (HAM) sudah menjadi agenda global yang semakin penting artinya dewasa ini, terutama paska berakhirnya perang dingin. Negara-negara di seluruh pelosok dunia semakin bersemangat mempromosikan advokasi HAM ke seluruh dunia, bahkan menjadikannya sebagai indikator dan faktor penentu dalam menentukan kebijakan dan hubungan luar negeri mereka.

Potret Hak Asasi Manusia (HAM) adalah mosaik sejarah tentang penegakan kemerdekaan, kebebasan, keadilan, persamaan, perdamaian, persaudaraan dan perlindungan. Mosaik yang pasang surut dalam cerminan kecermelangan dan keburaman jutaan wajah umat manusia. Hampir menjadi kenyataan, bahwa pelanggaran HAM menempati fargmentasi historis[65] dengan fenomena yang berulangkali dilakukan. Bahwa rekaman sejarah terhadap nasib hak-hak asasi juga senantiasa menyuarakan bagian-bagian pembelaannya yang heroik atas musnahnya kemerdekaan itu sendiri. Bahkan dengan nada sedikit kecewa, problem HAM telah berkembang sedemikian krusial, sehingga menjadi dilema global[66].

Sejalan dengan perkembangan dan dinamika HAM pada masyarakat global, di Indonesia sendiri problematik dan isu tentang HAM sejatinya bukan hal yang sama sekali baru. Sejak tahun 1945 ketika Indonesia baru merdeka sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para founding fathers Indonesia. Hal ini, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, tampak dari bunyi Alenia ke-1 Pembukaan UUD 1945, yang isinya menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu… dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”. Hal ini adalah bukti, bahwa Indonesia negara yang berdasarkan atas hukum[67] dan mengakui adanya eksistensi HAM yang diletakkan pada orientasi cita-cita bangsa.

Perjalanan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia cukup menghadirkan fenomena yang kelam, karena dari sekian banyak duka sejarah pelanggaran HAM di Indonesia hampir tidak mendapatkan ruang segar keadilan. Jika kita berani untuk mengingat kembali beberapa torehan sejarah terhadap potret pelanggaran HAM di negeri Pancasila ini, mugkin hanya sekelumit yang tersisa dalam ingatan kita. Begitulah ironi jika berada dalam negara pemaaf dan pelupa.

Akan tetapi dalam kesempatan ini, penulis berupaya menampilkan kembali dari sekian bertumpuknya profil pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi dan menjadi fakta sejarah bangsa ini, seperti halnya pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh pada Agustus 2001,[68] Trisakti Mei 1998, Semanggi I November 1998, Semanggi II September 1999, Tanjung Priok 1984 sampai pada kasus di Timor-Timur pasca jajak pendapat untuk menentukan masa depan nasib rakyat Timor-Timur. Dari beberapa profil pelanggaran HAM tersebut, ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak asing dengan potret HAM sebagai kejahatan yang serius, akan tetapi hanya terlihat latah dalam proses penuntasannya dari berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi.

Dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi, penulis berupaya untuk lebih fokus mengkaji mengenai pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tim-tim, sebagai bentuk penyesuaian terhadap topik bahasan yang diangkat oleh penulis.

Pelanggaran HAM berat di Tim-tim tidak terlepas dari penguasaan rezim yang berkuasa pada waktu itu. Pada tahun 1965, Presiden Soekarno digantikan oleh Jenderal Soeharto. Selanjutnya, rezim Soeharto membentuk Kabinet Orde Baru yang memfokuskan pada pembangunan ekonomi. Dalam era ini, militer menggunakan kesempatan untuk mengambil keuntungan dari situasi ini dan menciptakan peran yang penting baginya dalam bidang sosial, ekonomi, penegakan hukum, parlemen, dan politik. Militer merupakan faksi yang sangat kuat selama pemerintahan Soeharto, sehingga tak jarang kita melihat fakta sejarah yang mengatakan rezim ini sebagai era tak bernurani. Karena pada waktu itu rezim Soeharto dan militer sangat alergi pada demokrasi dan HAM.

Pelanggaran HAM berat di bawah rezim Soeharto yang muncul di Tim-tim telah mengakibatkan hak untuk hidup seseorang di jajah bahkan dicabut begitu saja. Kejadian pembunuhan massal yang diduga dilakukan oleh pasukan militer Indonesia di pemakaman Santa Cruz di Dili sampai kerusuhan yang dilakukan oleh kelompok pro integrasi untuk Indonesia dan kelompok pro kemerdekaan untuk rakyat Tim-tim pasca jajak pendapat tahun 1999.

Kerusuhan di Tim-tim sebagai akibat terpecahnya kosentrasi massa menjadi dua bagian ke dalam pengelompokkan kepentingan yang pro integrasi dan pro kemerdekaan, merupakan bagian tarik ulur kepentingan elit politik yang mengorganisir massa sebagai komoditi kepentingan terhadap tuntutan kedua belah pihak. Disamping itu, rezim Soeharto yang berdiri tegak selalu menyelesaikan masalah dengan tangan dingin militer, karena hal ini di anggap sebagai pengendalian yang efektif dalam ruang lingkup kekuasaannya.

Seharusnya komitmen ini juga harus diikuti dengan tanggung jawab suatu rezim dalam menuntaskan kompleksitas permasalahan pelanggaran HAM berat di Tim-tim, bukan menggeluarkan kebijakan yang menambah runcing masalah, seperti apa yang terjadi di Tim-tim pasca jajak pendapat 4 September 1999 keadaan kota Dili menjadi kacau dan memanas. Akhirnya rezim ini di awal dapat dikatakan cuci tangan terhadap dinamika yang terjadi di tanah Lorosae, konflik yang terjadi merupakan bagian dari kebijakan rezim Soeharto yang berwajah militer, akan tetapi setelah konflik ini mencapai titik klimaksnya negara ini dengan begitu saja mentelantarkan rakyat Tim-tim dalam menyelesaikan masalah nya sendiri. Hal ini dapat dipahami yang pada saat itu Indonesia sangat alergi dengan persoalan HAM dibawah pemerintahan Soeharto, dan ketika konflik Tim-tim telah menjadi pusat perhatian internasional, barulah Indonesia bergegas untuk menjadi negara simulator yang seakan-akan mengakomodir persoalan HAM dengan diadilinya beberapa daftar hitam pelanggar HAM berat di Tim-tim.

Seperti yang dapat kita lihat daftar hitam pelanggar HAM berat yang telah diajukan ke muka persidangan mendapatkan vonis pemidanaan yang berbeda-beda, bahkan ada yang di putuskan bebas. Salah satu yang mendapatkan putusan bebas ialah Abilio Jose Osario Soares (Selaku Gubernur Timor-Timur). Sedangkan dari sekian pelanggaran HAM berat tersebut berdasarkan hasil dari putusan yang diberikan oleh hakim ad hoc terlihat dakwaannya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan melalui mekanisme pertanggungjawaban komando. Walaupun dari pelanggar HAM bukan berada pada kalangan militer, karena pada Pasal 42 Ayat (2) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM pertanggungjawaban komando dapat juga menjerat warga sipil sebagai pelanggar. Dalam perjalannya terdapat banyak kejanggalan-kejanggalan yang terjadi pada pengadilan HAM ad hoc yang mengadili Abilio dalam kelanjutan persidangan sebelumnya. Karena penerapan konsep pertanggungjawaban komando tidak pada porsi yang terlihat sebenarnya. Yang lebih mengejutkan lagi ketika Abilio melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali, ia diputuskan bebas oleh hakim ad hoc. Potret ini menunjukkan bahwa penuntasan kasus pelanggaran HAM khususnya di Tim-tim tidak berangkat dari pemahaman landasan historis dari gagasan nilai-nilai HAM yang di masukkan ke dalam hukum positif Indonesia. Maka dengan tujuan inilah topik pada makalah ini menjadi bagian pokok bahasan.

V. Gagasan HAM Dalam Perspektif Historis

Fakta sejarah mencatat ada tiga negara sebagai peletak dasar HAM, yakni Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Inggris adalah negara perintis pertama di dunia yang memperjuangkan HAM yang dimulai semasa raja Inggris, Jhon Lacland (1192-1216). Ia memerintah secara sewenang-wenang, sehingga menimbulkan protes di kalangan bangsawan.[69] Menurut Moh. Mahfud MD, gagasan HAM dan instrumennya di dalam kehidupan bernegara sebenarnya telah berlangsung selama berabad-abad. Di Eropa paling tidak mulai dikenal dari dictatus papae pada abad ke-2 yang kemudian menyusul magna charta 1215, sementara di Timur sebenarnya tercatat telah ada Piagam Madinah yang disusun negara Islam awal yang juga memuat perlindungan HAM seperti yang dikenal pada zaman modern ini.[70]

Dalam massa perjalanan HAM yang begitu panjang di berbagai negara, barulah sesudah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal dengan nama universal declaration of human rights yang diciptakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Universal Declaration Of Human Rights ini disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 217 A (III) pada tanggal 10 Desember 1948,[71] yang terdiri dari 30 pasal. Kemudian, pada Tanggal 5 Agustus 1990 the organization of Islamic conference (OIC) mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan yang sesuai dengan Syariat Islam yang bersumber Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Deklarasi ini disebut cairo declaration yang berisi 25 pasal tentang hak asasi manusia. Pasal 12, misalnya, berisi tentang hak seseorang untuk menjalani kehidupan sesuai dengan hukum Allah.[72]

Fakta yang menekankan pada aspek historis itu, merupakan suatu bukti bahwa persoalan pelanggaran HAM telah berlangsung demikian lama dan dapat terjadi di setiap bangsa manapun di muka bumi. Hanya reaksi sikap, bahwa pelanggaran HAM itu suatu perbuatan yang merendahkan harkat kemanusiaan, dan karenannya harus bertindak tegas terhadap pelakunya, atau sekurang-kurangnya anggota masyarakat yang menjadi korban pelanggaran HAM harus menunjukkan sikap peduli terhadap pelanggaran HAM.

Pada dasarnya, HAM ditandai oleh dua ciri, pertama, keseimbangan antara hak dan kewajiban. Kedua, kesimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (masyarakat). Jadi, perlindungan HAM meliputi dua unsur, yaitu hak asasi perseorangan dan hak asasi masyarakat. Keseimbangan antara aspek kemanusiaan dan aspek kemasyarakatan mengandung makna antara hak-hak perorangan (individu) di satu pihak dan hak-hak kemasyarakatan (sosial) di lain pihak. Dengan perkataan lain, hukum harus merupakan manifestasi dan sekaligus pelindung HAM secara individual dan HAM sebagai satu kesatuan hak komunitas.[73]

Dalam perspektif Indonesia, proses pencarian makna hak asasi manusia (HAM) sebenarnya telah melalui suatu proses sejarah yang panjang. Secara historis, dapat ditemukan adanya beberapa perdebatan yang mengarah kepada upaya perumusan konsepsi HAM menurut Indonesia.[74] Berkaitan dengan masalah pemahaman bangsa Indonesia terhadap HAM, terkait dengan hak asasi merupakan hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan.[75] Hal ini di dasarkan, mengingat hak dasar merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka pengertian hak asasi manusia adalah hak sebagai anugerah yang melekat pada diri manusia, yang bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.[76]

Pada masa pemerintahan orde baru,[77] demokrasi belum berjalan dengan baik. Terlihat misalnya seperti kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, kebebasan pers maupun kebebasan dalam organisasi dan sebagainya. Hanya kepentingan-kepentingan politik yang mendominasi pada saat itu, sehingga gerak-gerik masyarakat terbatas oleh kekuatan politik dan militerisme. Semenjak pergantian orde baru, dan kabinet era reformasi sampai dengan kabinet gotong royong, Indonesia telah banyak menetapkan peraturan perundangan yang berperspektif HAM dan ratifikasi instrumen HAM internasional, yaitu;

a. Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

b. Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan Program Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.

c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan.

d. Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

e. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

f. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999 Tentang HAM.

g. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Pengadilan HAM.

h. PP No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

i. PP No. 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.[78]

Berdasarkan ratifikasi instrumen HAM internasional yang di akui oleh negara-negara anggota PBB, memaksa Indonesia untuk memasukkan instrumen HAM internasional ke dalam hukum positif nasional sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia dengan memperkuat lembaga masyarakat, lembaga studi, dan masyarakat luas untuk memainkan peran dalam mempromosikan dan melindungi HAM terhadap kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.

Setidaknya inilah, justifikasi gagasan HAM dalam perspektif historis, konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat theologis, filsafat, ideologis, atau moralistik, dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam konsep modern akan cenderung ke sifat yuridis dan politik. Karena instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan hukum internasional baik tertulis maupun tidak tertulis.

W.Relevansi Pertanggungjawaban Komando Terhadap Pelanggaran HAM di Timor-Timur

Pelanggaran HAM berat di Tim-tim merupakan tragedi kejahatan terhadap kemanusiaan. Kenyataan ini dapat dirasakan oleh rakyat Tim-tim secara meluas. Fakta sejarah mengatakan, bahwa hieararki konflik yang terjadi dilakukan dengan cara sistematis. Skema ini menunjukkan bahwa penyelesaian hukum terhadap kasus ini memang sulit dipecahkan. Sebab asumsi dugaan tidak saja didasarkan oleh peristiwa langsung yang terkait dilapangan, akan tetapi lebih jauh memerlukan pengamatan lebih mendalam untuk melakukan investigasi penyebab yang secara tidak langsung terjadi, invetigasi ini disandarkan pada tujuan mencari aktor intelektual dibalik aksi kejahatan kemanusiaan tersebut. Maka persoalan tersebut tidak lepas dari relevansinya terhadap sistem pertanggungjawaban komando.

Istilah “pertanggungjawaban komando” merupakan terjemahan dari “command responbility” yang dalam perkembangan selanjutnya dalam kepustakaan internasional sering kali digunakan istilah “pertanggungjawaban atasan” (“super respon sibility”) yang dimaksudkan agar sekaligus dapat mencakup atasan dari kalangan non-militer (sipil). Untuk kebutuhan praktis baik di bidang perundang-undangan dan peradilan, bagi kalangan militer lebih tepat jika digunakan istilah pertanggungjawaban komandan.[79] Konsep pertanggungjawaban komandan/atasan berlaku bagi seorang atasan dalam pengertian yang luas termasuk komandan militer, kepala negara dan pemerintahan, menteri dan pimpinan perusahaan. Artinya bentuk pertanggungjawaban ini tidak terbatas pada tingkat atau jenjang tertentu, komandan atau atasan pada tingkat tertinggi pun dapat dikenakan prertanggungjawaban ini apabila terbukti memenuhi unsur-unsurnya.[80]

Jenderal Arne Willy Dahl (Hakim dari Norwegia; 2001) memberikan basis filosofis dari tanggungjawab komandan, bahwa kegagalan komandan untuk mengendalikan anak buahnya berkaitan erat dengan nama baik dan reputasi kedudukannya serta kehormatan pasukannya; atau bahkan negaranya.[81]

Tanggungjawab komando yang dikenal sejak perang dunia, merupakan doktrin pertanggung jawaban pidana seseorang komandan terhadap anak buahnya. Yurisprudensi pertanggung jawaban komandan sipil berkembang pada awal perang dunia ke-II menyangkut pimpinan Nazi, perintah atasan langsung merupakan persyaratan agar seseorang dapat dikenai tanggungjawab komandan. Di dalam kasus Yamashita, seseorang komandan dapat dikenai tanggungjawab apabila pihak yang melakukan tindak pidana adalah orang yang berada di bawah subordinat dan kontrolnya.[82]

Pada awalnya gagasan pertanggungjawaban komando hanya diterapkan pada situasi konflik bersenjata, namun dalam perkembangannya gagasan ini dapat juga diterapkan pada kasus-kasus tertentu, seperti dalam kasus kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi diluar konflik bersenjata. Dalam perkembangannya konsep pertanggungjawaban komando, juga diterapkan di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat, ketika Indonesia mengaktualisasikan Pasal 42 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam mengadili kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, dimana sebagian besar pelaku dituntut dengan sistem pertanggungjawaban komando. Para terdakwa yang diadili dalam pengadilan tersebut tidak hanya terdiri dari petinggi militer saja, tetapi juga gubernur dan para bupati.

Maka untuk mendapatkan jawaban, sejauh mana relevansi sistem pertanggungjawaban komando terhadap potret pelanggaran HAM berat di Tim-tim, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui unsur-unsur pertanggungjawaban komando sesuai pada Pasal 42 Ayat (1) dan (2) UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM. Pada Pasal 42 Ayat (1) UU 26/2000, terdapat tiga syarat agar seorang komandan militer dapat dipertanggung jawabkan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komandonya, yaitu;

  1. Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan yang berada di bawah komando atau kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat;
  2. Pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan tersebut adalah sebagai akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut oleh komandan militer atau seseorang yang bertindak secara efektif sebagai komandan militer yang bersangkutan;
  3. Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer tersebut, tidak melakukan pengendalian yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasannya dengan cara;

a. mencegah atau menghentikan pelanggaran HAM yang berat; atau

b. menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.[83]

Sementara, pertanggung jawaban atasan sipil diatur dalam Pasal 42 Ayat (2) UU 26/2000. Seperti halnya dalam komandan militer, dalam pertanggung jawaban atasan sipil pun harus memenuhi unsur-unsur, yaitu;

  1. Atasan baik Polisi maupun sipil lainnya mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat;
  2. Pelanggaran HAM berat, yang dilakukan oleh bawahan tersebut adalah sebagai akibat atasan tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar;
  3. Atasan tersebut tidak mengabil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya dengan cara;

a. mencegah atau menghentikan pelanggaran HAM berat; atau

b. menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.[84]

Berdasarkan penjelasan singkat di atas, terdapat beberapa perbedaan antara pertanggung jawaban komando atas nama sipil dan militer. Perbedaan ini terletak pada kemampuan atau sumber daya untuk memperoleh informasi di mana komandan militer dianggap mempunyai cukup daya untuk itu, dan karenanya ia tidak dapat mengatakan bahwa ia tidak tahu. Sementara bagi sipil sebagai atasan, mereka diharapkan bertindak sesuai dengan pengetahuan yang mereka peroleh.[85]

X. Profil Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur

Berdasarkan gagasan HAM dalam perspektif historis, bahwa Indonesia barulah di tahun 1999 melakukan internalisasi instrumen HAM ke dalam satu undang-undang khusus. Suasana ini menimbulkan perjalanan panjang, stabilitas politik Indonesia yang mengalami pasang-surut sangat berpengaruh terhadap proses perkembangan HAM di tanah air. Perlahan-lahan waktu juga memaksa Indonesia untuk lebih memahami dan menghargai persoalan HAM sebagai perlindungan terhadap martabat manusia. Puncaknya tekanan Internasional melalui Dewan Keamanan PBB terhadap kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur menjadikan Indonesia berbenah diri, dengan melakukan pengusutan serta mempersiapkan segala sesuatu aturan-aturan hukum yang terkait dengan HAM.

Profil pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tim-tim merupakan pil pahit bagi perjalanan sejarah bangsa ini. Bagaimana tidak, demi mempertahankan status-quo ratusan orang di korbankan. Inilah hasil dari rezim yang hanya terjebak kepada kepentingan kekuasaan. Kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada era pemerintahan Pak Harto menyisakan beban sejarah pada bangsa ini. Warisan kelam sang pemimpin, menjadi justifikasi bahwa sampai detik ini betapa sulitnya menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan. Bukan saja sulit, tapi juga tak berniat dalam melakukan penegakan HAM. Hal ini ditunjukkan dari beberapa kasus yang belum tuntas penyusutannya, ialah potret kejahatan kemanusiaan di Timor-Timur yang dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat merupakan salah satu kasus diantara beberapa kasus yang belum jelas ujung pangkalnya.

Jauh hari sebelum aksi kerusuhan yang menewaskan banyak korban pasca jajak pendapat tahun 1999 sebagai kebijakan penentu masa depan rakyat Tim-tim, potret terhadap pelanggaran HAM sudah pernah terjadi. Pembunuhan massal di pemakaman Santa Cruz Dili merupakan adegan keji yang diduga dilakukan oleh Pasukan militer Indonesia. Kejadian ini berawal dari tertembaknya Sebastian Gomes di halaman Gereja Motael yang dilakukan oleh pihak militer Indonesia. Beberapa hari setelah insiden tersebut, rakyat Tim-tim memperingati kematian Sebastian Gomes dan berdemonstrasi dengan berjalan dari Gereja Motael ke pemakaman Santa Cruz yang berjarak 5 kilometer. Demonstran yang marah menggunakan banyak spanduk yang berisikan kritikan yang ditujukan kepada pemerintahan Indonesia dan militer, tentu saja hal ini membuat geram militer. Setelah para demonstran sampai ke pemakaman Santa Cruz, militer menembaki para demonstran dan mereka banyak yang tewas di tempat, sementara yang lain hilang.[86]

Selama masa persidangan kasus Santa Cruz, jaksa penuntut mengatakan bahwa tertuduh melanggar hukum subversi Indonesia karena rakyat Tim-tim telah membuat Deklarasi Balibo, yang menyatakan bahwa Tim-tim bersatu dengan wilayah Indonesia melalui sebuah proses integrasi. Sehingga “integrasi” menjadi titik perdebatan dalam persidangan. Deklarasi Balibo sebenarnya di buat oleh pemerintah Indonesia, yang isinya ialah berupa legitimasi secara de facto bahwa Tim-tim menjadi bagian Indonesia sejak tahun 1975/1976. Akan tetapi secara de jure wewenang dan kedaulatannya dipertanyakan. Untuk alasan ini, pemerintah Indonesia secara de jure tidak memiliki wewenang penuh karena Tim-tim masuk ke dalam agenda PBB dan PBB telah membuat beberapa resolusi.[87]

Resolusi itu merupakan perjanjian untuk membentuk UNAMET (Misi PBB di Timor-Timur). Misi itu untuk mengatur dan melakukan konsultasi publik yang dijadwalkan pada Agustus 1999, berdasar pada pemilihan secara langsung, rahasia dan menyeluruh dalam menentukan apakah rakyat Tim-tim mau menerima kerangka konstitusional yang diajukan; yaitu mengusulkan otonomi khusus untuk Tim-tim di bawah NKRI atau menolak otonomi khusus yang diajukan, dan menuju perpisahan Tim-tim dari Indonesia.[88]

Jalan panjang narasi kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Tim-tim, memperlihatkan kepada masyarakat Internasional bahwa persoalan pelanggaran HAM telah menjadi perhatian yang cukup serius. Kejahatan kemanusiaan tidak hanya terdapat pada negara-negara yang baru akan berkembang, tetapi juga dapat terjadi pada negara yang maju sekalipun. Artinya kejahatan kemanusiaan dewasa ini tidak lagi dipahami secara sempit, hal ini disebabkan pada sebuah proses pendewasaan dalam menempatkan martabat manusia pada derajat yang sebenarnya.

Pelanggaran HAM berat di Tim-tim tidak begitu saja terjadi dengan sendirinya, profil ini menunjukkan resistensi politik pada waktu itu memaksa rakyat Tim-tim dalam menentukan pilihan kedalam bagian pro integrasi atau pro kemerdekaan. Dan kedua kelompok tersebut, adalah rangkaian dari skenario elite politik sebagai alat kendali kepentingannya. Bahwa sebelum dilaksanakan jajak pendapat untuk menentukan masa depan nasib rakyat Tim-tim stabilitas keamanan pada waktu itu, merupakan indikator pemerintah mengeluarkan kebijakan darurat militer terhadap daerah konflik Tim-tim. Pemerintah lebih yakin dengan menggunakan pendekatan militer persoalan sparatisme dapat terselesaikan dengan baik. Ternyata sebaliknya, suasana Tim-tim menjadi saling tidak percaya dan tingkat pembangkangan terhadap pemerintah semakin massif dilakukan oleh kelompok pro kemerdekaan.

Setidaknya berawal dari itu, kelompok yang pro integrasi baik itu melalui simpul pemerintah daerah setempat maupun simpul masyarakat sipil bersatu melakukan oposisi represif terhadap kelompok pro kemerdekaan. Dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi, melalui Abilio Jose Osorio Soares selaku Gubernur Timor-Timur, perlu dibentuk organisasi politik serta jajak pendapat dengan nama Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan (FPDK) dan Barisan Rakyat Timor-Timur di masing-masing Kabupaten Tingkat II. Organisasi ini dibentuk guna menampung aspirasi rakyat Tim-tim yang pro integrasi dalam menghadapi jajak pendapat, serta membentuk organisasi pengamanan swakarsa (PAM SWAKARSA). Gerakan antisipasi yang di pelopori oleh Abilio (Gubernur Tim-tim) merupakan kebijakan pemerintah setempat berdasarkan hasil rapat Muspida. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa pengamanan swakarsa (PAM SWAKARSA) di biayai dari APBD masing-masing diperoleh dari daerah tingkat II.[89]

Tercatat ada 3 kabupaten dan kota administratif Dilli berdiri organisasi[90] yang bersifat kemasyarakatan berdasarkan kebijakan dari Abilio, mengarahkan organisasi tersebut sebagai forum persiapan menjelang keputusan pemerintah Indonesia mengenai jajak pendapat. Disamping itu organisasi ini memiliki fungsi kendali terhadap stabilitas keamanan di Tim-tim. Setelah jajak pendapat organisasi-organisasi tersebut bergabung menjadi satu dalam PPI (Pasukan Pejuang Integrasi) yang dipimpin oleh Eurico Gutteres.[91]

Peristiwa di atas menjadi cerita penting dalam menghantarkan kita memahami profil pelanggaran HAM berat di Tim-tim melalui kepemimpinan Abilio (selaku Gubernur Tim-Tim) dan Eurico Gutteres (Wakil Panglima PPI dan komandan kelompok AITARAK). Eurico Guterres merupakan nama yang cukup terkenal di pentas politik nasional. Walaupun secara politis dia tidak berada dalam spektrum kekuasaan, namun reputasinya sebagai wakil panglima milisi Aitarak sangat populer di Indonesia karena aksi-aksinya di Tim-tim untuk mendukung integrasi Tim-tim dalam NKRI. Namun, di depan hukum nasional dan hukum internasional, Guterres adalah salah seorang penjahat kemanusiaan yang banyak terlibat dalam berbagai aksi pelanggaran HAM berat di Timtim, terutama pasca jajak pendapat yang mengantarkan Tim-tim menjadi negara merdeka.

Beberapa aksi penyerangan oleh kelompok pro integrasi terhadap kelompok pro kemerdekaan, yang dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda, serta berakibat ratusan orang meninggal merupakan bagian dari aksi dan pengaruh Gutteres terhadap kelompoknya. Peristiwa ini diawali dari apel akbar peresmian PAM SWAKARSA pada tanggal 17 April 1999, dihadiri antara lain Abilio (Gubernur Tim-tim), Mathius Maia (Walikota Dili), dan Eurico Gutteres (Wakil Panglima PPI) beserta anggota/pasukan organisasi bentukan dari kebijakan Abilio. Mereka semua datang dan berkumpul di depan kantor Gubernur Tim-tim dengan membawa bermacam-macam senjata tajam. Pada kesempatan yang sama Gutteres memberikan pidato kepada peserta apel akbar pada waktu itu, dengan semangat yang berapi-api dan nuansa bahasa penuh provokasi. Bahkan Gutteres berani mengatakan perintah untuk membunuh semua kelompok pro kemerdekaan.

Hal inilah yang meyebabkan perhatian masyarakat Internasional pada Timor Lorosa’e sangat besar, ketika terjadi kekerasan luar biasa pada tahun 1999. Melalui desakan dan respon komisi hak asasi PBB, mereka membentuk Komisi Penyelidikan Intenasional yang antara lain merekomendasikan pembentukan pengadilan Internasional untuk mengadili para pelaku penjahat kemanusiaan tersebut. Namun kemudian, perhatian masyarakat Internasional menjadi melemah (khususnya Komisi Hak Asasi PBB) setelah dengan diberikannya kepercayaan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan pengusutan dan pengadilan sendiri.

Di Indonesia, sebelumnya Komnas HAM telah mengeluarkan pernyataan yang antara lain berisi; “...perkembangan-perkembangan kehidupan masyarakat Tim-Tim pada waktu itu telah mencapai kondisi anarki dan tindakan-tindakan terorisme telah dilakukan secara luas baik oleh perorangan maupun kelompok dengan kesaksian langsung dan pembiaran oleh unsur-unsur aparat keamanan”. Selanjutnya pada 22 september Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tim-Tim (KPP-HAM). Tugasnya adalah mengumpulkan fakta mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Tim-tim sebelum dan sesudah hasil dari jajak pendapat yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Penyelidikan dikhususkan pada kemungkinan terjadinya; genosida, pembunuhan massal, penganiayaan, pemindahan paksa, dan pembumihangusan.[92]

Tinjauan atas profil pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi di Tim-tim, membuat KPP-Komnas HAM memfokuskan penyelidikan terhadap serangkaian pelanggaran HAM yang terjadi di Tim-tim. Setidaknya ada sepuluh kasus pelanggaran HAM di Tim-tim yang dapat diidentifikasi untuk selanjutnya dapat ditindak lanjuti dengan menghadirkan para saksi, korban dan pelaku kejahatan HAM. Sepuluh kasus itu antara lain; Pembantaian gereja liquica (6 April 1999), Pembunuhan di rumah manuel carrascalao (17 April 1999), Pembunuhan Cailaco (April 1999) dan Pembantaian kantor polisi mailana (2-8 september 1999), Kasus lospalos (21 April-25 September 1999), Kasus lolotoe (2 Mei- 16 September 1999), Pembantaian gereja suai (6 September 1999), Serangan terhadap kediaman uskup belo (6 september 1999), Pembantaian passabe dan makaleb (September-Oktober 1999), Kasus deportasi, pengejaran, pembunuhan staf UNAMET dan kekejaman yang dilakukan oleh Batalyon 745 TNI (April-September 1999), dan kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh distrik (April-September 1999).[93]

Eurico Guterres pertama kali ditangkap oleh pihak kepolisian di Jakarta pada tahun 2000 atas tuduhan penyerangan bersenjata, menyusul aksi kerusuhan di Atambua yang menewaskan staf PBB. Penangkapan Guterres dibawah perintah Presiden Abdurrahman Wahid sempat memunculkan polemik di kalangan politisi di Jakarta. Amien Rais yang saat itu masih menjadi ketua umum PAN menyesalkan penangkapan tersebut karena hal itu berarti telah melupakan jasa-jasa Guterres sebagai pejuang pro integrasi. Tanggapan itu direspon oleh Jenderal Bimantoro (Kapolri saat itu), bahwa penangkapan Guterres merupakan bagian dari upaya untuk menegakkan hukum. Di depan hukum semua orang sama kedudukannya, apakah orang itu berjasa atau tidak, kata Bimantoro. Namun, penangkapan itu tidak berlangsung lama. Tekanan politik kepada Gus Dur membuat Guterres dilepas kembali.[94]

Pada pengadilan HAM yang terbentuk berdasarkan Keppres 96/2001 pada tahun 2002, menghukum Guterres selama 10 tahun karena terbukti bersalah terlibat dalam pelanggaran HAM paska referendum di Timor-Timur. Setelah vonis tersebut Guterres masih belum dieksekusi karena ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam proses pengajuan tingkat kasasi di MA, semua terpidana kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur divonis bebas, termasuk beberapa perwira TNI dan Polisi serta mantan Gubernur Timtim Abilio Soares pada tahun 2004. Sementara untuk Guterres, MA belum memutuskan vonisnya. Baru pada Senin (13/03/2006), MA memutuskan bahwa Guterres bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat, berupa kejahatan terhadap kemanusiaan dan menghukum Guterres selama 10 tahun penjara. Putusan MA tersebut pada intinya menyatakan bahwa Guterres bersalah, ini karena membiarkan terjadinya perbuatan kejahatan kemanusian yang dilakukan oleh anak buahnya dalam konteks pertanggungjawaban komando sipil pada penyerangan pengungsi di rumah Manuel Viegas Carascalao, mantan Gubernur Tim-tim yang pro kemerdekaan.[95]

Lebih jauh dari itu, sampai hari ini aktualisasi pertanggungjawaban komando tidak sepenuhnya dijalankan sesuai UU No.26 Tahun 2000, hal ini terbukti para pelaku pelanggar HAM di Tim-tim tidak semua mendapatkan hukuman, dan tercatat hanya Eurico Gutteres (vonis 10 tahun), Brigjen Noer Muis (vonis 5 tahun penjara) serta AKB Drs Hulman Gultom (vonis 3 tahun penjara) yang mendapatkan putusan pemidanaan. Sedangkan yang lain di putus bebas. Selain itu, sampai hari ini polemik yang terjadi atas nama Jenderal (purn) Wiranto yang pada waktu itu sebagai perwira TNI dan termasuk Menhankam/Pangab, disinyalir kuat bahwa ada keterlibatan atas terjadinya pelanggaran HAM berat di Tim-tim. Karena berdasarkan Pasal 42 Ayat (1) UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM, telah diatur mengenai pertanggungjawaban komando atas nama militer. Pasal tersebut secara jelas menyatakan bahwa komandan bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pasukan sebagai bawahan. Tindakan itu baik sepengetahuan komandan militer atas dasar keadaan saat itu, maupun komandan mengetahui anak buahnya melakukan pelanggaran tapi membiarkannya. Dalam konteks ini, timbul pertanyaan yang mungkin sudah usang, apakah Jenderal (purn) Wiranto dapat dimintakan pertanggungjawaban atas nama pangkat dan kedudukannya sebagai atasan ?

Y. Analisis Putusan Peninjauan Kembali Abilio Jose Osorio Soares

Karakteristik dari tegak atau tidaknya hak asasi manusia pada suatu negara, dapat dilihat dari pengupayaan terhadap proses penyelesaian hukum, baik itu pada tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sampai kepada wilayah putusan pengadilan. Jika hal itu berjalan dengan sebenar-benarnya melalui proses hukum yang benar demi keadilan, berarti kesadaran kolektif telah terbangun dalam memahami betapa pentingnya penegakan hukum dan HAM dilakukan. Jika terjadi sebaliknya, tentu hasil yang diperoleh akan berlawanan dari cita-cita penegakan hukum dan HAM.

Seperti yang kita ketahui bersama, pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia sudah barang tentu menjadi torehan tinta hitam bagi sejarah perjalanan hak asasi manusia. Di tambah lagi tidak semua kasus pelanggaran HAM di Indonesia dimintakan pertanggungjawaban di muka hukum. Hanya pelanggaran HAM berat di Tim-tim yang diajukan ke persidangan, selebihnya kasus pelanggaran HAM yang lain, seperti kasus tanjung priok, kasus semanggi I dan II, kasus tri sakti serta kasus penculikan paksa, semua itu oleh pemerintah Indonesia tidak dilakukan upaya hukum untuk menyelesaikannya. Akibatnya para korban pelanggaran HAM semakin merasa menderita karena tidak mendapatkan keadilan di negara sendiri.

Semua itu menggambarkan patologi psikososial yang serius dalam bangsa ini, yang gejala sentralnya adalah ketakpedulian terhadap nyawa dan martabat manusia. Mestinya warga bangsa yang terdidik dan tumbuh berkembang (terutama penegak hukum), makin mampu dalam mendayagunakan kekuatan kepedulian terhadap nyawa dan martabat manusia. Ketidakpedulian terhadap nyawa dan martabat manusia dalam keadaan kebiasaan kehidupan sehari-hari menandakan bangsa ini tidak memiliki kemampuan kemanusiaan hakiki, yang semua itu mengarah kepada pemahaman kita terhadap perasaan, penderitaan dan martabat manusia. Karena kemampuan ini terkait erat dengan sejauh mana kita dapat memahami perasaan, penderitaan dan martabat manusia yang menjadi korban pelanggaran HAM. Ketika pada konteks ini, apabila kita mampu secara tepat untuk mengimajinasikan fikiran kita pada posisi korban, mungkin disitulah titik kesadaran dan kepedulian kita bahwa betapa pentingnya penjahat kemanusiaan ini diadili dan dimintakan pertanggungjawabannya.

Pada titik gawat ini, mestinya pemerintah Indonesia bertindak lebih tegas terhadap para pelaku pelanggaran HAM. Melihat kebelakang terhadap putusan yang dikeluarkan pengadilan Ham ad hoc dalam mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat di Tim-tim menimbulkan kontroversi yang sampai hari ini tidak terjawab. Salah satu kasus tersebut berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Abilio Jose Osorio Soares, Mantan Gubernur Timor-Timur. Abilio dianggap bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh bawahannya, yaitu Bupati KDH Tk. II Kabupaten Liquisa Leonito Martins, Bupati KDH Tk. II Covalina Drs. Herman Sudyono dan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) Eurico Gutteres di Kabupaten Dili/Kota Administratif Dili di Dili yang berada di bawah kekuasannya dan pengendalian yang efektif, sehingga mengakibatkan terbunuhnya penduduk sipil, yakni;

- penyerangan oleh kelompok pro integrasi terhadap penduduk sipil pro kemerdekaan yang mengungsi di tempat kediaman Pastur Refael Dos Santos di komplek Gereja yang mengakibatkan 22 orang meninggal dan 21 orang luka-luka;

- penyerangan oleh kelompok pro integrasi terhadap penduduk sipil pro kemerdekaan yang mengungsi di kediaman Manuel Viegas Carrascalao di Dilli, yang mengakibatkan 12 orang meninggal dan 4 orang luka-luka;

- penyerangan oleh kelompok pro integrasi pada tanggal 4 dan 5 September 1999 terhadap penduduk sipil pro kemerdekaan yang mengungsi di Diosis Dilli yang mengakibatkan 46 orang meninggal dunia;

- penyerangan kelompok pro integrasi terhadap penduduk sipil pro kemerdekaan yang mengungsi dikediaman Uskup Bello di Dilli yang mengakibatkan 10 orang meninngal dunia dan 1 orang luka-luka;

- dan penyerangan kelompok pro integrasi terhadap penduduk sipil pro kemerdekaan yang mengungsi di Gereja Ave Maria di Suai (Kabupaten Covalima) yang mengakibatkan 27 orang meninggal.[96]

Dalam hal ini, majelis hakim pada pengadilan negeri HAM ad hoc, berdasarkan fakta-fakta kasus di atas dalam putusannya menyatakan Abilio Jose Osorio Soares bersalah melakukan tindak pidana berupa kejahatan terhadap kemanusiaan yang tercantum dalam Pasal 42 ayat (2) a dan b jo Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, dengan pidana penjara selama 3 tahun.

Berdasarkan ancaman dari aturan hukum yang dituliskan di atas, tuntutan dari penuntut hukum pada waktu itu, lewat surat dakwaannya menuntut Abilio pidana penjara selama 10 Tahun. Dengan proses hukum yang berlangsung dan didasarkan kepada fakta-fakta hukum dipersidangan (baik itu dari barang bukti dan alat bukti) maka putusan pengadilan HAM Jakarta tanggal 14 Agustus 2002, menghukum Abilio sebagai terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun. Melihat putusan itu Abilio dan penasehat hukumnya tidak tinggal diam, mereka keberatan dengan putusan yang diberikan oleh hakim ad hoc pengadilan HAM yang tidak didasarkan kepada fakta hukum yang ada. Kemudian Abilio, lewat penasehat hukumnya melakukan upaya hukum banding. Singkatnya pengadilan Tinggi HAM ad hoc pada tanggal 13 Maret 2003, menguatkan putusan Pengadilan HAM Jakarta Pusat pada tanggal 14 Agustus 2002. Begitu juga dengan permohonan kasasi yang dilakukan oleh Abilio dan penasehat hukumnya selalu mendapatkan jalan buntu. Akhirnya Abilio mengunakan hak-nya yang terakhir yaitu upaya hukum luar biasa permohonan peninjauan kembali. Hasilnya pada putusan peninjauan kembali Abilio diputus bebas

Dengan upaya hukum peninjauan kembali inilah Abilio menggunakan novum sebagai senjata pamungkasnya agar dapat terlepas dari jeratan hukuman. Sebelum Abilio mengajukan novum, ia memberikan beberapa argumentasi alasan-alasan mengenai permohonan peninjauan kembali atas dakwaan yang diterimanya. Alasan-alasan pemohon (Abilio) peninjauan kembali, sebagai berikut;

- Pada kesempatan ini Abilio, menolak dakwaan yang diberikan kepadanya atas tindak pidana pelanggaran HAM.

- Kesaksian yang diberikan oleh elite politik/tokoh politik Timor Leste dalam bentuk surat pernyataan tertulis tertanggal 25 Maret 2002. Yang intinya dakwaan Jaksa tidak benar dan cenderung mengada-ada. Karena kesaksian dari tokoh pro kemerdekaan, mengatakan bahwa semasa kami hidup bersama di Timor Lorosa’e baik Abilio sebelum atau setelah menjabat Gubernur Tim-tim, ia selalu memberikan perlakuan yang sama kepada kami bahkan nyawa kamipun pernah diselamatkan oleh beliau.

- Kesaksian dari Presiden Rebuplik Demokratik Timur Leste, Xanana Gusmao, dia mempunyai keyakinan yang kuat bahwa Tuan Abilio seharusnya tidak dijadikan sebagai orang yang bertanggungjawab. Dia tahu benar usaha-usaha Abilio atas kesediaannya untuk mengupayakan rekonsiliasi dan solusi yang damai atas masalah Tim-tim, namun tidak diterima oleh orang lain (ABRI) yang mengambil pendekatan yang lebih keras.

- Lebih khusus setelah adanya kesepakatan TRI PARTIT tanggal 5 Mei 1999 di New York tentang jajak pendapat. Pada kesepakatan itu, Pemerintah Daerah Tim-tim tidak pernah dilibatkan oleh Pemerintah Pusat. Dan penyelenggaraan hasil jajak pendapat ini diawasi oleh Pemerintah Pusat sedangkan pengamanannya diserahkan sepenuhnya oleh pihak Polisi dan dibantu TNI. Sejak saat itulah, nuansa politik Tim-tim mulai tidak seimbang.[97]

Dalam hal inilah Abilio mengungkapkan alasan-alasannya untuk melakukan peninjauan kembali, karena asumsi Abilio, ia hanya dijadikan kambing hitam dalam kasus pelanggaran HAM di Tim-tim.

Satu hal yang perlu di garis bawahi, alasan permohonan ini merupakan argumentasi yang tidak memiliki relevansi yang kuat terhadap fakta-fakta hukum yang memberatkan Abilio. Kesaksian yang diberikan para elite politik/tokoh politik pro kemerdekaan dan ditambah lagi dengan kesaksian Xanan Gusmao, tidak lebih hanya alasan konspirasi elite. Karena alasan ini tidak cukup berimbang dengan keterkaitan Abilio atas kewenangannya terhadap pembentukan oraganisasi-organisasi kemasyarakatan dan PAM SWAKARSA yang mendapatkan pembiayaan dari APBD tiap-tiap kabupaten Tim-tim, dan belakangan atas nama oraganisasi dan kelompok-kelompok inilah yang membuat konflik dan kerusuhan di berbagai daerah tanah lorosa’e.

Namun jika Abilio mengutarakan pihak militer juga bertanggungjawab atas kejadian kerusuhan di Tim-tim, hal ini dapat dimengerti. Karena kontribusi militer sangat berpengaruh terhadap tingkat resistensi konflik di Tim-tim. Hal ini didasarkan beberapa kasus yang melibatkan pihak militer sebagai aktor intelektual atas kejadian pelanggaran HAM berat di Tim-tim. Termasuk pengakuan Abilio dengan tidak dilibatkannya terhadap kesepakatan TRI PARTIT, ini merupakan skenario Pemerintah Pusat untuk menghapuskan jejak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak militer. Terlihat dari hasil kesepakatan TRI PARTIT yaitu jajak pendapat yang sepenuhnya pengamananya diserahkan kepada pihak militer. Akan tetapi Abilio tidak dapat begitu saja, melihat ketidakterlibatan ini dijadikan alasan akan lepas dari dakwaan. Karena hal ini hanya merupakan faktor kelemahan konsolidasi internal pemerintah daerah Tim-tim untuk menjadi bagian terpenting dalam kesepakatan TRI PARTIT.

Tidak hanya sampai disitu, upaya yang dilakukan oleh Abilio, di luar dari pada itu Abilio mengajukan novum sebagai alasan kunci untuk lepas dari dakwaan. Penulis berusaha untuk meringkas dengan tujuan efektifitas dalam memahami kasus ini. Adapun isi dari novum yang diajukan oleh Abilio, antara lain; pertama, FPDK (Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan) merupakan organisasi underbow ABRI yang menghendaki penyelesaian Tim-tim secara militer. Akan tetapi disini Abilio tidak dapat menjelaskan keterkaitan ABRI dengan FPDK baik secara historis pembentukannya maupun pola hubungan atasan dan bawahan berdasarkan kewenangan yang dimiliki ABRI kepada FPDK. Bahwa novum yang pertama ini sebenarnya bukan hal baru, dan sebenarnya dapat memberatkan posisi Abilio. Karena sejogjanya FPDK merupakan organisasi/kelompok yang dibentuk atas pengendalian dan kewenangan dari Abilio. Ditambah lagi, dari beberapa kelompok dan organisasi kemasyarakatan yang terbentuk, apakah menunjukkan cara penyelesaian masalah konflik di Tim-tim dengan menggunakan pendekatan dialogis ? Menurut hemat penulis, hal ini tidak terbukti karena semua organisasi yang dibentuk selalu menggunakan pendekatan represif (penganiayaan, pengrusakan, dan pembunuhan). Maka novum yang pertama tidak dapat dibenarkan berdasarkan beban historis terbentuknya FPDK, dan cenderung mengada-ada.

Kemudian novum yang kedua bahwa Abilio menyangkal bahwa Gutteres (wakil panglima PPI) disebut sebagai bawahannya. Alasannya dari kesaksian saudara Gutteres sendiri di persidangan, yang menyatakan bahwa PPI (Pasukan Perjuangan Integrasi) bukan bentukan Abilio. Ditambah lagi fakta hukum yang mengatakan ketika rombongan keluarga Abilio ingin mengungsi ke Atumba NTT, tiba-tiba ditengah jalan dilakukan pencegatan oleh anak buah Gutteres. Dan pada waktu itu Octavio (keponakan Abilio) di larang untuk keluar dari daerah Tim-tim. Singkat cerita mereka diperbolehkan untuk melakukan pengungsian jika menerima surat rekomendasi dari Gutteres. Maka pada waktu itu, Abilio mendapatkan surat rekomendasi tersebut, lalu menyerahkan kepada Octavio untuk melanjutkan perjalanan ke Atumba NTT.

Penceritaan tersebut, apakah melupakan peristiwa pada tanggal 17 April 1999, yaitu Apel Akbar PAM SWAKARSA yang dilakukan di depan kantor Gubernur Tim-tim, dan dihadiri juga oleh Abilio dan Gutteres. Artinya dengan kehadiran Abilio berarti telah melegitimasi keberadaan kelompok yang dipimpin oleh Gutteres. Lebih jauh lagi, bahwa Abilio juga ikut membentuk organisasi/kelompok yang belakangan bersatu ke dalam PPI. Maka alasan kesaksian Gutteres di persidangan dan peristiwa yang menimpa Octavio, merupakan rangkaian fakta kecil yang sesungguhnya tak dapat mengingkari fakta yang lebih besar. Sangat jelas pada kesempatan ini, Abilio hanya mencari celah hukum demi terbebaskannya ia dari tuntutan.

Setidaknya bagian itulah yang merupakan hal terpenting yang dapat disampaikan dalam analisa terhadap putusan pelanggaran HAM berat di Tim-tim. Maka berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada, Mahkamah Agung telah keliru memberikan putusan bebas kepada saudara Abilio. Seharusnya, dapat di pidananya Abilio berdasarkan fakta-fakta hukum di persidangan, sangat memungkinkan untuk menyeret pelaku pelanggaran HAM berat di Tim-tim yang dilakukan oleh militer. Sangat disayangkan, dengan dibebaskannya Abilio menjadikan proses hukum terhadap pelanggaran HAM di Tim-tim menjadi melemah. Karena, putusan terhadap Abilio dapat dijadikan tolak ukur mengapa sampai saat ini pihak dari militer sangat sulit tersentuh oleh hukum.

Z. Simpulan

Aktualisasi bentuk pertanggungjawaban komando semestinya dapat dilakukan, hal ini dianggap sebagai salah satu pertanggungjawaban pidana terhadap potret kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Timor-Timur. Karena ruang lingkup tanggungjawab komando dapat menuntut individu sebagai atasan, baik itu dari kalangan sipil maupun militer. Tentunya semua itu tidak terlepas dari unsur-unsur pertanggungjawaban komando yang mengikutinya.

Eka Haryani

Koordinator Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

Universitas Padjajaran Bandung

Referensi

Abdul Hakim G. Nusantara, HAM di Dunia yang Berubah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994.

Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Milenium Ketiga, In-TRANS, Malang, 2007.

Artidjo Alkostar, Pengadilan HAM, Indonesia,dan Peradaban, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2004.

Barda Nawawi Arief, Perlindungan HAM dalam Hukum Positif di Indonesia, Himpunan Naskah Lokakarya Nasional Tentang Hak-HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, Jakarta, 1992.

Mahkamah Agung, Buku Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, Jakarta, 2006.

M. Luqman Hakiem, Deklarasi Islam Tentang HAM, Risalah Gusti, Surabaya, 1993.

M. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999.

Muladi, Hak Asasi Manusia (hakekat, konsep dan implikasinya dalam perspektif hukum dan masyarakat), Refika Aditma, Bandung, 2005.

______, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002.

Putusan Nomor: 45 PK/Pid/HAM AD HOC/2004, dengan terpidana Abilio Jose Osorio Soares.

Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Syariat Islam, Ar-Raniry Press dan Mihrab, Jakarta, 2004.

R. Wijaya, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006.

Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Taransisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme, Refika Aditama, Bandung, 2007.

Media Indonesia, 13 Maret 2003

http://www.kontras.org//htm, 04/03/2008/10.30.

http://www.elsam.or.id//htm, 04/03/2008/10.40

http://www.jsmp.minihub.org//htm, 01/03/2008/21.00.

MENGAWAL SISTEM PROPORSIONAL

PADA UU PEMILU 2008 DALAM PERSPEKTIF POLITIK HUKUM


AA. Pendahuluan

Pemilihan umum (pemilu) merupakan sarana yang sangat penting bagi terselenggaranya sistem politik yang demokratis. Disamping itu, pemilu juga dapat memberikan landasan legitimasi yang kuat bagi setiap pemerintahan dengan melibatkan rakyat sebagai penentu dalam menjalankan pilihan cara berdemokrasi. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak negara yang ingin disebut sebagai negara demokratis menggunakan pemilu sebagai mekanisme pembangun legitimasi kekuasaannya.

Di sejumlah negara yang tingkat demokrasinya tergolong telah mapan dan stabil, pemilu digunakan dengan segenap kesungguhannya sebagai jalur melakukan rotasi kekuasaan dengan damai. Seperti yang kita ketahui bersama, menjelang pemilu presiden Amerika Serikat, gegap gempita partai demokrat dan partai republik melakukan kompetisi politik terhadap bursa calonnya untuk menentukan kandidat calon presiden terpilih yang akan diusung pada pilpres nanti. Dunia internasional terfokus dengan dinamika politik di negara adikuasa tersebut yang berjalan cukup rapi, damai dan demokratis. Apalagi dengan hadirnya sosok Barack Obama yang berjiwa muda dan membawa manifestasi pembaruan, ialah calon presiden dari partai demokrat, telah menciptakan sensasi dan rekor sejarah bangsa Amerika, yaitu sebagai calon presiden kulit hitam pertama.

Tidak semua iklim politik pemilu akan berjalan sama seperti Amerika, karena latar belakang kultur politik, ekonomi, hukum, dan budaya pada setiap negara akan mempengaruhi jalannya proses pemilu. Apalagi, jika negara-negara yang sistem demokrasinya belum begitu mapan atau tidak sungguh-sungguh menerapkan demokrasi, maka pemilu yang dilakukan akan rentan dengan kecurangan, manipulasi, diskriminasi, intimidasi, dan bahkan korupsi politik[98]. Ini terjadi karena pemilu hanya dijadikan sebagai formalitas demokrasi untuk mempertahankan kekuasaan rezim yang berkuasa.

Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 hingga tahun 2004, pemilu telah diselenggarakan sebanyak sembilan kali.[99] Pemilu yang diselenggarakan setiap periodenya mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar, baik itu dari sistem pemilu sampai pada jumlah partai politik yang ikut serta. Tentu hal ini sangat ditentutan oleh konfigurasi politik yang berkembang pada waktu itu. Gambaran menjelang pemilu 2009 dapat terlihat jelas perubahan-perubahan signifikan dari pembentukan undang-undang politik dan undang-undang pemilu 2008, yang dijadikan dasar hukum mekanisme partai sampai pada sistem pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Sejauh ini pertumbuhan politik tanah air memang telah memancarkan ruang kebebasannya. Setiap manusia bebas untuk menggunakan hak politiknya dalam mengemukakan pendapat dan juga untuk hidup berserikat. Sehingga tak heran di zaman yang reformis ini yang terhitung masih sangat baru terlepas dari belenggu orde politik otoritarianisme, menjadikan orde politik saat ini menjadi bebas tanpa kendali. Partai politik makin istimewa secara kuantitas, bagitu juga munculnya partai lokal yang tidak ingin kehilangan kedaulatan daerahnya. Benar, bahwa ekspresi kebebasan politik selama ini yang ditunjukkan oleh para elite-elite partai ingin segera mungkin mendapatkan tujuan dan target politiknya. Walaupun ia mengerti bahwa kesemerawutan sistem politik dan pemerintahan saat ini sudah berada diluar batas-batas toleransi cita-cita demokrasi.

Lantas apa yang diperjuangkan hanyalah mengedepankan kepentingan partai politik saja. Berarti orde politik saat ini belum sepenuhnya reformis, jika dominasi partai menciptakan suasana kehidupan tidak humanis. Betapa tidak, jika fraksi partai politik di parlemen membentuk undang-undang pemilu 2008 hanya mengedepankan kepentingan politik saja, tanpa mampu menterjemahkan politik hukum yang menjadi pijakannya. Politik hukum[100] yang mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Sehingga produk hukum yang dihasilkan merupakan representasi dari kehendak politik masyarakat secara luas.

Ironis sekali jika melihat produk hukum dari undang-undang pemilu 2008 dewasa ini, salah satunya dengan menerapkan sistem proporsional terbuka.[101] Sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional, persentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan persentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik.[102] Dengan begitu, pemilih diberi kesempatan untuk memilih calon anggota legislatif dan ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Dalam sistem proporsional, nomor urut caleg (calon legislatif) menjadi sangat penting, karena apabila ada sisa suara, maka kelebihan suara itu dapat dipindahkan kepada calon nomor urut yang paling kecil, begitu juga jika terjadi suara yang sama, maka penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut yang lebih kecil.

Dengan begitu harus diakui bahwa peran partai politik sangat dominan dalam rangka menentukan perwakilan calegnya di parlemen, paling tidak pada penentuan nomor urut calon. Pertanyaannya apakah ini yang dimaksud pemilihan langsung yang di dasarkan dengan prinsip-prinsip demokrasi[103], benar jika dikatakan rakyat melakukan pemilihan secara langsung terhadap caleg pilihannya, akan tetapi tidak begitu saja caleg yang dipilih akan menjadi anggota legislatif, karena berdasarkan sistem proporsional maka kebijakan partai yang menentukan nomor urut calegnya menjadi penentu akhir dari pilihan konstituen_nya. Sehingga politik hukum undang-undang pemilu saat ini menempatkan pemilih hanya sebagai kesatuan objek kepentingan suara.

Meskipun demikian, ada beberapa partai politik yang menganut sistem suara terbanyak dalam menentukan calon terpilih pada pemilu DPR/DPRD tahun depan. Padahal, undang-undang pemilu 2008 menentukan lain. Yaitu calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut dan 30% bilangan pembagi. Sampai sekarang tercatat tiga partai politik yang menganut sistem suara terbanyak. Yaitu partai Amanat Nasional (bahkan partai ini sudah menerapkannya sejak pemilu 2004), Partai Golkar dan Partai Demokrat. Sedangkan partai lain masih mengikuti ketetapan undang-undang dengan sejumlah modifikasi internal. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, misalnya, selain menganut nomor urut, partai ini menurunkan target bilangan pembagi menjadi 15% saja.[104]

Pro-kontra terhadap sistem suara terbanyak dengan sistem nomor urut (berdasarkan sistem proporsional terbuka pada undang-undang pemilu 2008), hal ini akan berkisar pada konstruksi dan kedudukan hukum andaikata di kemudian hari terjadi konflik di antara para calon legislatif, dan lebih ekstrem dari itu ketika KPU tidak mengakui sistem suara terbanyak karena dalih tidak sesuai dengan mekanisme undang-undang pemilu. Jika pertanyaannya kemudian, kedudukan hukum seperti apakah yang dapat menyelesaikan polemik sengketa politik tersebut? Padahal secara hierarki, undang-undang tidak dapat dikalahkan hanya dengan kebijakan/kesepakatan internal partai. Bila KPU kemudian secara sepihak menganulir kesepakatan internal partai politik, KPU tidak dapat dipersalahkan. Sebab KPU adalah lembaga pelaksana undang-undang pemilu.

Bukan berarti sistem suara terbanyak sepenuhnya salah, walaupun sistem ini tidak sesuai dengan undang-undang pemilu. Jauh dari itu, sistem suara terbanyak melihat calon pemilih sebagai subyek perubahan dalam mewujudkan hidup berdemokrasi. Berbeda jika menganut sistem nomor urut yang selama ini lebih disukai partai politik adalah senjata ampuh mempertahankan hegemoni partai. Terutama hegemoni segelintir elite partai yang duduk di kepengurusan. Belum lagi fenomena sistem nomor urut berpeluang menjadi ajang korupsi politik, karena caleg yang memiliki modalitas materi berlimpah, maka ia tidak jarang akan membayar untuk memperoleh nomor-nomor urut prioritas. Hal ini menjadi batas kewajaran dalam kajian akademis, sistem proporsional terbuka menjadi perbincangan mengenai konsistensi produk hukum dalam undang-undang pemilu kita.

BB. Konsistensi Undang-Undang Pemilu

Polemik pemilihan calon anggota legislatif di pemilu yang akan datang di khawatirkan akan menimbulkan banyak persoalan. Resistensi sengketa pemilu 2009 dirasakan begitu rumit penyelesaiannya, hal ini disebabkan begitu banyak jumlah partai politik, sampai pada tingkat yang paling membinggungkan beberapa partai politik menganut sistem suara terbanyak yang seharusnya menganut sistem nomor urut. Sebenarnya telah terdapat pedoman yang kokoh untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik dan hukum atau konsistensi produk hukum yang dipertentangkan di kalangan partai politik.

Kesepakatan internal partai menjadi legitimasi dari lahirnya sistem suara terbanyak, sedangkan undang-undang pemilu mengatakan lain. Dalih partai yang menganut suara terbanyak mengiginkan pemilu legislatif berjalan secara demokratis, tidak menempatkan kewenangan partai di atas suara rakyat, melainkan pilihan rakyat sebagai penentu. Gagasan seperti ini dapat ditangkap sama demi kebaikan umum. Tidak ada yang aneh jika rakyat mendapatkan kedaulatan haknya, untuk memikirkan dan menentukan pemimpinnya. Apalagi dalam suasana cara berpolitik kita yang semakin mengalami kemunduran. Terutama peran elite partai politik yang semakin pragmatis dalam perjalanannya, korupsi politik dan konflik sengketa pilkada menjadi bagian tontonan rakyat setiap hari. Sementara pada pemilu legislatif yang akan datang undang-undang pemilu kita memberikan porsi yang seluas-luasnya kepada internal partai untuk menentukan calegnya berdasarkan nomor urut. Potret undang-undang pemilu seakan tidak peka terhadap realitas partai politik yang sampai kini masih belum sepenuhnya mewakili kepentingan rakyat.

Setidaknya undang-undang pemilu dapat membatasi kewenangan partai politik. Sehingga konsistensi undang-undang pemilu dapat mereduksi asas pemilihan umum secara langsung dan demokratis. Konsistensi undang-undang pemilu diharapkan dapat mengurangi kedangkalan pragmatisme partai yang akan mengakibatkan ketidakstabilan politik. Tak adanya, sikap kebangsaan membuat segenap partai politik menerapkan logika kepentingan yang selalu merobohkan tatanan demokrasi yang berusaha di bangun.

Tak heran, ketika hukum menjadi victim di tengah-tengah kepanikan elite politik mencari kambing hitam. Padahal konsistensi undang-undang pemilu akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya.[105] Asumsi ini berdasarkan kenyataannya bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi kehendak politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi.[106] Dalam logika seperti itu, maka kehendak politik adalah penentu dari konsistensi undang-undang pemilu saat ini.

Kehendak politik itu memang sarat kepentingan, hanya saja kepentingan siapa yang diwakili. Dalam membaca prihal kepentingan tersebut memang tidak mudah, apalagi begitu banyaknya fraksi yang ada di parlemen. Sehingga wajar ketika undang-undang partai politik, undang-undang pemilu, dan undang-undang pemilihan presiden merupakan produk hukum yang sangat alot dalam proses pembentukannya. Demi mempertahankan kekuasaan serta menciptakan kesempatan politik semua itu dilakukan, walaupun pertarungan politik harus dilalui dengan alur yang tidak benar.

Pada akhirnya, undang-undang pemilu begitu tampak menjadi sarana kekuasaan partai politik yang dominan. Menjadikan sakralitas nomor urut sebagai hegemoni partai. Keterlibatan rakyat hanya ditempatkan sebagai pengisi suara, selanjutnya partai yang menentukan siapa yang menjadi apa. Hal ini menjadi ironis, bila sistem proporsional dijalankan dengan setengah hati, rakyat memilih dan partai yang menentukan. Kendati demikian, semua ini tidak sesuai dengan perjalanan potret partai politik yang buram berlatar suram. Mungkin dirasa perlu untuk mengelaborasi kembali dua model istilah sistem pemilihan mekanis yang kita kenal dalam pemilihan umum legislatif selama ini.

CC. Dua Model Sistem Pemilihan Mekanis

Salah satu fungsi utama pemilu dalam negara demokratis tidaklah lain adalah untuk menentukan kepemimpinan nasional secara konstitusional. Kepemimpinan nasional yang dimaksud disini menyangkut juga kepemimpinan kolektif yang direfleksikan dalam diri para wakil rakyat. Oleh sebab itu dalam bentuk dan jenis sistem pemerintahan apapun, pemilu menduduki posisi yang sangat strategis dalam rangka melaksanakan tujuan tersebut.

Dalam sistem presidensiil yang murni, pemilu diselenggarakan sebanyak dua kali, yaitu pertama, untuk menentukan wakil rakyat yang duduk di parlemen dan tahap berikutnya memilih presiden dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan negara. Sebaliknya sistem parlementer, pemilu pada prinsipnya hanya dilaksanakan satu kali, yakni utamanya memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Dari pembentukan parlemen ini kemudian ditentukan kepala pemerintahan. Penentuan kepala pemerintahan ini biasanya sangat dipengaruhi oleh komposisi perolehan suara dari partai politik peserta pemilu.[107] Dengan demikian dalam konteks sistem parlementer, maka korelasi antara pemilu dan kepala pemerintahan sifatnya adalah tidak langsung, dan hal ini berbeda pada sistem presidensiil seperti yang dianut oleh sistem keatatnegaraan Indonesia.

Dari gambaran tersebut, maka mekanisme untuk menentukan anggota-anggota di lembaga perwakilan rakyat dapat digolongkan dengan dua sistem mekanis. Menurut Wolhoff, sistem pemilihan mekanis berpangkal tolak dari pemikiran bahwa; rakyat di dalam suatu negara dipandang sebagai individu-individu yang bertindak sebagai pengendali hak pilih aktif dengan asumsi satu suara dalam setiap pemilihan untuk satu lembaga perwakilan rakyat.[108]

Berpangkal tolak dari pemikiran di atas, maka keberadaan lembaga perwakilan rakyat yang terbentuk bersifat lembaga yang mempresentasikan kepentingan-kepentingan politik rakyat secara menyeluruh yang dalam perkembangannya disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan adanya sistem pemilihan mekanis inilah, maka dikenal adanya sistem pemilihan distrik dan proporsional.

Sistem distrik, bisa dinamakan juga sebagai sistem single member constituencies atau sistem the winner’s take-all. Dinamakan demikian, karena wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang diperlukan untuk dipilih. Misalnya, jumlah anggota DPR, ditentukan 500 orang, maka wilayah negara dibagi dalam 500 distrik atau daerah pemilihan (constituencies). Artinya setiap distrik atau daerah pemilihan akan diwakili oleh hanya satu orang wakil yang akan duduk di DPR.[109]

Sistem distrik ditentukan atas suara terbanyak, artinya partai yang mendapat suara terbanyak di dalam setiap distrik berhak mengisi kursi parlemen dari distrik yang bersangkutan, sehingga calon anggota dari partai yang mendapat suara terbanyak itulah yang menjadi anggota parlemen. Suara yang diperoleh partai lain (yang tidak terbanyak) menjadi terbuang karena berapapun jumlah suara itu tidak akan ada wakilnya di parlemen berhubung kursi yang diperebutkan hanya satu.[110]

Berdasarkan tatanan sistem pemilihan distrik semacam ini, maka hubungan antara rakyat dengan ‘sang wakil’ akan relatif lebih dekat. Karena dalam pemilihan distrik yang menentukan adalah rakyat sebagai pemilih, bukan partai politik. Dalam penyelenggaraan dengan sistem distrik ini juga relatif sederhana, murah dan singkat. Dengan mempergunakan sistem distrik, maka ada kemungkinan pertumbuhan partai politik yang cenderung sektarian, dan ideologis/aliran menjadi berkurang.[111] Mengingat tokoh-tokoh politik yang terpilih lebih mengedepankan kepentingan rakyat di masing-masing distriknya, ketimbang kelompok partai yang justru kandangkala menyimpang dari kepentingan rakyat banyak.

Bukan berarti sistem distrik ini tidak mempunyai kelemahan, paling tidak yang paling gencar dikatakan sistem ini dapat menghambat bagi partai-partai kecil untuk mempunyai wakil di lembaga perwakilan rakyat. Lain hal, jika jumlah suara partai tidak memenuhi persentase dari bilangan pembagi maka suara yang terkumpul menjadi terbuang sia-sia. Terlepas dari itu semua di dalam sistem pemilu yang akan datang khusus memilih anggota dewan perwakilan daerah (DPD) menggunakan sistem distrik berwakil banyak[112], sebaliknya berbeda dengan pemilihan perwakilan DPR/DPRD dengan menggunakan sistem proporsional terbuka.[113]

Selanjutnya dalam pemilihan mekanis terdapat juga sistem proporsional. Gagasan pokok sistem ini ialah, di mana kursi yang tersedia di parlemen di bagikan kepada partai-partai politik (peserta pemilu) sesuai dengan imbalan perolehan suara yang di dapat partai politik/peserta pemilu bersangkutan. Karena itu sistem pemilihan umum ini disebut juga dengan sistem suara berimbang.[114]

Dalam sistem ini wilayah negara merupakan satu daerah pemilihan. Akan tetapi karena luasnya wilayah negara dan jumlah penduduk warga negara yang cukup banyak, maka wilayah itu dibagi atas daerah-daerah pemilihan (misalnya propinsi menjadi satu daerah pemilihan). Kepada daerah-daerah pemilihan ini dibagikan sejumlah kursi yang harus diperebutkan, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah penduduk, luas daerah pemilihan, pertimbangan politik dan sebagainya. Yang pasti, jumlah kursi yang diperebutkan pada masing-masing daerah pemilihan lebih dari satu. Karena itu sistem pemilihan proporsional ini disebut juga dengan multi-member concituency. Sisa suara dari masing-masing peserta pemilihan umum di daerah pemilihan tertentu dapat digabungkan dengan sisa suara di daerah pemilihan lainnya.[115]

Pendek kata dua model sistem pemilihan mekanis, baik sistem distrik maupun sistem proporsional sama-sama digunakan dalam sistem pemilu kita, akan tetapi hanya menggunakan variasi-variasi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Dapat kita ketahui bersama, kedua model tersebut mempunyai konsekuensi-konsekuensi logis yang berada dibelakangnya. Hanya sejauh mana sistem tersebut dapat menangkap pesan terhadap asas pemilihan secara langsung, dengan prinsip adil dan demokrasi.

DD. Konsekuensi Sistem Proporsional

Daniel S. Lev mengatakan, untuk memahami eksistensi hukum di tengah-tengah tranformasi politik, kita harus mengamatinya mulai dari bawah, untuk mengetahui macam peran sosial dan politik apakah yang diberikan orang kepadanya, fungsi-fungsi apakah yang boleh dilakukannya, yang di dorong untuk dilakukannya, dan yang dilarang untuk dijalankannya.[116]

Sebagai perbandingan dari keadaan sebagaimana diutarakan di atas, apa yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo; betapa pentingnya untuk menyadari bahwa negara hukum Indonesia itu tidak hanya sebuah merek, melainkan benar-benar dimaknai sebagai proses menjadi Indonesia. Menjadi Indonesia adalah membumi ke dalam habitat, tradisi, nilai-nilai, kosmologi serta cita-cita modern Indonesia.[117]

Kedua pernyataan tersebut menghantarkan kita untuk memahami tradisi politik Indonesia sesuai dengan modal sosial dan kultur yang dimilikinya. Karena, bagaimana mungkin tradisi politik Indonesia dapat dijalankan dengan wajah dan watak peradaban lain. Maka, hasilnya pun akan tidak khas Indonesia. Oleh karena itu, kita hanya dapat mengayuh perahu dengan dayung yang kita miliki.

Sebagai satu ilustrasi, saya ingin mencoba menyajikan latar belakang “sikap pasrah terhadap kekuasaan” merupakan ciri budaya politik orang Jepang.[118] Jepang merupakan satu masyarakat kesatuan yang selalu berasimilasi (junsei tan itsu shakai) sebagai lawan dari masyarakat khas Barat yang majemuk tetapi selalu mengalienasi (isei fukugo shakai). Ia menyebut ciri pola perkembangan sejarah masyarakat Barat itu “membuat yang dikenal menjadi asing” atau mengalienasi: budaya “asing” berulang kali dipaksakan dari luar untuk menaklukkan budaya dan rakyat yang “sudah dikenal” dan akhirnya masuk menjadi satu elemen dari struktur majemuk tersebut. Jepang, sebaliknya mengembangkan diri dengan “membuat hal-hal yang asing menjadi milik sendiri” atau dengan cara berasimilasi. Pengaruh luar yang “asing” disesuaikan dan diserap, lambat laun akhirnya menjadi bagian dari budaya yang relatif homogen dan “telah dikenal”.[119]

Kebudayaan Jepang yang begitu tradisional melihat segala hal membawa masyarakatnya rapi dalam memahami kehidupan. Seperti penyelesaian damai merupakan sarana yang secara tradisional lebih disukai, sedangkan penyelesaian melalui pengadilan sejauh mungkin dihindari. Sama halnya ketika tradisi politik Jepang berangkat dari pemahaman mematuhi penguasa pada suatu zaman berarti mengikuti jalan lurus para dewa.[120] Sikap pasrah terhadap kekuasaan merupakan sikap kepatuhan tanpa syarat yang dituntut dari rakyat, terlepas kehendak yang berkuasa baik atau buruk. Karena kepercayaan orang Jepang terhadap penguasa tidak politis, ia selalu akan memegang teguh hati nuraninya bahwa penguasa akan berbaik dan bermurah hati kepada rakyatnya.

Lalu kemudian bagaimana tradisi politik Indonesia selama ini. Seperti yang kita ketahui Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, dapat dikatakan peradaban Indonesia adalah peradaban Pancasila. Itu berarti kita telah menetapkan untuk hidup berdasarkan Pancasila, maka tradisi politik yang kita bangun adalah juga berdasarkan Pancasila. Oleh karenannya, Pancasila melalui UUD 1945 menetapkan bahwa politik dilakukan atas dasar kedaulatan rakyat, maka politik yang kita lakukan adalah sistem demokrasi.[121]

Nilai-nilai Pancasila semuanya berpengaruh terhadap kehidupan kita, juga terhadap politik. Karena itu, sistem demokrasi yang kita anut adalah sistem demokrasi Pancasila, yaitu suatu sistem politik yang menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilakukan dengan dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan perwakilan serta musyawarah untuk mufakat, dan menghasilkan persatuan bangsa, keadilan sosial, dan kemanusiaan yang beradab.[122] Jadi jelas, tradisi politik kita membumi ke dalam nilai-nilai Pancasila. Dan nilai-nilai sosial yang dijunjung lebih menonjolkan solidaritas komunal serta menghindari konflik. Kompromi dan musyawarah terkadang menjadi pilihan utama dalam tradisi politik kita.

Dalam kerangka ini, secara kontekstual bahwa tradisi politik Indonesia akan selalu melihat Pancasila dan semangat UUD 1945 sebagai tujuan demokrasi yang utuh. Akan tetapi terkadang, prilaku politik kita berjalan atas dasar kepentingan individualistik. Hal ini tidak dapat membuat kita menutup mata, terhadap ‘ketegangan’ cara berpolitik yang memaksakan kepentingan kekuasaan untuk dimasukkan ke dalam skema-skema hukum yang di buat. Salah satunya ‘ketegangan’ yang dialamatkan kepada undang-undang pemilu saat ini, Citra perdaban berpolitik seperti ini, tak lain hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, bukan untuk mendahulukan hak-hak dasar manusia.

Sejauh ini amatlah sulit untuk membantah argumentasi para ahli hukum, praktisi hukum, pengamat politik, politisi, bahkan masyarakat umum bahwa pemilu 2009 yang akan datang resistensi sengketa politik lebih rumit dari pada pemilu sebelumnya. Dilihat dari sudut pandang regulasi sebagai aturan main masih sangat jauh dari harapan demokrasi politik sebenarnya.

Betapa tidak, frustasi politik semakin menggema seiring dengan momentum pendaftaran calon legislatif (caleg), baik itu DPR/DPRD. Frustasi politik tersebut disebabkan oleh kekecewaan terhadap pengurus partai yang manipulatif dalam menentukan nomor urut caleg. Di lampung, Sekjend DPD partai demokrat adu jotos dengan kadernya atas tuduhan memasukkan caleg dari kalangan kerabat dekat pengurus partai. Tidak kalah menarik apa yang dilakukan oleh kader partai hanura, yaitu melakukan aksi simpatik dengan merobek bendera partai dan mengatakan pengurus partai tidak bernurani dalam menentukan nomor urut caleg.

Pentas politik selalu akan menyajikan argumentasi dan tindakan politis yang berbeda setiap zamannya. Orde politik reformis saat ini memaksa setiap politisi untuk berprilaku egaliter jika ingin tetap eksis, karena bila itu tidak terjadi publik akan menghujatnya sebagai sanksi politik. Potret di atas menunjukkan penghukuman terhadap pembangunan politik hukum undang-undang pemilu yang kurang dirasa memberikan ruang demokratisasi. Bila demikian, apakah masih patut sistem proporsional ini menjadi dasar dalam menentukan pemilihan calon legislatif. Bagaimana dengan anggapan yang mengatakan bahwa sistem proporsional memberikan hak pilih terhadap rakyat dengan “setengah hati”.

Konsekuensi sistem proporsional terbuka pada undang-undang pemilu kita, merupakan jalinan kompromi politik terhadap keprihatinan partai-partai besar terhadap nasib partai kecil di parlemen. Tidak heran ketika dengan sistem ini mempermudah fragmentasi dan timbulnya partai-partai baru. Maka, implikasi sistem pemilihan ini tidak menjurus kearah integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat, akan tetapi cenderung lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan oleh karena itu kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Sebagai konsekuensinya sistem pemilihan ini akan memperbanyak jumlah partai politik.

Belum lagi dengan stigma bahwa setiap calon yang terpilih menjadi anggota parlemen merasa dirinya lebih terikat kepada partai politik yang mencalonkan dan kurang merasakan loyalitas-nya kepada rakyat yang telah memilih. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan bahwa dalam sistem pemilihan semacam itu partai politik lebih menonjolkan perannya terhadap anggota parlemen dari masing-masing partai politik.[123] Jika demikian, tidak salah jika sistem ini membuka akses kepada mafia-mafia politik yang memperdagangkan nomor urut, yang konon katanya jika mendapatkan nomor urut yang lebih kecil akan menjadi prioritas perwakilan partai untuk duduk di parlemen dengan catatan memenuhi persentase dan bilangan pembagi pemilih. Maka tidak salah jika sistem ini dikatakan sarat dengan korupsi politik.

Pendek kata sistem ini tidak sepenuhnya berangkat dari tradisi politik Pancasila yang menetapkan bahwa politik dilakukan atas dasar kedaulatan rakyat, maka politik yang kita lakukan adalah sistem demokrasi. Tidak begitu tampak prilaku cara berdemokrasi dari sistem ini, karena hegemoni partai memberikan indikasi bahwa pemilihan langsung terhadap calon anggota legislatif diwujudkan dengan “setengah hati”. Betapa tidak, dengan skema yang diterapkan oleh sistem ini membuat calon legislatif yang mendapatkan suara terbanyak dari pada calon legslatif lainnya, tidak begitu saja dapat dikatakan sebagai pemenang dalam kompetisi internal partai. Mengapa demikian, karena nomor urut yang lebih kecil akan memiliki kuasa politik lebih besar ketimbang nomor urut di atasnya.

Dengan begitu, patut kita sadari bersama, bahwa sistem proporsional dalam undang-undang pemilu kita saat ini dijalankan dengan variasi yang berbeda-beda pada setiap kebijakan internal partai, seperti apa yang telah dibahas di bagian terdepan. Karena ada beberapa partai yang menerapkan suara terbanyak, walaupun undang-undang mengatakan lain. Sehingga konsekuensi yang ditimbulkan dari sistem ini akan juga berbenturan pada konstruksi dan kedudukan hukum andaikata dikemudian hari terjadi konflik internal politik.

Terlepas dari itu semua mungkin kita akan melihat persoalan ini tidak hanya sebatas asumsi-asumsi subyektif, perlu ada pendekatan yang utuh dalam menyoal sistem proporsional pada undang-undang pemilu. Sehingga kristalisasi kehendak politik dalam undang-undang pemilu tidak saja terjebak kepada ruang politik yang abu-abu. Dengan begitu, wajar ketika kita mengalami keraguan terhadap undang-undang pemilu beserta sistem yang diterapkannya. Dimana telah terjadi kesemerawutan sebelum memulainya, yaitu memulai pesta demokrasi lima tahunan.

EE. Mengawal UU Pemilu Dalam Perspektif Politik Hukum

Apa yang ada dalam benak kita, saat merenungkan makna dan arti demokrasi yang ingin dicapai oleh undang-undang pemilu kita saat ini? Dan apakah pengaruh konfigurasi politik yang begitu besar, sehingga politik hukum undang-undang pemilu tidak berada pada jalur yang benar. Pertanyaan ini erat kaitannya dengan pernyataan bahwa “hukum sebagai produk politik” sangat mungkin diwarnai oleh kepentingan politik yang melatarbelakangi pembuatannya.

Hubungan kausalitas antara hukum dan politik memiliki pola yang saling mempengaruhi. Mereka yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) akan selalu berpegang teguh, bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkat hubungan antaranggota masyarakat termasuk dalam segala kegiatan politik. Sebaliknya, mereka yang memandang hukum dari sudut das sein (kenyataan) atau penganut paham empiris melihat secara realistis, bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya.[124]

Kenyataan itu menunjukkan setiap agenda politik hukum sarat dengan interaksi politik. Apalagi politik hukum melalui kegiatan legislatif (pembuat undang-undang) dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih jika pekerjaan itu dikaitkan dengan masalah prosedur. Tampak jelas bahwa lembaga legislatif (yang menetapkan produk hukum) sebenarnya lebih dekat dengan politik daripada dengan hukum itu sendiri.

Dengan demikian, bahwa hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsenterasi energi yang lebih besar dari pada hukum. Sehingga jika harus berhadapan dengan politik, maka hukum berada pada kedudukan yang lebih lemah.[125] Karena lebih kuatnya konsentrasi energi politik, maka menjadi beralasan ketika undang-undang pemilu dan undang-undang politik kerapkali diintervensi dengan kepentingan politik, bukan hanya dalam proses pembutannya tetapi juga dalam implementasinya.

Bila demikian, politik hukum harus diarahkan sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.[126] Mungkin tidak hanya sekedar sebagai kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan. Kecenderungan itu hanya akan berkutat pada hasrat ingin berkuasa dan semakin meneguhkan keyakinan masyarakat terhadap kehendak politik yang saling bersaing lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok dan partainya. Karakteristik ini akan melahirkan konfigurasi politik yang tidak responsif dan dalam proses pembuatan undang-undang bersifat tidak partisipatif.

Akibat lebih jauh dari persepsi di atas yaitu muncul sikap apriori atau bahkan antipati pada sebagian masyarakat kita terhadap apa saja yang dipandang bersinggungan dengan kebijakan politik hukum. Terlebih lagi jika kebijakan tersebut menimbulkan masalah dalam implementasinya. Kaitannya dengan undang-undang pemilu, perlu kiranya kaidah penuntun dalam melakukan pengawalan yang bersifat ketat, sehingga arah kebijakan hukum yang dibuat secara resmi oleh negara dapat ditempatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Bukan sebaliknya, hukum di jadikan alat rekayasa politik, maka hukum dipahami untuk melayani kepentingan politik. Dengan demikian politik hukum harus diartikan meletakkan hukum sebagai sentral pengarah dan pedoman dalam upaya pencapaian tujuan negara, bukan mendukung kehendak politik untuk berkuasa.

Politik hukum Indonesia yang harus dikembalikan kepada sistem hukum Pancasila merupakan keharusan yang tak dapat dikurangi. Sistem hukum Pancasila memasang rambu-rambu dan melahirkan kaidah penuntun dalam politik hukum nasional. Rambu-rambu tersebut kemudian diperkuat dengan adanya cita hukum sebagai kerangka keyakinan, dan mengarahkan hukum pada tujuan yang hendak dicapai oleh negara. Oleh karenanya masalah-masalah mendasar untuk mengawal undang-undang pemilu harus diperhatikan di dalam perspektif politik hukum. Artinya undang-undang pemilu sebagai produk hukum nasional harus memiliki kaidah penuntun, seperti yang di uraikan di bawah ini;

Hukum nasional harus dapat menjaga integrasi (keutuhan dan kesatuan) baik ideologi maupun teritori. Artinya harus dicegah munculnya produk hukum yang berpotensi memecah-belah keutuhan bangsa dan negara Indonesia.[127] Begitu juga eksistensi undang-undang pemilu harus meresapi makna integritas ini baik itu secara tekstual maupun kontekstual. Sehingga hadirnya undang-undang pemilu menjadi pintu awal dalam menjaga keutuhan demokrasi pancasila.

Kemudian, undang-undang pemilu sebagai hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan nomokratis. Demokratis berarti mencerminkan kepentingan rakyat yang diseleksi dan ditetapkan bersama melalui cara-cara jujur, adil, dan bebas (tanpa tekanan) untuk kemudian dapat diterima apa pun hasilnya sebagai musyawarah. Nomokratis berarti pelaksanaan semua aspek kehidupan bernegara, termasuk semua keputusan-keputusan yang diambil secara demokratis, haruslah berpedoman pada aturan-aturan hukum yang menjamin pengambilan keputusan dan pelaksanaannya secara jujur dan adil.[128]

Tidak dapat juga dipisahkan bahwa undang-undang pemilu harus mampu menciptakan keadilan sosial.[129] Keadilan yang dapat menyampaikan harapan bahwa melalui undang-undang pemilu tersebut dapat menjamin keberlangsungan pemilu yang demokratis. Dengan begitu undang-undang pemilu dapat melayani kepentingan para pencari demokrasi-keadilan.

Berdasarkan tujuan di atas, maka politik hukum undang-undang pemilu dengan segenap tujuannya tidak boleh dibelokkan dan dikurangi. Sekalipun konfigurasi politik pada waktu itu mengambil jalur lambat. Pilihan yang mana memperlambat pencapaian dan tujuan negara. Setidaknya sistem hukum Pancasila dapat dijadikan apresiasi dalam mengawal politik hukum undang-undang pemilu, yang terus-menerus melakukan proses pencarian, pembebasan dan pencerahan. Sehingga sangat mungkin bangsa ini dapat menemukan model sistem pemilu yang khas dengan sistem demokrasi Pancasila.

FF. Simpulan

Pada bagian terakhir ini, patut disadari bahwa setiap sistem selalu mengandung kelebihan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Terbukti pernyataan pendek ini membuat beberapa partai politik di tanah air mengambil jalan pintas dalam menterjemahkan sistem proporsional dalam undang-undang pemilu. Puncaknya polemik antara mekanisme sistem suara terbanyak atau sistem nomor urut sama-sama memiliki peluang untuk salah, bahkan sebaliknya. Akan tetapi, dengan semakin pargmatisnya kepentingan partai politik, maka tidak benar ketika keleluasaan di berikan kepadanya. Seperti sistem proporsional yang mengunakan logika nomor urut dalam pemilhan calon legislatif, tentu akan menjadi justifikasi hegemoni partai politik semakin tidak terkendali. Opsi amandemen terbatas terhadap undang-undang pemilu saat ini, mungkin dapat dijadikan simpulan penutup sebagai bagian solusi jangka pendek.

Jayanti Puspitaningrum

Koordinator Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

Universitas Islam Indonesia

Referensi

Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta, 2008.

B. Hestucipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2003.

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara “Jilid II”, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.

J. Victor Koschmann, Individu dan Kekuasaan “Seri Pengkajian Kebudayaan Jepang”, Grasindo, Jakarta, 1995.

Munafrizal Manan, Pentas Politik Indonesia Pasca Orde Baru, IRE Press, Yogyakarta, 2005.

M. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 1993.

_______________, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999.

_______________, Politik Hukum di Indonesia, Cet III, LP3ES, Jakarta, 2006

_______________, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006.

_______________,Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007.

Media Indonesia 19 Agustus 2008/N0.10069/TAHUN XXXIX.

Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985.

_______________, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Press, Yogyakarta, 2008.

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.

Syarofin Arba, Demitologisasi Politik Indonesia, CIDESINDO, Jakarta, 1998.

REFLEKSI FILSAFAT HUKUM;

MENILIK ORIENTASI NILAI KEADILAN SOSIAL


GG. Pendahuluan

Banyak pertanyaan mengapa wajah peradaban saat ini makin kejam, perlahan tapi pasti sinar keadilan semakin meredup tanpa memberikan pencahayaan yang berarti, dan pada saat itu kita masih belum terpanggil, walaupun dunia ini semakin sempit dengan tidak memberikan ruang dan harapan bagi keadilan. Lantas jika untuk mencapai keadilan mengalami jalan buntu; apakah masih wajar untuk menebar asa? Pertanyaan ini sebenarnya bukan wujud ketidakpercayaan pada makna keadilan, akan tetapi potret kehidupan saat ini menggambarkan betapa buruknya komitmen keadilan sosial dalam mewujudkan cita-cita bersama, yaitu cita-cita dalam mencapai kebahagiaan dan kebaikan bersama yang diwujudkan tanpa harus menerobos tatanan keadilan sosial masyarakat.

Penelusuran mengenai keadilan tentu tidak akan terlepas dari dialektika hukum dalam dimensi sosial. Kemandegan hukum secara langsung akan menggeser kaidah normatif dan nilai-nilai kepatutan masyarakat. Mengambil tema refleksi mengenai filsafat hukum mengesankan akan adanya suatu uraian kefilsafatan yang sedemikian abstrak, akan tetapi harapan tulisan ini pada akhirnya memberikan manifestasi keseimbangan penceritaan kembali terhadap titik pertemuan antara penyelidikan filsafat hukum mengenai konsep atau sifat hukum, masalah tujuan atau cita-cita hukum dan pola antarpengaruh hukum dan masyarakat.[130]

Artinya positif dan negatif dalam menilik orientasi nilai keadilan sosial ditanggapi secara seimbang, tidak sekedar dengan ekspresi subyektif dan cenderung berat sebelah. Refleksi ini dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum. Misalnya yang disebut patologi hukum, hal ini sesuatu yang tabu sifatnya dalam pembicaraan hukum yang positivistik. Misalnya, aktualisasi antinomi nilai-nilai dalam hukum; seperti nilai kepastian dan keadilan, individualisme dan kolektivisme, serta kebebasan dan ketertiban. Persoalan inilah yang selalu menjadi dialektika perkembangan keadilan sosial. Karena secara wajar aktualisasi antinomi tersebut seakan memberikan jarak yang tak mungkin dapat bertemu dalam menggapai hukum yang berkeadilan sosial.

Jika membahas perihal refleksi filsafat hukum, secara fundamental yang sangat perlu untuk diuraikan terlebih dahulu ialah perihal nilai. Nilai disini dilakukan untuk lebih memahami dan mendalami hakikat suatu persoalan hukum secara konseptual. Seyogyanya persoalan itu dipahami secara komprehensif dengan melakukan perenungan, pengujian, serta pengajuan kritik dan penilaian secara teratur dan sistematis. Idealnya hukum hadir ditengah-tengah masyarakat tidak untuk dirinya sendiri, melainkan menjamin keutuhan sosial masyarakat. Sehingga tema besar dari hadirnya hukum secara filsofis adalah bagian dari kebutuhan dan komitmen bersama akan nilai keadilan sosial.

Ketika berangkat dari asumsi keadilan sosial menjadi nilai objektif yang harus dipenuhi, tentunya hal ini tidak begitu saja akan berjalan mulus sesuai dengan perspektif cita-cita hukum suatu bangsa. Karena nilai tersebut akan berhadap hadapan dengan sesuatu yang tidak lunak dalam mewujudkannya. Terlebih lagi secara objektif, sesuatu dianggap mempunyai arti nilai jika terpenuhinya faktor atau unsur utility (manfaat) dan importance (kepentingan), dan secara subjektif apabila terpenuhinya faktor need (kebutuhan) dan estimation (perkiraan).[131]

Dengan demikian, hasil perasan dari refleksi filsafat hukum nantinya akan lebih menilik orientasi nilai keadilan yang menyangkut pandangan hidup manusia. Karena dalam nilai keadilan yang menyangkut pandangan hidup manusia itulah akan terpenuhi sekaligus unsur-unsur subtansial maupun formal dari cita-cita hukum yang berkeadilan sosial. Oleh sebab itu, nilai nilai yang akan dibahas adalah nilai yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar secara objektif.

HH. Pandangan Filsafat Terhadap Hukum

Filsafat hukum merupakan bagian penelusuran kebenaran yang tersaji dalam ruang lingkup filsafat. Filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematikal yang hanya dapat merasa puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berfikir itu sendiri. Filsafat tidak membatasi diri hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal, psikhikal atau kerohanian saja. Ia juga tidak hanya mempertanyakan “mengapa” dan “bagaimana”-nya gejala-gejala ini, melainkan juga landasan dari gejala-gejala itu yang lebih dalam, ciri-ciri khas dan hakikat mereka. Ia berupaya merefleksi hubungan teoritikal, yang di dalamnya gejala-gejala tersebut dimengerti atau dipikirkan.[132]

Dalam hal itu, maka filsafat tidak akan pernah terlalu lekas puas dengan suatu jawaban. Setiap dalil filsafat harus terargumentasikan atau dibuat dapat dipahami secara rasional. Karena bagaimanapun filsafat adalah kegiatan berfikir, artinya dalam suatu hubungan dialogikal dengan yang lain ia berupaya merumuskan argumen-argumen untuk memperoleh pengkajian. Berikutnya filsafat menurut hakikatnya bersifat terbuka dan toleran. Filsafat bukanlah kepercayaan atau dogmatika, jika ia tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan secara kaku berpegangan pada pemahaman yang sekali telah diperoleh, tidak heran ketika kefilsafatan secara praktikal akan menyebabkan kekakuan.[133]

Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena fisafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sepertinya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.[134]

Sebagai filsafat, filsafat hukum semestinya memiliki sikap penyesuaian terhadap sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.[135]

Pertanyaan tentang apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn,[136] hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk dalam dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.

Refleksi filsafat hukum melandaskan diri pada kenyataan hukum, oleh karena itu ia merenungkan semua masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan dengan gejala hukum. Setidaknya refleksi filsafat hukum berangkat dari bidang penyelidikan secara folosofis yang pada gilirannya dapat menemukan penelusuran terhadap landasan (dasar-dasar) kebenaran. Maka dengan itu, ada tiga bidang penyelidikan ilmu hukum dalam kajian “filsafat hukum”, antara lain;[137]

(1) Masalah mengenai konsep atau sifat hukum.

Bidang penyelidikan ini mencakup konsep-konsep pokok lainnya yang dianggap ada hubungannya secara esensial dengan konsep tentang hukum, misalnya sumber, subyek hukum, kewajiban hukum, kaedah hukum, dan juga sanksi hukum. Bidang penyelidikan yang terutama ini lebih dikenal sebagai mazhab analitis, oleh karena ia bertujuan untuk menganalisa dan memberi definisi kepada konsep-konsep yang disebut di atas. Mazhab analitis dikemukakan oleh John Austin, yang memiliki ciri formalisme yang metodis. Hukum sebagai dianggapnya sebagai suatu sistem kaedah-kaedah positif, yaitu kaedah-kaedah yang efektif dalam kenyataannya. Ilmu hukum hanya bertujuan untuk menentukan adanya kaedah-kaedah ini dalam hukum yang berlaku lepas dari nilai-nilai etis dan pertimbangan-pertimbangan politis. Demikian juga mazhab analitis tidak mempersoalkan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan sosial ke dalam mana hukum itu masuk-yaitu faktor-faktor sosial yang menentukan penciptaan hukum dan pertumbuhannya dan akibat-akibat sosial yang dihasilkan atau dimaksud untuk dihasilkan oleh kaedah-kaedah hukum.

(2) Masalah tujuan atau cita-cita hukum.

Bidang penyelidikan ini memusatkan perhatiannya kepada prinsip rasional yang memberikan kepada hukum “keabsahan-nya” atau “kekuatan mengikatnya” yang khusus, dan merupakan kriterium bagi “benarnya” suatu kaedah hukum. Pada umunya cita-cita hukum itu dianggap adalah keadilan. Disinilah muncul pertanyaan-pertanyaan pokok tentang hubungan antara keadilan dan hukum positif; peranan yang dimainkan oleh prinsip keadilan dalam perundang-undangan, pengadilan dan sebagainya. Aliran hukum semacam ini sering dikenal sebagai ilmu hukum etis atau filsafat hukum alam, aliran pikiran ini yang erat hubungannya dengan pendekatan secara religius atau metafisis-filosofis, mempunyai sejarah panjang. Filsafat hukum alam dimulai sejak sejak filsuf-filsuf Yunani pertama hingga zaman kita sekarang ini. Filsafat ini mencapai puncak klasiknya dalam sistem-sistem rasionalitas yang besar dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas. Sesudah reaksi dari mazhab sejarah dan positivis dalam abad kesembilan belas, filsafat hukum alam telah mendapat pengaruh lagi dalam abad sekarang ini. Dasar filosofisnya pertama-tama dan secara utama adalah filsafat skolastik katolik yang diteruskan dalam hukum alam kaum Thomis; dan berbagai perkembangan dari sistem-sistem Kant dan Hegel. Teori-teori mengenai hukum alam telah juga menemukan dasar dalam mazhab-mazhab filsafat lainnya (utilitarianisme, filsafat solidaritas, intuisionisme Bergson, fenomenologisme Husserl dan lain-lain).

(3) Masalah pola antarpengaruh hukum dan masyarakat.

Bidang penyelidikan ini mencakup pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan asal usul historis dan pertumbuhan dari hukum: dengan faktor-faktor sosial yang dalam zaman kita menentukan isi variabel dari hukum; dengan bergantungnya hukum dan pengaruh terhadap ekonomi dan kesadaran hukum rakyat; dengan akibat-akibat sosial dari kaedah-kaedah hukum atau lembaga-lembaga tertentu; dengan kekuasaan pembentuk undang-undang untuk membimbing perkembangan sosial; dengan hubugan antara hukum yang “hidup” dengan hukum teoritis dan kekuatan-kekuatan yang sebenarnya menjadi motif bagi penerapan hukum berlainan dengan alasan-alasan rasional dalam setiap putusan.

Pada dasarnya ketiga bidang penyelidikan filsafat hukum ini merupakan suatu metode untuk mencari kebenaran, yang merupakan prinsip-prinsip fundamental atau mendasar tentang hakikat hukum tersebut. Kerja filsafat merupakan usaha-usaha untuk menguji prinsip-prinsip dasar tersebut. Secara epistemologis ada tiga teori tentang kebenaran yakni; the correspondence theory of truth, the coherence theory of truth, dan pragmatic theory of truth.[138] Ketiga teori ini mendasarkan pengertian dalam pencarian kebenaran. Jadi tujuan filsafat hukum dan ilmu hukum berbeda dari tujuan hukum. Hukum itu sendiri bertujuan hendak mencari keadilan, kepastian hukum, dan ketertiban. Tujuan hukum bersifat etis, yakni bersumber pada kebaikan.

Tiga teori kebenaran yang telah disebut dimuka, dapat diterapkan dalam filsafat hukum, ilmu hukum, dan teknik hukum. Teori korespondensi memandang bahwa suatu pernyataan adalah benar bila sesuai atau sebanding dengan kenyataan yang menjadi objeknya, teori ini sesuai dengan dimensi perilaku hukum dan menjadi bahan kajian sosiologi hukum dan antropologi hukum. Kemudian teori koherensi berpendapat bahwa suatu pernyataan adalah benar apabila sesuai dengan pernyataan sebelumnya, dalam pengertian inilah yang menjadi landasan bahan kajian filsafat hukum. Berbeda dengan teori pragmatik, bahwa suatu pernyataan adalah benar bila berguna bagi kehidupan praktis, yang sesuai dengan bahan kajian teknik hukum secara praksis.[139]

Teori koherensi mengantarkan kita, sebagaimana berfikir secara kefilsafatan untuk memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan refelektifnya, tidak hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.

Melihat fungsi filsafat hukum lebih jauh; ialah sebagai cara pandang untuk berfikir secara kreatif dengan menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan letak urgensinya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar terhadap orientasi keadilan sosial selama ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan dari agenda refleksi filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah sosial yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.

II. Menilik Pertalian Hukum dan Keadilan

Asumsi yang melatarbelakangi pembicaraan topik pada bagian ini ialah bahwa hukum bisa, atau, sering kali bertentangan dengan nilai keadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan; bagaimana kaitan antara keduannya, serta dalam kondisi mana hukum sebagai perangkat paling khas dalam masyarakat modern untuk menciptakan tata kehidupan masyarakat dan melaksanakan kebijakan dapat dipakai untuk tujuan keadilan sosial.

Meminjam pribahasa latin, berbunyi: fiat justisia et pereat mundus (ruat coelum); yang artinya; hukum yang berkeadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia harus kiamat (sekalipun juga langit runtuh karenanya).[140] Pribahasa latin tersebut menyiratkan suatu komitmen yang sangat tinggi untuk mewujudkan keadilan di dalam kehidupan bersama. Kehidupan yang memiliki kehendak kuat untuk menyajikan seperangkat teks keadilan berdasarkan cita-cita hukum suatu bangsa. Lebih dari itu untuk meletakkan fondasi konseptual keadilan selalu dipaksa untuk berdaptasi dengan struktur sosial dan karakteristik problem sosialnya. Untuk alasan inilah, hukum sangat dinamis dalam mewujudkan keadilan sebagai hasil akhir dari nilai yang diperjuangkan.

Dialektika hukum dan keadilan adalah permasalahan lama akan tetapi selalu menarik pertalian antar keduanya. Meskipun secara aktual, setiap kali kita dihadapkan dengan sikap kritis terhadap hukum dan keadilan, namun tidak dapat disangkal bahwa kehidupan bersama tetap memerlukan hukum dan keadilan itu. Pada dasarnya manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran dan hukum, karena hal itu merupakan nilai dan kebutuhan azasi bagi masyarakat manusia yang beradab. Keadilan adalah milik dan untuk semua orang serta segenap masyarakat dan tidak adanya keadilan akan menimbulkan kehancuran dan kekacauan keberadaan serta eksistensi masyarakat itu sendiri. Bahkan perbedaan sikap dan kebencian terhadap orang lain tidak boleh mengakibatkan sikap yang tidak adil.

Apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak literatur itu, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik, dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal hampir sulit untuk dilakukan.[141]

Namun pada garis besarnya perdebatan mengenai keadilan terbagi atas dua arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan metafisik, diungkapkan oleh Plato, kemudian dimensi keadilan rasional yang diwakili oleh Aristoteles. Keadilan yang rasional pada dasarnya mencoba menjawab prihal keadilan dengan cara menjelaskannya secara ilmiah. Sementara keadilan yang metafisik, mempercayai eksistensi keadilan sebagai sebuah kualitas atau suatu fungsi di atas dan di luar makhluk hidup, dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut kesadaran manusia berakal.[142]

Pemetaan dua arus pemikiran keadilan tadi, dalam kaitannya dengan transformasi sosial Karl Marx mengenai pemetaan kelas sosial. Marx memandang masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang antagonistis. Dalam pandangan marx watak dasar yang antagonistis ini ditentukan oleh hubungan konflik antar kelas-kelas sosial yang kepentingan-kepentingannya saling bertentangan dan tak dapat diuraikan karena perbedaan kedudukan mereka di dalam tatanan ekonomi.[143] Pertentangan kelas yang kemudian menimbulkan konflik sosial merupakan bagian penjelasan marx mengenai dinamika keadilan pada zaman itu. Bagaimana kelas pekerja dalam masyarakat kapitalis modern; tidak pernah diperhitungkan pada taraf kelas sosial yang sama, sehingga kedudukan mereka terkucilkan dari kelas sosial di atasnya. Oleh karena itulah ketimpangan keadilan ini dapat dilihat dengan rasionalisasi yang dilakukan oleh marx.

Mengetengahkan tentang sifat relatifitas hukum dan keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Kusumohamidjojo, bahwa oleh karena hukum adalah kenyataan yang melekat pada manusia yang terus menerus berubah, maka kaidah-kaidah normatif yang menjadi muatan hukum selalu bersifat relatif, dengan akibat bahwa ketertiban umum serta benang merah keadilan yang harus dihasilkannya juga selalu bersifat relatif, sehingga terus-menerus menjadi objek kontemplasi, justru untuk terus menempatkannya dalam konteks yang kontemporer.[144]

Sifat relativitas keadilan yang diungkapkan di atas, merupakan ragam dalam pemberian makna secara konseptual terhadap nilai keadilan. Jhon Rawls misalnya,[145] teori keadilan sosial bertujuan memberikan dasar-dasar bagi kerja sama sosial masyarakat bangsa pluralistik modern. Berbeda dari masyarakat tradisional, mereka berpendapat masyarakat modern tak terelakkan menjadi masyarakat pluralistik dengan kepentingan dan anutan nilai hidup berbeda-beda, bahkan mungkin bertentangan. Bagaimanapun pengaturan masyarakat pluralistik modern itu tidak boleh didasarkan atas suatu anutan nilai hidup tertentu, melainkan harus-lah dikendalikan oleh prinsip yang menjamin dan mengekspresikan kepentingan bersama. Prinsip itu adalah keadilan sosial.

Konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.[146]

Namun secara umum, unsur-unsur formal dari keadilan yang dikatakan oleh rawls pada dasarnya harus memenuhi nilai unsur hak dan unsur manfaat. Dengan nilai keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan manfaat-ditambah bahwa dalam diskursus hukum, perihal realisasi hukum itu berwujud lahiriah, tanpa mempertanyakan terlebih dahulu itikad moralnya. Maka nilai keadilan di sini mempunyai aspek empiris juga, di samping aspek idealnya. Maksudnya adalah diaktualisasikan secara konkret menurut ukuran manfaatnya.[147]

Memang dapat dipahami bahwa cukup sulit untuk dapat mewujudkan kesesuaian antara idealitas dengan realitas. Bahwa paradoks antara idealitas hukum dengan realitas sosial yang banyak terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini menilik pertalian hukum dan keadilan mengalami disorientasi. Walaupun keduanya memiliki kausa yang positif bila dapat diwujudkan dengan benar. Disinilah nilai keadilan berfungsi menentukan secara nyata, dinamika hukum dalam realitas sosial, dan sebagai konsekuensinya hukum harus dilihat dari ruang sosial yang lebih luas.

JJ. Hukum dan Perubahan Sosial

Kita sekarang sudah sampai ke tingkat peradaban manusia sedemikian rupa, dimana masyarakat sudah ditata secara sangat maju. Maka sekalian pekerjaan hukum juga ditempatkan dalam konteks dan bingkai penataan masyarakat yang sudah dilakukan sangat maju dan rasional. Masyarakat di dunia sudah berubah dari masyarakat yang tradisional menjadi sesuatu yang serba ditata dan tertata secara lebih rasional. Dengan demikian ia sudah menjadi masyarakat yang sarat dengan berbagai konstruksi, atau suatu masyarakat yang dikonstruksikan secara rasional. Hukum menjadi bagian dari konstruksi tersebut, dan dengan demikian bersifat artifisial.

Kenyataan ini menunjukkan, bahwa dalam pembuatan hukum serta penegakan hukum semua itu tidak terlepas dari perilaku hukum masyarakat. Maka sudah semestinya apa yang dikatakan oleh Prof Tjip, sebutan akrab dari tokoh sosologi hukum Indonesia yang mencetuskan teori hukum progresif dengan gagasan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.[148] Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.

Suatu masyarakat senantiasa mempunyai aspek struktural dan prosedural, oleh karena masyarakat sekaligus merupakan wadah dan proses kehidupan bersama manusia. Oleh karena itu lazim dikatakan, bahwa masyarakat terdiri dari aspek yang relatif statis dan dinamis. Aspek yang relatif statis terwujud dalam struktur sosial, sedangkan aspek dinamisnya terwujud dalam proses sosial. Kesemuanya itu merupakan unsur-unsur pokok dari suatu sistem kemasyarakatan (societal-system).[149] Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa hukum dan perubahan sosial merupakan salah satu bagian dari dinamika sosial atau dinamika masyarakat.

Membaca dinamika hukum dan perubahan sosial hendaknya menempatkan hukum pada ruang sosial yang lebih luas. Seperti halnya, dalam suasana keterpurukan seperti ini kita terdorong untuk mengajukan berbagai pertanyaan mendasar; seperti: “kita bernegara hukum untuk apa?” Hukum itu mengatur masyarakat semata-mata untuk mengatur atau untuk suatu tujuan yang lebih besar?[150] Dibalik pertanyaan ini terkesan memberikan pendapat bahwa hukum hendaknya bisa mendatangkan kebahagiaan bagi yang membutuhkannya.

Sudah tentu pembicaraan mengenai perubahan sosial lebih baik diawali dengan suatu pembahasan ringkas mengenai konsepnya. Suatu konsep merupakan hasil proses abstraksi yang dilakukan terhadap gagasan-gagasan atau pengalaman-pengalaman secara empiris. Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat mungkin berkaitan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah pola sikap dan seterusnya.[151]

Bagaimana hukum menjadi sebuah diskursus dari arus perubahan sosial yang begitu cepat mengikuti perkembangan jaman. Kita ingat sebagaimana kelompok-kelompok wanita, warga Bali dan Yogyakarta menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Bagi mereka RUU APP akan mengakhiri keragaman budaya dan pembunuhan karakter terhadap individu seniman, khususnya wanita untuk mengatur tubuhnya sendiri. Berbagai penolakan itu membuktikan telah terjadi pergeseran nilai dalam struktur sosial masyarakat, yang mana hukum berusaha mereduksi persoalan pornografi dan pornoaksi masuk ke dalam upaya kriminalisasi.

Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa perubahan sosial seketika dapat mendorong terjadinya perubahan pada lembaga-lembaga sosial yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk nilai-nilai, sikap-sikap dan pola prilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Seperti apa yang dikatakan oleh Van Doorn;[152] hukum adalah skema yang dibuat untuk menata (prilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya, ini disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang mempengaruhi dan membentuk prilakunya.

Interaksi antara hukum dan masyarakat dipertajam oleh kehadiran hukum modern yang segala sudut pandangnya dialogis terhadap prinsip rasionalitas. Artinya hukum hanya berdaya-guna bila memiliki kebenaran rasional, sebuah kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip-prinsip logis-kritis. Rasionalitas itu memaksa hukum menjamin kepastian demi terwujudnya keadilan. Persoalannya keadilan yang dimaksud ialah keadilan hukum, sebagai ranah dari penjelmaan doktrin positivisme hukum. Keadilan hukum semata-mata hanya akan menjalankan hukum secara praktikal sesuai dengan prosedur hukum demi terwujudnya nilai kepastian hukum.

Pemahaman tentang hukum seperti demikian itu berimbas pula pada pemahaman antara keterkaitan hukum dan kepastian hukum menjadi relatif. Hukum tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Yang benar adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan seperti undang-undang.[153] Lebih jauh Charles Sampford melakukan kritik terhadap ajaran dari postivisme hukum yang melihat sisi hukum hanya pada ranah kepastian hukum saja, ia mengatakan; hukum itu penuh dengan ketidakteraturan (the disorder of law).[154] Kalau para ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu harus dijalankan dengan penuh kepastian dan keteraturan, maka itu sebetulnya bertolak dari kepentingan profesi yang mereka lakoni pada waktu itu saja, dan bukan hal yang sebenarnya.

Sebab bagaimana ahli hukum bisa bekerja dengan tenang, kalau hukum yang mereka gunakan itu banyak mengandung ketidakpastian. Dengan demikian, menurut Sampford, kepastian hukum itu lebih merupakan keyakinan yang dipaksakan daripada keadaan yang sebenarnya.[155] Ternyata peraturan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dan prilaku.

Akhir dari itu semua, bahwa hukum merupakan ekspresi dari kehendak sosial masyarakat, ia akan selalu fluktuatif berdasarkan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan prilaku sosial masyarakat. Keadilan sosial akan menjadi pintu terakhir dari cita-cita hukum setiap bangsa, atau rumusan yang lebih konkret adalah yang dikatakan oleh Gustav Radbruch; yaitu hukum adalah kehendak untuk bersikap adil.[156] Sisanya hanya adil untuk siapa? dan untuk apa?. Hal inilah yang menjadi pokok bahasan pada bagian selanjutnya, yaitu; refleksi filsafat hukum dalam menuai catatan akhir mencari reposisi keadilan sesungguhnya.

KK. Refleksi Filsafat Hukum; Sebuah Catatan Akhir Menuju Keadilan Progresif

Seperti apa yang telah di bahas pada bagian sebelumnya, bahwa refleksi filsafat hukum pada akhirnya memberikan manifestasi keseimbangan penceritaan kembali terhadap titik pertemuan antara penyelidikan filsafat hukum mengenai konsep atau sifat hukum, masalah tujuan atau cita-cita hukum dan pola antarpengaruh hukum dan masyarakat. Artinya positif dan negatif dalam menilik orientasi nilai keadilan sosial ditanggapi secara seimbang, tidak sekedar dengan ekspresi subyektif dan cenderung berat sebelah.

Refleksi filsafat hukum dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum. Fokus kerjanya ialah refleksi secara sistematikal tentang “kenyataan” dari hukum. Kenyataan hukum harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan) dari ide-hukum (cita-hukum).[157] Dalil yang dikatakan oleh Gustav Radbruch; bahwa ia menjabarkan ide-hukum dikemas melalui tiga aspek, yakni kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. pertautan antara ketiganya itu sangat dinamis. Menurutnya; tidak dapat ditentukan asas mana yang harus diutamakan, karena yang paling bisa menentukan ialah kekusaan kehendak dari pembuat undang-undang: positivitas dari hukum pada akhirnya tergantung pada keputusannya.

Akan tetapi dibalik kenyataan itu, nilai kebenaran ialah suatu keniscayaan menuju jalan terang keadilan. Hanya kemudian prevensi nilai kebenaran akan sangat tergantung sekali terhadap faktor kepentingan dan kebutuhan. Fakta tersebut memperlihatkan betapa sulitnya dalam menentukan sikap adil. Keadilan merupakan sasaran utama dari hukum, maka penegakan hukum haruslah diarahkan, antara lain agar tercapai keadilan, baik bagi individu maupun keadilan bagi masyarakat, yang dikenal dengan istilah keadilan sosial. Keadilan mestilah merupakan faktor penting bagi adanya justifikasi terhadap suatu penegakan hukum, karena penegakan hukum merupakan perwujudan “kenyataan hukum” yaitu; cita-cita hukum bangsa.

Dalam praktek hukum di Indonesia, seringkali para penegak hukum telah menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main yang ada, dalam artian aturan main yang formal. Terhadap kasus tindak pidana korupsi misalnya, sesuai hukum yang berlaku, jaksa sudah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke pengadilan. Pengacara sudah menjalankan fungsinya untuk membela dan mempertahankan hak-hak tersangka. Dan hakim sudah mendengar kedua belah pihak, sehingga dikeluarkanlah putusan pengadilan. Semua aturan hukum yang relevan sudah dipertimbangkan dan diterapkan. Serta semua formalitas dan tata cara yuridis sudah diikuti.

Persoalannya, mengapa terhadap penegakan hukum yang demikian masih saja banyak masyarakat yang tidak puas, dan masih saja dikatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia ditenggarai sangat rendah dan sudah mencapai titik nadir. Inilah masalahnya, yakni tidak terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan masyarakat. Mimbar pengadilan telah terisolasi dengan pemahaman makna kepastian hukum saja, tanpa mau membuka diri dan menggali nilai-nilai keadilan yang ada di masyarakat.

Sampailah kita pada pembicaraan bahwa refleksi filsafat hukum yang memfokuskan diri pada cita-cita hukum yaitu bagaimana mencapai keadilan subtantif, pada kenyataanya makna keadilan saat ini telah terkikis oleh paradigma yang sangat kaku, hanya melihat sisi keadilan pada ejaan pasal-perpasal dalam mewujudkan keadilan prosedural. Apa yang akan penulis ketengahkan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru, berangkat dari pemahaman gagasan brillian Satjipto Rahardjo[158] yaitu; paradigma hukum progresif yang mana lahir sebagai oposisi keilmuan terhadap paham postivisme hukum.

Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia”. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.[159]

Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.[160]

Dalam kaitannya dengan mencari alternatif nilai keadilan di tengah-tengah rapuhnya penegakan hukum Indonesia saat ini, sebagai catatan akhir penulis menuju keadilan progresif yang pada aktualisasinya selalu percaya diri dengan prinsip-prinsip kebenaran. Keadilan progresif akan selalu mencerminkan diri pada kenyataan hukum di masyarakat. Setidaknya keadilan progresif ini secara konseptual harus berdiri atas tiga varian pokok, yaitu; pertama, menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasanyaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-dogmatis, analitis-positivistik. Sekalian dengan ciri pembebasan itu, keadilan progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”.

Kemudian yang kedua, didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan tidak semata-mata berdasarkan pada logika peraturan. Sehingga dalam hal ini keadilan progresif dapat menjunjung tinggi moralitas. Hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali aktivitas perjuangan itu. Dan yang ketiga, paling utama keadilan progresif banyak bertumpu pada kualitas dan kemampuan sumberdaya manusia penegak hukumnya. Faktor modalitas menjadi amat penting, seperti: empati, “kejujuran dan keberanian”. Faktor-faktor itulah yang harus dikedepankan daripada sekedar menjalankan peraturan secara mekanistis-linier. Dalam kualitas yang demikian itu, maka keadilan progresif akan selalu gelisah melakukan pencarian dan pembebasan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena memang hakikat dari keadilan progresif; yaitu mencari kebenaran hakiki.

LL. Simpulan

Refleksi filsafat hukum dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum. Fokus kerjanya ialah refleksi secara sistematikal tentang “kenyataan” dari hukum. Kenyataan yang berbasis cita-cita hukum adalah berangkat dari sisi keadilan pada realitas sosial yang lebih luas. Setidaknya kenyataan hukum, dapat di konstruksikan melalui ranah hukum progresif dengan gagasan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sehingga tak heran ketika manusia itu untuk hukum, keluarannya mesti keadilan prosedural. Berbeda ketika hukum adalah untuk manusia, ia membentuk skema hukum berdasarkan kebutuhan dan hanya untuk melayani kepentingan manusia, disitulah terdapat keadilan progresif. Keadilan yang mana dapat menjawab stagnasi supremasi hukum kita saat ini.

Deni Ismail Pamungkas, S.H.

Koordinator Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

Universitas Janabadra Yogyakarta

Referensi

A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial “Buku Teks Sosiologi Hukum Ke I”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.

Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, Membangun Hukum Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008.

Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000.

Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.

Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, Grassindo, Jakarta, 1999.

Bur Susanto, Keadilan Sosial “Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.

Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta, 2007.

Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.

______________, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006.

______________, Membedah Hukum Progresif, Cet II, Buku Kompas, Jakarta, 2007.

______________, Biarkan Hukum Mengalir, Buku Kompas, Jakarta, 2007.

S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta, 1986.

Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1988.

Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung, 1998.

Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.

REFORMASI PERADILAN PIDANA

SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN HUKUM


MM. Pendahuluan

Dalam makalah ini, penulis akan menampilkan realitas sistem peradilan pidana kita, serta aparatur penegak hukumnya mengenai fungsi, peran dan mekanisme kontrol publik dalam dinamika perubahan sosial masyarakat. Selebihnya makalah ini juga akan melihat sejauhmana signifikansi sistem peradilan pidana dapat menjawab keraguan publik dalam hal mencari keadilan terhadap proses penegakan hukum di negeri yang tercinta ini.

Penegakan hukum suatu istilah yang tak jarang terdengar dalam catatan dan riwayat hukum suatu bangsa. Penegakan hukum adalah cermin keadilan, hal ini terkait erat dengan komitmen penegak hukum dalam menyelenggarakan mekanisme hukum dengan sebenar-benarnya yang melibatkan peran serta publik. Lembaga peradilan pidana adalah salah satu ranah para pencari keadilan untuk memperjuangkan hak-haknya, akan tetapi jika proses peradilan jauh dari rasa keadilan masyarakat, maka penegakan hukum akan bergerak berlawanan ke arah degradasi hukum. Pada persoalan inilah sistem peradilan pidana kita mengalami krisis kepercayaan untuk menentukan orientasi penegakan hukum yang peka terhadap rasa keadilan masyarakat.

Peradilan yang sering diistilahkan sebagai corong undang-undang, tidak lebih dan tidak kurang hanya membentuk asosiasi kediktatoran lembaga peradilan saja.[161] Kediktatoran ini bisa kita lihat, pada salah satu fenomena yang menimbulkan komentar publik terhadap putusan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan atas di bebaskannya Adelin Lis, dalam kasus pembalakan liar ialah salah satu contoh buruknya wajah lembaga peradilan kita saat ini.[162] Munculnya putusan seperti ini, akibat rendahnya integritas moral dan intelektual aparatur penegak hukum yang tidak memikirkan sama sekali dampak sosial dari putusan tersebut.

Dalam situasi demikian, yang menjadi fokus pembenahan pada sistem peradilan pidana kita tentunya semakin rumit. Tetapi paling tidak reformasi sistem peradilan pidana dapat diawali dari memperbaiki integritas profesi penegak hukum yang menjadi bagian dari sistem peradilan pidana. Karena lembaga peradilan yang sangat dinamis, akan terus menerus menciptakan susana yang sesuai pada kondisi tertentu yang mempengaruhinya. Seperti yang di ketahui bersama, bahwa sistem peradilan pidana kita memiliki beberapa sub-sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat yang secara keseluruhan dan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasikan tujuan sistem peradilan pidana.

Mengingat kembali moralitas penegak hukum yang selama ini semakin mengalami kemerosotan, adalah bentuk dari budaya penegakan hukum yang tidak menciptakan kesadaran hukum masyarakat. Sangat tidak mungkin kesadaran hukum masyarakat dapat tercapai ketika tidak ada pijakan yang dapat dijadikan panutan oleh publik. Seperti istilah yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, bagaimana mungkin menyapu halaman sebuah rumah secara bersih kalau sapunya sendiri sebuah sapu yang kotor. Hal ini seiiring dengan sosialisasi dari Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta mengatakan bahwa penegak hukum saat ini adalah lembaga yang paling terkorup di Indonesia.[163]

Dari beberapa fenomena perjalanan citra penegakan hukum kita saat ini, setidaknya fakta diatas dapat dijadikan refleksi bersama serta harus adanya ketegasan sikap dalam melihat lemahnya sistem peradilan pidana menjawab tantangan kesadaran hukum kolektif. Maka pada pembahasan berikutnya makalah ini akan lebih difokuskan pada membangun pengawasan partisipatif dalam menciptakan independensi dan akuntabilitas lembaga peradilan, serta reformasi peradilan pidana sebagai kebijakan responsif.

NN. Peradilan; Dasar Hukum dan Perspektif Historis

Dari waktu ke waktu lembaga peradilan di Indonesia mengalami perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman itu sendiri, baik dari kelembagaannya maupun dalam sistem penegakan hukumnya.[164] Keberadaan lembaga peradilan dalam negara modern seperti Indonesia merupakan suatu keniscayaan, karena akan mustahil kekuasaan politik pemerintahan dapat berjalan dengan benar dan adil jika tidak ada lembaga yang berfungsi menegakkan hukum dan mengadili sengketa antara rakyat dengan pemerintah atau antara rakyat dengan anggota masyarakat lainnya.[165] Penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu fungsi kedaulatan suatu negara. Tujuan utama lembaga peradilan adalah memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak. Proses peradilan yang berkaitan erat dengan syarat-syarat dan tujuan “peradilan yang fair” (due process), meliputi antara lain asas praduga tak bersalah, cara kerja yang benar di mana seseorang yang dituduh mengalami pemeriksaan atas peradilan yang jujur dan terbuka.[166]

Tahap akhir yang dilakukan lembaga peradilan adalah putusan mengenai penghukuman/pemidanaan jika seseorang dalam proses pemeriksaan dapat dibuktikan bersalah, jika sebaliknya maka peradilan memberikan putusan bebas. Pemberian hukuman/pemidanaan dalam peradilan memiliki peran historis untuk melaksanakan norma-norma kedaulatan hukum pada setiap negara. Pendekatan represif sering kali dicirikan oleh peradilan pidana, seperti perintah penahanan, pemidanaan baik itu membayar denda, hukuman penjara dan kurungan, bahkan sekalipun hukuman mati. Dalam konteks ini, pelaksanaan peradilan pidana dianggap merupakan cara yang terbaik untuk mewujudkan keadilan dan penegakan hukum. Setidaknya penghukuman/pemidanaan dapat dipahami hanya sebagai motivasi pembalasan yang mendatangkan nestapa kepada siapa yang melakukan penistaan hukum, melainkan bukan berarti ekspresi pembaruan kedaulatan hukum itu sendiri.

Latar belakang peradilan pada suatu negara mempunyai perspektif historis yang berbeda-beda, seperti simbol-simbol kekuatan revolusi Inggris dan Prancis dari pemerintah monarki ke republik adalah pengadilan Raja Charles I dan Louis XVI. Setengah abad setelah terjadinya simbol utama kekalahan Nazi di perang Dunia Kedua adalah peradilan Nuremberg. Kemenangan demokrasi terhadap pemerintah militer di transisi Eropa Selatan diwakili oleh peradilan terhadap para kolonel di Yunani. Kemudian, peradilan Junta Argentina menandakan akhir puluhan tahun pemerintah represif di seluruh Amerika latin dan Afrika. Lembaga peradilan sudah memiliki sejarah panjang hingga abad pertengahan, yang mengambil dari norma-norma hukum internasional konsep tentang keadilan terhadap kekerasan politik yang tidak sah. Peradilan juga telah lama hadir untuk menerapkan norma-norma hukum internasional tentang ketidakadilan dalam perang, yang itu semua sering disebut dengan peradilan suksesor.[167]

Pesan normatif yang dapat diambil bahwa penghukuman dapat dilakukan memang ketika adanya nilai kesalahan, dengan kemudian peran lembaga peradilan hadir untuk melakukan verifikasi kebenaran fakta-fakta yang terjadi, dan semua itu bermuara pada putusan kepada siapa yang benar atau salah itu akan dilimpahkan. Hal ini juga telah diupayakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 dalam perubahan ketiga yang disahkan pada Tanggal 10 November 2001 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.[168] Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka, bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstrayudisial untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum, yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.

Berangkat dari itu, peradilan memiliki sub-sistem yang menunjang bekerjanya sistem peradilan yang ada. Sistem peradilan mempunyai mekanisme yang bergerak menuju kearah pencapaian misi dari hakekat keberadaan peradilan, sebagai suatu lembaga operasionalisasi, sistem peradilan menuntut adanya visi yang jelas agar aktivitas atau pelaksanaan peran peradilan berproses secara efektif dan efisien.[169] Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, sesuai amanat pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan empat lingkungan peradilan yang ada di Indonesia; yaitu, Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara,[170] memiliki prosedur hukum acara dan yurisdiksinya masing-masing. Tiap-tiap peradilan tersebut sebagai sub-sistem dari sistem peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, memiliki kompetensi sesuai dengan domain (ranah) kompetensi keilmuan yang melekat pada predikat peradilan masing-masing.

Secara dogmatik, sistem peradilan pidana terdiri atas sub-sistem yang saling berhubungan antar sub-sistem yang lain, sehingga membentuk jaringan kerja secara terpadu yang dikenal dengan integreted criminal justice system.[171] Semua sub-sistem diarahkan kepada tujuan untuk menegakkan tata hukum pidana. Dalam pandangan ini, penyelenggaraan tata hukum pidana berpusat dan berpuncak pada pengadilan, karena pengadilan merupakan institusi penting dalam mengkonkritkan hukum melalui putusan-putusan yang ditetapkannya. Dari kenyataan ini, bahwa peradilan memerankan keadaan hukum yang ditegakkan melalui lingkungan sosial tempat hukum itu diberlakukan.[172]

OO. Harapan Publik Mencari Keadilan Dalam Proses Peradilan

Subjek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya, cara-cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban secara fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial. Sepenuhnya memahami konsep keadilan harus memperjelas konsep kerja sama sosial yang melahirkannya. Prinsip keadilan sebagai fairness adalah memandang berbagai pihak dalam situasi awal sebagai rasional[173] dan sama-sama netral.[174] Seperti yang kita ketahui, pembentukan negara dalam perspektif teori kontrak sosial, bahwa ketika setiap individu-individu mengimplementasikan hak atau kepentingannya, maka negara diberikan kepercayaan hanya sebagai pengelola hak-hak setiap warga negara. Prinsip ini tentu saja, cukup membenarkan negara berdasarkan kewenangannya membentuk lembaga peradilan dalam mengatur pemenuhan hak dan kewajiban, sesuai prinsip keadilan sebagai fairness.

Pencermatan mengenai bagaimanakah kondisi hukum seutuhnya yang terjadi diseputaran kita saat ini, formalitas dan moralitas penegak hukum disinyalir telah menjadi salah satu sebab ambruknya penegakan hukum.[175] Akibatnya muncul gelombang perasaan ketidakpuasan masyarakat terhadap eksistensi lembaga peradilan di negeri ini. Sehingga tidak jarang muncul sejumlah pertanyaan yang mempersoalkan sejauh mana efisiensi lembaga peradilan dapat dihandalkan sebagai lembaga yang memenuhi harapan publik mencari keadilan dalam proses peradilan. Aspek keadilan menjadi cita-cita dan angan-angan yang disamarkan dalam proses hegemoni penguasa (penegak hukum) dalam mengeliminir kekokohan fundamental hak-hak dasar (basic right) rakyat untuk mendapat jaminan kepastian hukum dan kepastian keadilan. Harapan publik yang seharusnya menjadi dasar filosofis yang mengarah kepada rasa keadilan, telah direduksi sedemikian rupa oleh penegak hukum menjadi sebuah keadilan semu dari publik, tetapi sekaligus mencerminkan simbol peradilan yang absolut.

Keyakinan dan perasaan keadilan masyarakat hanya menjadi obyek dari proses penegakan hukum di pengadilan. Kepastian hukum yang di ilustrasikan sebagai balutan formaslime yang disimbolkan dengan proses acara peradilan, mencerminkan kekakuan dan keangkeran cultural sistem peradilan yang tidak menegakkan keadilan tetapi menegakkan formalisme hukum.[176] Harapan pencari keadilan sebagaimana yang digambarkan oleh Mukti Arto mengenai tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan asosiasi advokat) sudah mencapai titik nadir. Fenomena main hakim sendiri sebagaimana yang kita ketahui pada saat sekarang ini, menunjukkan betapa tingkat resistensi masyarakat kita terhadap lembaga hukum sudah sangat rendah.[177] Masyarakat mencari kebutuhan akan jaminan keadilan melalui cara mereka sendiri dan dalam memenuhi kebutuhan hidup lainnya juga memerintah serta mengatur dirinya sendiri.

Demi sebuah kepastian hukum terkadang keadilan dikorbankan, sebaliknya untuk mewujudkan keadilan terkadang kepastian hukum diabaikan. Pernyataan ini tentu akan mendapat sanggahan dari mereka yang berpendirian normatif, bahwa keadilan dan kemanfaatan itu harus dicapai melalui kepastian hukum. Padahal dalam bingkai sosiologis, nilai kepastian hukum itu sendiri mengandung masalah yang substansial. Kepastian hukum yang menjadi tujuan dibuatnya undang-undang tidak dapat dipandang sebagai kepastian yang hakiki, akan tetapi tidak lain dari kepastian akan peraturan belaka. Undang- undang dibuat untuk menjaga nilai-nilai keadilan dan

kemanfaatan, akan tetapi dalam waktu tertentu nilai kepastian dapat dikorbankan demi mencapai tujuan keadilan, begitu juga nilai kemanfaatan.[178]

Sungguh suatu ironi, apabila demi menjaga suatu kepastian hukum, nilai keadilan harus dikorbankan. Hukum dengan berbagai pranatanya dibuat untuk memaslahatkan umat manusia dan perlindungan terhadap hak-hak fundamental manusia pula. Dengan demikian nilai daya guna hendaknya menjadi perhatian dalam setiap upaya penegakan hukum/law enforcement.

Lembaga peradilan hendaklah dilihat dalam bingkai yang lebih luas sebagaimana disebutkan pada harapan di atas. Sebagai bagian integral dari sistem dan proses sosial, maka independensi peradilan tidak dapat dimaknai sebagai sebuah institusi yang terlepas sama sekali dari keseluruhan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi dasar berdirinya institusi lain di masyarakat. Bahkan secara posisional, peradilan harus menjadi pondasi dan ruh yang memberikan motivasi dari tegaknya supremasi hukum dan keadilan di semua lini aspek kehidupan birokrasi dan sistem sosial masyarakat.[179]

Penerapan prosedur peradilan secara adil dan proporsional, adalah awal menuju pencapaian keadilan dalam proses yang benar sebagai manifestasi aspek kepastian hukum yang menjamin terwujudnya aspek keadilan.[180] Humanisasi dan nilai religius harus menjadi ruh dari penegakkan prinsip, asas, etika dan professionalisme bagi para aparatur penegak hukum. Nilai-nilai universal kemanusiaan sebagai subyek hukum yang harus diletakkan dalam kerangka normatif yang menjadi ideologi bagi tegaknya kewibawaan sebuah institusi hukum seperti; kepolisian, kejaksaan, pengadilan, asosiasi advokat dan lembaga pemasyarakatan.

PP. Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Sub-sistem yang Terkait

Istilah “criminal justice system” atau sistem peradilan pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.[181] Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian sistem peradilan pidana geraknya akan selalu mengalami interface; interaksi, interkoneksi, dan interdepedensi dengan lingkungannya dalam perangkat-perangkat masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologi, serta sub-sistem- sub-sistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri.[182] Sistem peradilan pidana di dalamnya terkandung gerak sistemik dari sub-sistem sub-sistem pendukungnya, yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan.

Secara fungsi dan tujuan sistem peradilan pidana harus di lihat pada sarana prasarana yang mendukung tegaknya sistem peradilan pidana itu sendiri dengan berupa ide-ide dan konsep serta gagasan dalam kerangka pengembangan sistem peradilan pidana yang integrativ dengan prinsip efektif dan efesien.[183] Sistem peradilan pidana mempunyai dua dimensi fungsional ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu (crime containment system). Di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan sekunder (secondary prevention), yakni mencoba mengurangi kriminalitas di kalangan mereka yang pernah melakukan tindak kejahatan dan mereka yang bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana.[184]

Samuel Walker, menegaskan bahwa paradigma yang dominan dalam sistem peradilan pidana di Amerika Serikat, adalah perspektif sistem dimana administrasi peradilan terdiri atas serangkaian upaya; meningkatkan efektifitas sistem penanggulangan kejahatan; mengembangkan koordinasi diantara pelbagi komponen peradilan pidana; dan mengawasi atau mengendalikan penggunaan kekuasaan oleh profesi penegak hukum. Model dari sistem peradilan pidana menurut pandangan Parcker yang dijelaskan pada pendekatan normativ dalam sistem peradilan pidana, yakni Crime Control Model, Due Process Model, and Familiy Model.

Nilai-nilai yang mendasari crime control model lebih memprioritaskan efisiensi dalam penegakan hukum yang memberikan porsi kewenangan yang lebih besar pada penguasa sehingga sering terjadi monopoli kekuasaan. Hal ini dapat berimplikasi terhadap hak-hak pelaku/tersangka pada proses peradilan, karena dasar pemikiran model sistem peradilan pidana ini menggunakan asas praduga bersalah “presumption of guilt” sebagai nilai dan mekanisme represif.[185] Lain hal-nya dengan due process model yang lebih bersifat preventif. Karena model ini beranggapan bahwa menempatkan setiap individu secara utuh dan utama di dalam proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang formal merupakan tujuan khusus due process model, setidaknya melindungi mereka yang secara faktual tidak bersalah (factual innocent).

Pada familiy model suatu sistem nilai yang lebih dikedepankan pada harmonisasi dalam penanggulangan kejahatan. Memperhatikan pelaku kejahatan sebagai orang yang mempunyai martabat dan tidak diasingkan. Bentuk sanksi dalam model ini bukan sebagai penghukuman melainkan sebagai sarana mendidik.[186]

Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana di atas tentunya memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem peradilan pidana merupakan konstruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi manusia[187] yang saling berkaitan dalam membangun realitas peradilan yang mereka ciptakan. Melalui proses interaksi sosial tersebut, maka dalam membangun realitas peradilan kita harus ada internalisasi konsep keseimbangan kepentingan yang dalam pembentukannya terus menerus mengalami proses dialektika yang merupakan representasi rasa keadilan masyarakat.

Hal ini dijelaskan oleh Muladi; sistem peradilan pidana yang tepat untuk Indonesia adalah model yang mengacu pada ”daad-dader strafrecht” yang disebut dengan model keseimbangan kepentingan; yakni model yang realistis dalam memperhatikan pelbagi kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yakni; kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan.[188]

Sementara itu, paradigma sistem peradilan pidana yang diungkapkan oleh Muladi yang bermuara pada model keseimbangan kepentingan yang sifatnya sangat dinamis terhadap proses dialektika peradilan. Model ini, yang semestinya menekankan terhadap representasi pelbagi kepentingan memang tidak mudah dapat diterapkan pada realitas hukum tertentu. Seperti yang kita ketahui dinamika yang akan dihadapi ketika melakukan aktualisasi penegakan hukum selalu akan melibatkan para pihak berdasarkan tingat resistensi persoalan. Senyatanya hal ini menggambarkan nilai realistis yang ditawarkan oleh model keseimbangan kepentingan akan mengalami keterlibatan mekanisme yang pada akhirnya terhenti kepada nilai keadilan. Akan tetapi perwujudan nilai keadilan itu yang menjadi tujuan bersama, apakah berjalan berdasarkan tingkat toleransi atas prosedur hukum yang benar, dan tentunya sejalan dengan presepsi rasa keadilan masyarakat.

Paling tidak model yang ditawarkan oleh Muladi ini lebih mendekati pada mekanisme sistem peradilan pidana yang sepenuhnya mengedepankan keterlibatan representasi kepentingan demi terwujudnya cita hukum yang hakiki. Yang menyerahkan sepenuhnya kepada komponen yang terlibat dalam membentuk sistem hukum yang terintegrasi kearah nilai keadilan yang di cita-cita kan. Dengan kata lain, sistem hukum tersebut mempengaruhi cara kerja sistem peradilan pidana secara keseluruhan.

Keterlibatan sistem hukum itu dijelaskan oleh Lawrence M. Friedman, yang memiliki beberapa komponen dalam sebuah sistem hukum yang beroperasi, menurutnya; komponen pertama, adalah komponen struktural, yaitu bagian-bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme. Profesi penegak hukum; Polisi, Jaksa, Hakim, Advokad dan Petugas LP, serta badan pembuat undang-undang. Bentuk komponen ini adalah representasi dari kepentingan negara untuk menjalankan tugas dan fungsinya menjaga kedaulatan hukum suatu negara. Komponen kedua, adalah komponen subtansi, yaitu produk hukum yang berupa peraturan perundang-undangan baik itu yang tertulis maupun tidak tertulis yang diakui oleh sebagai dasar hukum negara dalam menjalankan proses penegakan hukum. Setidaknya inilah komponen yang paling menentukan dalam mewujudkan karakteristik hukum suatu negara, karena hal ini terkait pada tafsir penegak hukum melakukan penerapan aturan terhadap perkara yang dihadapi. Dalam komponen kedua ini, lebih dekat menyangkut pada kepentingan umum, kepentingan korban dan pelaku kejahatan. Pandangan ketiga ada pada komponen kultur hukum (legal culture), yaitu sikap publik dan nilai-nilai pada masyarakat yang akan menentukan sistem peradilan pidana berjalan pada prinsip due process of law apa tidak.[189]

QQ. Etika (Moral) dan Idealisme Profesi Penegak Hukum

Hampir setiap saat kita disuguhi dengan berbagai cerita atau berita mengenai praktik peradilan yang tidak memuaskan “mafia peradilan” dan proses penegakan hukum yang melibatkan penegak hukum menjadi penghambatnya. Kepercayaan terhadap hukum makin menurun sebagai akibat buruknya kinerja hukum, misalnya kasus fenomenal terjadi baru-baru ini yang melibatkan Irawady Joenoes sebagai seorang pemimpin Komisi Yudisial, ia tertangkap basah menerima uang Rp 600 juta dan 30.000 dollar AS, transaksi serah terima uang itu dilaksanakan dirumah salah satu kerabat Irawady. Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga yang diberi mandat konstitusional untuk menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan prilaku hakim sehingga martabat mereka tetap terjaga. Konon selama berpuluh-puluh tahun sebagai jaksa, Irawady dikenal tidak pernah bermasalah.[190] Peristiwa itu tentu menjadi iklan amat buruk bagi bangsa ini yang sedang mengkampanyekan pemberantasan korupsi.

Pada dasarnya terjadinya peristiwa tersebut sebagai akibat dari terjadinya gradasi moral, menurunnya etika[191] dalam hidup bermasyarakat. Etika atau moral yang selama ini menjadi dasar terbentuknya hukum. Jika, etika atau moral menjadi buruk, maka akan berakibat pada prilaku-prilaku penyimpangan terhadap hukum, baik prilaku perorangan, kelompok, maupun pejabat negara (termasuk profesi penegak hukum).

Makin menguatnya orientasi kejahatan yang terjadi, menggambarkan bahwa bangsa ini dalam keadaan sakit, baik itu kejahatan konvensional/biasa maupun kejahatan luar biasa. Ironisnya lagi, terkadang kejahatan tersebut dilakukan oleh intelektual-intelektual bangsa, yang sulit di jerat oleh hukum, disamping adanya konspirasi antara pelaku dengan penegak-penegak hukum (yang dianggab publik tidak bermoral) yang mengambil keuntungan dalam proses terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut. Hukum tertulis yang ada seakan-akan tidak memiliki fungsi tepat guna, melainkan hanya dijadikan kekuatan dalam melakukan perdagangan gelap peradilan.

Demikian juga kode etik profesi yang berkembang, juga tidak berdaya memaksa untuk diterapkan oleh lembaga-lembaga yang bersangkutan. Kode etik profesi tersebut sebenarnya sangat membantu dalam melakukan penegakan hukum, akan tetapi dalam kenyataannya[192] hampir setiap profesi kurang begitu menerapkan kode etik yang telah mereka sepakati, sehingga tak hayal, timbulnya kejahatan-kejahatan yang melibatkan profesi-profesi tertentu dengan mudah dapat menodai kode etik kelembagaannya.

Pada dasarnya kode etik profesi yang disusun telah menentukan standardisasi kewajiban anggota kelompok profesi tertentu. Oleh karena itu pemerintah atau anggota masyarakat tidak perlu campur tangan untuk menentukan bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan kewajiban profesionalnya. Untuk itu kode etik yang disusun pada dasarnya adalah norma perilaku yang sudah dianggap benar atau sudah mapan dan tentunya akan lebih efektif apabila norma perilaku tersebut dirumuskan sedemikian baiknya, sehingga memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan.

Kode etik profesi penegak hukum, seperti; kode etik kehormatan hakim, kode etik advokad, kode etik kepolisian, serta kode etik jaksa yang merupakan kristalisasi perilaku yang dianggap benar menurut pendapat umum karena berdasarkan pertimbangan profesi penegak hukum yang bersangkutan. Dengan demikian kode etik dapat mencegah kesalahpahaman dan konflik, dan sebaliknya berguna sebagai bahan refleksi nama baik profesi penegak hukum. Kode etik profesi yang baik adalah mencerminkan nilai moral dan idealisme anggota kelompok profesi penegak hukum itu sendiri dan pihak yang membutuhkan pelayanan profesi yang bersangkutan.[193]

Dalam kegiatan apapun etik atau moral seharusnya sangat dijunjung tinggi, oleh karena itu, ada pendapat bahwa etika perofesional hanya memiliki pertanggungjawaban moral belaka tanpa sanksi yang tegas, sehingga ada kesulitan untuk memberikan sanksi kepada pelaku. Disamping itu, pelanggaran kode etik hanya dipandang sebagai tindakan yang melanggar wibawa atas nama korps/kelembagaan, dan tidak jarang tindakan ini hanya dicela dengan sanksi administratif saja. Untuk itu perlu adanya aturan-aturan hukum tertulis yang mengimbangi, dengan kata lain keduanya saling melengkapi.

RR. Membangun Pengawasan Partisipatif Menuju Independensi Lembaga Peradilan

Lembaga peradilan yang dimanifestasikan dalam prilaku disfungsional, yakni: seringkali penegak hukum bertindak sewenang-wenang dalam menegakkan hukum dan keadilan melalui lembaga peradilan. Berbagai cara tindakan yang dilakukan seperti; unsur paksaan, terjadinya konspirasi yang subyektif dan tidak sehat antara penegak hukum dengan pihak yang berperkara, sikap takut kepada atasan yang tidak berdasar, seringkali bersikap tidak sopan dalam melayani masyarakat, melakukan praktek diskriminasi terhadap pelayanan administrasi peradilan, pola pikir yang legalistik-formalistik sehingga tidak kreatif dan dinamis dalam mengikuti perkembangan nilai keadilan, semua itu adalah gambaran sekilas betapa di dalam lembaga peradilan kita telah terjadi patologi terhadap fungsi dan tugas kewenangan lembaga peradilan.[194]

Dari gambaran singkat di atas, perlu adanya upaya pengawasan[195] partisipatif terhadap kinerja aparat penegak hukum yang mengemban dan menjalankan profesi hukum sangat penting untuk dilakukan. Karena dari pundak mereka sesungguhnya doktrin supremasi hukum dan keadilan dapat kita harapkan terwujud. Pembangunan hukum disadari adalah merupakan pekerjaan yang mempunyai tujuan sama dengan membangun karakter suatu bangsa. Jika pembangunan hukum gagal, maka akan gagal pula pembangunan karakter bangsa.

Membangun kesadaran hukum, merupakan upaya partisipatif bagi tegaknya hukum dan keadilan. Kesadaran hukum akan memberikan motivasi bagi warga masyarakat maupun penegak hukum untuk secara suka rela membangun lembaga peradilan yang bersih dan jujur. Sehingga akan tegaknya independensi lembaga peradilan secara menyeluruh dan tidak hanya terbatas pada salah satu bagian dari lembaga peradilan tertentu. Akan tetapi, independensi itu harus pula tersebar kepada keseluruhan bagian atau komponen-komponen yang dimiliki oleh lembaga peradilan. Oleh karena itu menurut Rusli Muhammad, independensi lembaga peradilan tidak sekedar pada tingkatan prosesnya, melainkan juga menyentuh pada dataran organisasi, administrasi, keuangan, dan personilnya.[196]

Untuk membangun pengawasan partisipatif terhadap lembaga peradilan dapat dilakukan dengan dua hal; yakni dengan mekanisme pengawasan internal yang dilakukan oleh perangkat-perangkat dalam organisasi yang berfungsi pengawasan, dalam hal ini, pengawasan dilakukan lembaga yang secara organisatoris berada lebih tinggi dalam kedudukannya. Dalam mekanisme pengawasan internal yang dikhususkan melakukan kontrol terhadap lembaga peradilan secara tekhnis berada di bawah Mahkamah Agung, dan selanjutnya mengenai putusan-putusan peradilan yang kontroversial yang melibatkan profesi hakim mengambil keputusan salah, maka Komisi Yudisial yang mempunyai kewenangan melakukan fungsi pengawasan dan penjatuhan sanksi terhadap profesi hakim. Pengawasan internal ini sering juga disebut pengawasan melekat.

Berikutnya dengan mekanisme pengawasan eksternal terkait dengan kesadaran hukum masyarakat, pengawasan dilakukan oleh organ-organ dengan fungsi kontrol yang kedudukannya terlepas dari organisasi lembaga peradilan secara internal. Pengawasan eksternal terhimpun atas dasar gelombang ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan yang tidak independent terhadap proses jalannya peradilan.[197] Maka, sudah selayaknya mekanisme ini dilakukan secara bersama-sama antara lain; kontrol dari lembaga hukum dan peradilan, komisi yang menampung pengaduan-pengaduan aspirasi dari publik, media massa yang menyuarakan patologi lembaga peradilan yang disfungsional, serta tekanan yang membangun dari beberapa kelompok yang peduli terhadap independensi lembaga peradilan.

Tindakan pengawasan partisipatif ini akan mengerucut kepada hubungan antara peradilan dan publik (masyarakat) yang dicirikan terbangunnya basis “kepercayaan”. Masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai unsur penekan/gerakan kritik, tetapi sekaligus melakukan pola komunikasi konstruktif. Terbukanya komunikasi masyarakat dengan peradilan merupakan satu elemen penting bagi pembentukan hak kontrol. Masyarakat akan melihat, menilai dan mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Disamping itu, peradilan akan dapat memahami perkembangan seluruh komponen sistemnya dan pencapaian akuntabilitas lembaga peradilan[198] merupakan sebuah keharusan.

SS. Reformasi Peradilan Pidana Sebagai Upaya Penegakan Hukum

Negara hukum, yang menempatkan hukum berada pada kasta tertinggi dengan pilar-pilar yang menyanggah negara hukum, menuju pada supremasi hukum dan keadilan. Sementara itu di lain pihak upaya pembaharuan hukum (law reform) tidak banyak dan tidak mampu mengisi serta menempati ruang publik dalam konteks politik hukum yang mempunyai paradigma keadilan dengan tetap mengedepankan asas kepastian hukum. Akan tetapi, ruang publik yang kosong tersebut justru menjadi rebutan para politisi hukum, yang menjadikan proses dan fungsi legislasi dalam konteks pembaharuan hukum (law reform) sebagai “mata pencaharian” dan bukan panggilan nurani keadilan untuk mengemban amanah aspirasi rasa keadilan masyarakat.[199]

Pembaharuan hukum yang menjadi bagian integral dari semangat dan motivasi reformasi hukum, mengantarkan bagaimana, hal ini terkonsentrasi terhadap tercapainya perwujudan supremasi hukum yang berkeadilan. Esensi supremasi hukum adalah prinsip penegakkan hukum dalam semua dimensi dapat secara tegak dan proporsional.[200] Untuk menuju terwujudnya penegakan hukum secara proporsional yang dimaksud, sangat diperlukan media dan perangkat lembaga peradilan yang responsif.

Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat hanya dilihat sebagaimana tertera dalam perundang-undangan saja, akan tetapi hendaklah dilihat dari persepektif yang lebih luas, penegakan hukum hendaklah dipahami sebagai kegiatan yang dilakukan oleh institusi hukum dalam keseluruhan kerangka sosial yang lebih besar. Kemudian, sistem peradilan pidana hendaklah dipandang sebagai bagian dari sistem yang lebih besar yakni sistem sosial yang lebih rumit dan unik. Konsekuensinya, sub-sub sistem peradilan itu akan menentukan sendiri hukum dalam bidang dan tugasnya masing-masing dalam mengejar tujuannya. Penegakan hukum tidak lagi dilihat sebagai penegakan undang-undang saja secara normatif, akan tetapi sebagai proses sosial yang melibatkan lingkungannya.[201]

Pada umumnya reformasi peradilan pidana tidak pernah berproses di ruang hampa, akan tetapi selalu terkorelasi dengan variabel-variabel lain, seperti ideologi hukum, karakter hukum formal (acara), kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Juga tidak terlepas dari ideologi penegak hukum, dan tersedianya fasilitas bantuan hukum serta tingkat pendidikan dan kesadaran hukum masyarakat. Terkait dengan itu, reformasi peradilan pidana dekat sekali hubungannya dengan kebijakan hukum secara holistik. Kebijakan ini, harus juga dipahami menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial.[202] Dalam perspektif ini, hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar keadilan prosedural, hukum yang baik harus juga berkompeten dan juga adil; hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan subtantif. Paling tidak semangat reformasi peradilan pidana dapat dilakukan antara lain melalui;

Ø Berkaitan dengan tetap menjaga independensi lembaga peradilan yang nota bene sebagai lembaga pemegang dan pelaksana kekuasaan kehakiman dari faktor-faktor eksternal seperti pengaruh yang tidak positif kekuasaan eksekutif terhadap lembaga peradilan

Ø Perlu adanya perbaikan tingkat kesejahteraan berbagai komponen lembaga peradilan. Khususnya peningkatan gaji dan fasilitas profesi penegak hukum lembaga peradilan.

Ø Harus adanya pembaharuan hukum, yakni mengenai ketentuan tentang jaminan profesi berupa immunitas atau perlindungan bagi para hakim ketika menjalankan profesinya.[203]

Ø Dalam sistem peradilan pidana, hakim dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya, harus mampu secara cepat, cermat dan tepat, terhadap perkembangan dan dinamisasi nilai-nilai yang membingkai dan menjadi kerangka normatif, baik itu aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, pertahanan, ketertiban, keamanan dan aspek sosiologis kehidupan masyarakat, baik dalam skala lokal, regional maupun global. Tingkat apresiasi dan wujud ekspresi hakim dalam melakukan respon tersebut harus menjadi dasar dan kerangka pemikiran, sebelum hakim membuat keputusan terhadap kasus yang diperiksa, diadili dan diputus.[204]

Ø Melakukan pembaharuan sistem pembinaan sumber daya manusia lembaga peradilan.[205]

Ø Pembaruan sistem informasi, dilakukan secara teknologis dengan memasukkan semua putusan pengadilan dalam “data base”, sehingga para pihak yang berperkara dengan mudah mendapatkan informasi mengenai perkaranya.[206]

Ø Pengawasan terhadap lembaga peradilan dilakukan dengan mekanisme pengawasan internal dan mekanisme pengawasan eksternal.[207]

Ø Melakukan pembaruan administrasi publik terhadap lembaga peradilan, yang efesien dan efektif dalam penyelenggaraan pelayanan kepada publik. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan prinsip transparansi dan partisipasi serta prinsip efesiensi biaya.[208]

Dari beberapa uraian penjelasan di atas, maka perwujudan reformasi peradilan pidana adalah sebuah keharusan, untuk menyatukan kembali harapan publik dalam mencari keadilan; serta sebagai agenda kebijakan hukum responsif yang perlu mendapat perhatian dalam melakukan revitalisasi terhadap lembaga peradilan itu sendiri.

TT. Simpulan

Ada yang beranggapan lembaga peradilan berpusat pada dua masalah pokok yang selama ini selalu menjadi perdebatan, yakni masalah personil dan sistem dari lembaga peradilan itu sendiri. Persoalan sumber daya manusia (personil) yang tidak baik merupakan faktor terlahirnya sistem yang tidak baik juga, sebaliknya persoalan sistem yang tidak baik, juga berperan membuat sumber daya manusianya tidak dapat bekerja secara efektif dan produktif. Barangkali tidak perlu mempertentangkan kedua anggapan persoalan tersebut, dan alangkah lebih bijaksana jika kita tetap menempatkan kedua persoalan tersebut sebagai masalah pokok yang tidak bisa dipisahkan apalagi dipertentangkan.[209]

Dengan demikian reformasi peradilan pidana juga harus diikuti dengan melakukan revitalisasi terhadap masalah di atas yang menjadi persoalan narasi besar dalam sistem peradilan pidana kita saat ini. Upaya yang dapat dilakukan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan kesadaran, moral, peran dan tanggung jawab, serta peningkatan kemandirian lembaga peradilan.

Munawir, S.H.

Direktur Bidang Hukum dan Masyarakat

Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

Referensi

Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Milenium Ketiga, In TRANS Publishing STIH, Malang, 2007.

Anthon F. Susanto, Wajah Peradilan Kita, Refika Aditama, Bandung, 2004.

Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007.

Artidjo Alkostar, Reformasi Sistem Peradilan Pidana Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Selengkapnya lihat di http://www.legalitas.org/cetak/htm, 28/10/2007/10.25.

Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, FH UII Press, Yogyakarta, 2005.

Firdaus Arifin, Modernisasi Sistem Peradilan Pidana, Selengkapnya lihat di http://www.legalitas.org/cetak/htm, 28/10/2007/11.15.

Jhon Rawls, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

Joni Emirzon, Etika Profesi Dan Pertanggungjawaban Perdata Jasa Penilai Aset Dalam Kegiatan Bisnis Di Indonesia, Makalah, PDIH, 04 Oktober 2005.

Muhammad Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2004.

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, 2007.

Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, RajaGrafindo Persada, Bandung, 2006.

Rusli Muhammad, Lihat Diktat Kuliah: Sistem Peradilan Pidana, Program Pascasarjana Magister Ilmu hukum FH-UII, Yogyakarta tanggal 15 September 2007.

Ruti G. Teitel, Keadilan Transisional, Sebuah Tinjauan Komprehensif, ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2004.

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta, 2007.

Sholeh So’an, Moral Penegak Hukum di Indonesia, Agung Ilmu, Bandung, 2004.

Sidik Sunaryo, Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, 2005.

KOMPAS, 07 Desember 2007.

KOMPAS, 26 September 2007.

TEMPO, Edisi No.2340, 17 Desember 2007.

REFORMASI KEBIJAKAN PERTANAHAN

DALAM PERSPEKTIF HAK EKONOMI DAN SOSIAL

(SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM)


UU. Pendahuluan

hukum bukan semata-mata hanya rule and logic, akan tetapi social structure and behavior”, artinya, hukum tidak bisa hanya dipahami secara sempit, dalam perspektif aturan-aturan dan logika, akan tetapi juga melibatkan struktur sosial dan prilaku” (Donald Black).[210]

Berangkat dari dasar pemikiran Donald Black, yang mengetengahkan bahwa hukum bukanlah suatu institusi yang statis, ia akan selalu mengalami perkembangan. Kita lihat bahwa hukum itu berubah dari waktu ke waktu. Konsep hukum, seperti “rule of law” sekarang ini juga tidak muncul dengan tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan hasil dari suatu perkembangan tersendiri. Apabila disini dikatakan hukum bukan hanya semata-mata sekumpulan aturan-aturan dan logika, akan tetapi juga melibatkan struktur sosial dan prilaku, maka yang dimaksud dalam konteks ini ialah, bahwa ada hubungan timbal balik yang erat antara hukum dan masyarakat.[211]

Pada ranah yang lebih konkrit lagi, bahwa pembicaraan mengenai hukum dengan struktur masyarakat pada suatu waktu tertentu bermanfaat besar untuk menjelaskan dinamika yang terjadi pada pelapisan sosial masyarakat. Seperti halnya topik yang dihadapkan penulis pada kesempatan ini, yaitu sampai sejauhmana kebijakan pertanahan di Indonesia secara sosiologis dapat mendatangkan kemanfaatan sosial bagi masyarakat.

Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Penegasan lebih lanjut tentang hal itu diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).[212] Sesuai dengan sifatnya yang multidimensi dan sarat dengan persoalan keadilan, permasalahan tentang dan sekitar tanah seakan tidak pernah surut. Seiring dengan hal itu, gagasan atau pemikiran tentang pertanahan juga terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat sebagai dampak dari perkembangan di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya.

Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.[213]

Sebagai karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara, dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa Indonesia sehingga perlu campur tangan negara turut mengaturnya. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusional sebagaimana tercantum pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi:

“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Tanah sebagai bagian permukaan bumi, mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai tempat atau ruang untuk kehidupan dengan segala kegiatannya, sebagai sumber kehidupan, bahkan sebagai suatu bangsa, tanah merupakan unsur wilayah dalam kedaulatan negara. Oleh karena itu tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai hubungan abadi dan bersifat magis religius, yang harus dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik.

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tanah telah menjadi salah satu bagian dari pembangunan hukum yang menarik. Hal ini terutama karena sumberdaya tanah langsung menyentuh kebutuhan hidup dan kehidupan manusia dalam segala lapisan masyarakat, baik sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai suatu bangsa.

Dalam optik sosologi hukum, tanah merupakan sebagai bagian dari objek sosial yang mendasar bagi terbentuknya kebijakan pertanahan. Seperti apa yang dikatakan Emile Durkheim, sebagai seseorang sosiolog dengan lebih sederhana ia melakukan pencarian “apa yang mengikat masyarakat itu?”. Dari sinilah berkembang perhatiannya terhadap seluk beluk dan hakikat suatu tatanan (order) sosial. Dengan melihat kenyataan yang diamati dari dinamika struktur sosial masyarakat, maka Durkheim sampai kepada hukum sebagai suatu kenyataan dalam terbangunnya suatu tatanan masyarakat yang dapat meletakkan solidaritas sosial secara fundamental. Manifestasi nyata dari solidaritas tercermin ke dalam hukum, yaitu sebagai lambang yang dapat diamati dan diukur bagi solidaritas sosial.[214]

UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang diterbitkan dalam rangka mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, merupakan kenyataan hukum dalam menjelaskan tujuan dari tanah sebagai social asset dan capital asset. Sebagai undang-undang nasional pertama yang dihasilkan 15 (lima belas) tahun setelah kemerdekaan RI, ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal UUPA merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila.[215]

Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang semula berciri populis, kemudian sekarang berkembang ke arah pada kebijakan yang cenderung pro-kapital yang terjadi karena pilihan orientasi kebijakan ekonomi; yang pada suatu saat lebih cenderung menekankan pada pemerataan dan kemudian bergeser ke arah pertumbuhan ekonomi, terutama sejak tahun 1970-an.[216]

Pada awal berlakunya UUPA sudah mulai terasa adanya gejala ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah. Perbandingan antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya alam yang langka di satu sisi, dan pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai pemenuhan kebutuhannya akan tanah di sisi lain, tidak mudah dicari titik temunya. Dengan perkataan lain, akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia itu belum dapat dinikmati oleh setiap orang disebabkan antara lain karena perbedaan dalam akses modal dan akses politik.

Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana sebenarnya makna “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” yang menjadi landasan UUPA itu dipahami dan diterjemahkan secara benar dalam berbagai kebijakan yang mendukung atau relevan dengan bidang pertanahan. Tampaknya pilihan tepat adalah melakukan refleksi terhadap hal-hal yang mendasar daripada sekedar mendata kekurangan peraturan pelaksanaan UUPA yang memang dianggap penting. Tetapi lebih dari itu diperlukan pemikiran yang tidak berhenti pada kuantitas peraturan yang masih diperlukan, namun terlebih pada kualitas kebijakan yang dihasilkan.

Kiranya hal inilah secara sosiologis, akan tampak semakin rumit dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas. Kesadaran akan arti pentingnya melakukan reformasi di berbagai bidang dalam upaya untuk mencari jalan keluar dari krisis ekonomi, maupun sengketa tanah secara horizontal yang mulai dirasakan akhir tahun 1977, telah mendorong pemikiran kearah reformasi kebijakan di bidang pertanahan.[217] Perkembangan yang dinamis tersebut, dikehendaki atau tidak, mendorong kearah perlunya pemikiran yang konseptual dalam rangka mengisi dan mengantisipasi perkembangan hukum tanah secara bertanggung jawab.

VV. Liberalisasi Kebijakan Pertanahan; Dinamika Pedesaan Sampai Perkotaan

Liberalisasi ekonomi[218] yang diartikan sebagai sistem perekonomian yang lebih mengarah pada mekanisme pasar merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi. Saat ini yang diperlukan adalah antisipasi terhadap dampak keterbukaan ini, terutama dengan hadirnya berbagai investasi yang mau tidak mau harus memanfaatkan tanah yang merupakan sumberdaya alam yang langka, terutama berkaitan dengan hak/kemudahan yang diberikan, tanpa mengakibatkan kerugian terhadap rakyat.

Intensitas pembangunan yang menuntut penyediaan tanah yang relatif luas untuk berbagai keperluan (pemukiman, industri, dan berbagai prasarana) memaksa alih fungsi tanah pertanian, terutama di daerah pinggiran, menjadi tanah non-pertanian dengan segala konsekuensinya. Perkembangan yang terjadi tersebut boleh dikatakan hampir tidak menyentuh pola kehidupan petani penggarap yang semakin sulit untuk menghindarkan diri dari keterpaksaan melepaskan tanahnya, karena praktik perijinan yang memungkinkan alih fungsi tanah beradasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah Tingkat II yang karena alasan kepentingan pembangunan mengarahkan alih fungsi tanah tersebut.

Secara sederhana konsekuensinya adalah bahwa Pemerintah berkewajiban menyediakan tanah yang diperlukan, baik untuk investasi maupun keperluan pembangunan lainnya, sedangkan tanah harus diambil dari rakyat karena tanah negara dapat dikatakan sudah sulit untuk dijumpai. Akibat selanjutnya adalah, bahwa tanpa intervensi dari Pemerintah, akses rakyat terhadap tanah baik di perdesaaan maupun di perkotaan, menjadi semakin berkurang.

Sementara itu dikalangan rakyat petani masih dapat dilihat kesenjangan antara mereka yang memiliki tanah kurang dari dua hektar dibandingkan dengan mereka yang memiliki tanah seluas dua hektar atau lebih.[219] Pemilikan tanah dalam batas minimum itu pun masih dimungkinkan untuk dipecah menjadi bagian yang lebih kecil secara warisan. Hubungan hukum yang terjadi yang berkenaan dengan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian pada umumnya dilakukan melalui lembaga gadai tanah, bagi hasil, atau penyakapan. Walaupun ketentuan tentang gadai dan bagi hasil telah diterbitkan seusia UUPA, namun hubungan hukum yang terjadi pada umumnya mendasarkan pada norma-norma hukum setempat yang tidak tertulis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terhadap hubungan hukum tersebut masih diperparah dengan gejala pemilikan tanah secara guntai (absentee), dan kadang-kadang disertai dengan pelanggaran batas maksimum, yang dalam kenyataannya justru memberikan akses terhadap mereka yang dari segi kehidupannya tidak tergantung pada usaha pertanian.[220]

Ketimpangan serta ketidakadilan yang dapat terjadi karena kurang berfungsinya secara efektif ketentuan hukum yang ada atau yang dilakukan melalui penyelundupan hukum itu menimbulkan pertanyaan: apakah tidak sejogjanya berbagai ketentuan yang ada tersebut ditinjau kembali untuk dilihat relevansinya dengan perkembangaan keadaan dan disempurnakan sebagaimana mestinya? Disamping itu tentu diperlukan upaya untuk menegakkan peraturan yang ada secara konsekuen dan konsisten.

Sebagai perbandingan, konservasi tanah pertanian di Filipina dilakukan melalui upaya Departemen Pertanian yang disebut Integrated Protected Area System (IPAS), yang bertujuan untuk melindungi tanah pertanian dan perubahan penggunaan yang kurang bertanggung jawab. Alih fungsi tanah pertanian hanya dapat dilakukan melalui keputusan melakukan relaksifikasi tanah oleh pemerintah daerah setelah melewati dengar pendapat yang intensif. Perubahan fungsi tanah pertanian tersebut berkisar antara lima persen sampai sepuluh persen dari keseluruhan tanah pertanian yang ada, tergantung dari kelas atau tingkatan perkotaan tersebut. Tanah pertanian hanya boleh dirubah fungsinya apabila tanah tersebut tidak sesuai lagi untuk usaha pertanian atau apabila nilai ekonomis yang diperoleh akan lebih besar jika tanah tersebut dipergunakan untuk pemukiman, perdagangan, atau industri sesuai dengan keputusan DPR setempat.[221]

Uraian di atas lebih difokuskan pada situasi tekanan terhadap persediaan tanah pertanian, utamanya di pulai Jawa namun, kondisi di luar Jawa pun ternyata sudah memerlukan perhatian yang seksama. Sebagai contoh, di daerah Kalimantan barat yang di dominasi wilayah hutan, distribusi penguasaannya (HPH, HTI, perkebunan, transmigrasi, dan lain-lain) seringkali berakibat pada pengurangan akses masyarakat setempat terhadap tanah. Mengingat bahwa agro-industri diwilayah tersebut menjanjikan prospek yang cerah, kepentingan dan akses masyarakat setempat terhadap tanah perlu mendapatkan perlindungan agar tidak terdesak sama sekali. Hanya dengan pemahaman yang arif terhadap struktur masyarakat setempat, dan bagaimana kelembagaan yang ada berfungsi dalam masyarakat tersebut dengan hubungannya satu sama lain, serta memahami presepsi dan ekspektasi mereka terhadap hak atas tanahnya kebijaksanaan terhadap pendistribusian tanah tidak akan merugikan masyarakat setempat.[222]

Disamping itu, distribusi tanah di perkotaan bukannya tidak mengalami masalah yang delematis. Salah satu contohnya kelemahan dalam penerapan manajemen tanah perkotaan tampak dari meningkatnya harga tanah yang mendorong timbulnya spekulasi, kelangkaan pengembangan tanah perkotaan untuk pemukiman, serta menjamurnya pemukiman liar. Pada umumnya, tanah perkotaan itu diperoleh melalui proses alih fungsi tanah pertanian, baik yang dilakukan Pemerintah maupun pidak swasta. Tersedianya sistem informasi pertanahan yang handal sangat diperlukan untuk mendorong manajemen pertanahan yang efesien dalam arti penggunaan tanah secara optimal.

Tidak jauh berbeda dengan akses tanah dipedesaan, di perkotaanpun akses rakyat jelata terhadap sebidang tanah untuk perumahan boleh dikatakan sangat sulit, namun di sisi lain terdapat badan hukum atau perorangan yag menguasai tanah perkotaan secara berlebihan dengan maksud investasi atau spekulasi. Walaupun sudah diisyaratkan UU 56/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian bahwa mengenai batas maksimum tanah perkotaaan akan diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah (PP), namun PP termaksud sampai saat ini belum kunjung terbit.[223]

Distribusi penguasaan tanah yang timpang telah menunjukkan dampak yang merugikan. Penguasaan tanah untuk industri dan pemukiman yang berskala besar telah memaksa alih fungsi tanah pertanian dengan segala konsekuensinya. Apakah dengan sendirinya penguasaan tanah secara besar-besaran itu harus dihentikan? Kiranya yang diperlukan dalam hal ini adalah sikap tegas dalam menegakkan kebijakan yang korektif, dalam arti kemampuan untuk pengendaliannya. Sudah saatnya pula Pemerintah meningkatkan berbagai upaya intervensi melalui kebijakan fiskal, penatagunaan tanah, pembentukan lembaga yang berfungsi sebagai Bank Tanah serta upaya lain. Dalam upaya pengendalian harga tanah karena harga tanah jelas berdampak pada akses seseorang tehadap sebidang tanah.

Dengan memahami secara utuh hubungan suatu masyarakat dengan tanahnya, akan terbuka kesempatan untuk melakukan komunikasi yang efektif serta akan memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk semakin terbuka terhadap perubahan dengan hal-hal baru yang positif dan bermanfaat bagi mereka, bukan melalui cara-cara yang bersifat paksaan, tetapi dengan jalan mengakui keberadaan mereka dan menghormati hak-haknya. Dalam kaitan ini seyogyanya dipahami bahwa keharusan untuk mengeluarkan suatu wilayah (enclave) yang secara nyata telah dimiliki oleh suatu masyarakat hukum merupakan hal yang sewajarnya dilakukan untuk menghindarkan tumpang tindihnya penguasaan tanah.

Dengan demikian, maka sikap yang diperlukan dalam menghadapi liberalisasi ekonomi dan dampaknya pada distribusi penguasaan tanah adalah sikap terbuka terhadap perubahan, antisipatif dalam merancang peraturan yang diperlukan, tetapi selektif menerapkan konsep-konsep yang ada, dan mengingat bahwa hukum dilihat sebagai satu sistem maka perancangan peraturan perundang-undangan haruslah menunjukkan cara berfikir yang holistik sehingga tidak terjadi inkonsistensi antara peraturan perundang-undangan yang membawa akibat ketidakpastian hukum.

WW. Falsafah UUPA Terhadap Fungsi Sosial Hak atas Tanah

Memasuki abad ke-21, dalam usianya yang ke-36, falsafah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mendukungnya, dipertanyakan kembali. Setidaknya terdapat dua kelompok yang mewakili kecenderungan pemikiran yang berbeda terhadap orientasi kebijakan saat ini dan kebijakan yang akan dating. Penggunaan berbagai istilah, misalnya; reformasi, amandemen, ataupun revisi UUPA sesuai dengan defenisi masing-masing menyiratkan adanya keinginan untuk melihat kembali apakah falsafah UUPA masih relevan atau sudah saatnya ditinggalkan.

Sebagai landasan kebijakan pertanahan, falsafah UUPA yang dilandaskan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 ditujukan untuk tercapainya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat dalam kaitannya dengan perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya tanah. Perbedaan pendapat tentang relevansi falsafah UUPA yang didasarkan pada kenyataan empiris tampak semakin tajam seiring dengan kebijakan deregulasi menyongsong era industrialisasi yang antara lain ditujukan untuk semakin menarik investasi modal asing.

Kelompok populis melihat bahwa dalam perkembangannya, UUPA melalui berbagai kebijakan yang ada telah semakin kurang mampu mengayomi hak-hak masyarakat. Sementara disisi lain, UUPA itu makin memberikan peluang atau kemudahan kepada mereka yang mempunyai akses terhadap modal dan akses politik dengan segala dampaknya. Gejala ketidakadilan berupa berkurangnya tanah pertanian dengan disertai penggusuran, hilangnya mata pencaharian petani, terancamnya pulau jawa sebagai gudang beras bertambahnya para land refugee, unsur spekulasi dalam penguasaan tanah yang dilakukan oleh pengembang perumahan dan pengusaha kawasan industri hanyalah beberapa contoh yang menjadikan keprihatinan utama kelompok populis.[224]

Kenyataan empiris tersebut mendorong kelompok ini untuk mengupayakan peninjauan kembali berbagai kebijakan pertanahan yang berdampak terhadap ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Sebaliknya kelompok yang cenderung berfikiran kapitalis justru berpendapat bahwa UUPA kurang tanggap mengantisipasi arus penanaman modal asing, kurang mendorong daya saing, kurang terbuka dan ketinggalan jaman, serta kurang memberi kelonggaran terhadap penanaman modal asing dan oleh karena itu UUPA perlu di revisi.[225]

Dikotomi cara pandang terhadap UUPA sangat terkait erat pada implementasi fungsi sosial dan ekonomi hak atas tanah. Kecenderungan untuk memandang tanah lebih pada nilai ekonomisnya semata, yakni tanah sebagai barang dagangan yang tentunya lebih mudah dikuasai oleh mereka yang mempunyai kelebihan modal dan mengakibatkan ketimpangan distribusi penguasaan tanah karena perbedaan akses, jelas tidak sesuai dengan jiwa UUPA. Dasar pemikiran Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ketentuan tersebut mendasari sifat kebersamaan atau kemasyarakatan dari setiap hak atas tanah. Dengan fungsi sosial tersebut, hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang tidak dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemilik sekaligus bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut tidak berarti kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum masyarakat. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi hingga tercapainya tujuan pokok, yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

Konsep fungsi sosial hak atas tanah sejalan dengan hukum adat yang menyatakan bahwa tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat adalah tanah kepunyaan bersama seluruh warga masyarakat, yang dimanfaatkan untuk kepentingan bersama bagi warga masyarakat bersangkutan. Artinya kepentingan bersama dan kepentingan orang per orang harus saling terpenuhi dan penggunaannya dilakukan bersama-sama di bawah pimpinan penguasa adat. Untuk dapat memenuhi kebutuhan, setiap warga diberi kesempatan untuk membuka, menguasai, dan memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari tanah adapt (ulayat).[226] Dengan demikian, hak atas tanah menurut hukum adat bukan hanya berisi wewenang tetapi juga kewajiban untuk memanfaatkannya. Konsep pemilikan tanah menurut hukum adat tersebut kemudian direduksi dalam UUPA sebagai hukum tanah nasional.

Dengan demikian, tanah yang dimiliki oleh seseorang tidak hanya berfungsi bagi pemilik hak itu, tetapi juga bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sebagai konsekuensinya, penggunaan tanah tersebut tidak hanya berpedoman pada kepentingan pemegang hak, tetapi juga harus mengingat dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Dengan catatan menjalankan prinsip keseimbangan kepentingan. Untuk itu, perlu adanya perencanaan, peruntukan, dan penggunaan hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UUPA. Artinya dengan menggunakan tanah sesuai rencana yang telah ditetapkan oleh Pemerintah berarti fungsi sosial atas sesuatu hak atas tanah telah terpenuhi.

Lebih jauh dari pada itu, bahwa fungsi sosial hak atas tanah mewajibkan para pemegang hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, yakni keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Apabila kewajiban tersebut diabaikan akan mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Jika sesuatu hak atas tanah ditelantarkan maka haknya akan hapus dan tanahnya menjadi tanah negara. Berkaitan dengan fungsi sosial tersebut maka tanah tidak boleh dijadikan objek investasi semata-mata. Tanah yang dijadikan objek spekulasi, bertentangan dengan fungsi sosial karena akan menambah kesulitan dalam pelaksanaan pembangunan.[227]

XX. Hak Milik Atas Tanah Dalam Perspektif Sosiologi Hukum

Bersumber pada hukum adat sebagai sumber utama UUPA/Hukum Tanah Nasional, maka Hak Milik didefenisikan sebagai hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. Memahami lebih jauh hak milik atas tanah, perlu kita tinjau berbagai konsepsi hukum meliputi konsepsi hukum tanah adat, konsepsi hukum tanah barat dan konsepsi hukum tanah feodal serta konsepsi hukum tanah lainnya. Menurut hukum adat, hak milik atas tanah pada awalnya diperoleh dengan membuka tanah. Selanjutnya pemilikan tanah berkelanjutan dan dapat dijual belikan, diwariskan, dihibahkan, digadaikan dan sebagainya. Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia, mengedepankan keseimbangan antara “kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.[228]

Menurut Sumantri, bahwa berbeda dengan konsepsi hukum tanah Barat dasarnya adalah “Individualisme” dan “liberalisme”. Secara asali individualisme adalah merupakan suatu ajaran yang memberikan nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanyalah merupakan suatu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Di dalam sistem hukum Belanda hak perorangan tersebut dinamakan “Hak Eigendom” dimana Eigemnya dapat berbuat apa saja dengan tanah itu baik menjual, menggadaikan, menghibahkan, menggunakan atau menelantarkan, bahkan merusakknya asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain.[229]

Konsepsi komunis yang berkembang sejak pertengahan abad ke-19 melalui manifesto komunis oleh Karl Max dan Frederick Engels sangat berbeda dengan konsepsi individualisme liberal. Menurut konsepsi ini terjadinya kemelaratan sebagian besar rakyat karena hasil produksi tidak terbagi secara merata. Dan hal ini disebabkan karena tanah dan alat-alat produksi lain yang dimiliki orang perorangan. Dengan demikian maka tanah dan alat-alat produksi yang lain harus dimiliki bersama oleh rakyat supaya hasil produksi terbagi secara merata. Sedangkan dalam sistem hukum tanah yang berkonsepsi feodal, hak penguasaan yang tertinggi adalah “Hak Milik Raja”. Semua tanah di seluruh wilayah negara adalah milik raja. Tidak ada lagi penguasaan atas tanah yang setingkat hak milik, karena hak-hak penguasaan yang lain bersumber pada Hak Milik Raja dan mereka hanya pemakai/penggarap.[230]

Jelas kiranya bahwa hal-hal yang diajarkan dalam berbagai konsepsi tersebut tidak sesuai hukum adat/nilai-nilai budaya rakyat Indonesia yang mengedepankan keseimbangan. Hak milik atas tanah yang dianut dalam hukum tanah nasional menjamin keseimbangan kepentingan individu dan kebersamaan. Pengkajian berbagai faktor yang merupakan variabel penentu kepastian hukum dilakukan melalui studi pustaka maupun penelitian langsung guna menemukan realitas hukum dalam masyarakat.

Dilihat dari kajian sosiologi hukum[231] yang dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis realitas hukum dan konsistensi tujuan pendaftaran tanah. Belum lahirnya peraturan pemerintah tentang terjadinya hak milik menurut hukum adat dan Undang-undang tentang hak milik tanah, kajian dilakukan terhadap peraturan perundangan yang ada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UUPA. Kajian diarahkan terhadap variabel-variabel yang relevan meliputi landasan hukum, peraturan perundang-undangan, asas-asas pendaftaran tanah, kebijakan pertanahan, dan lain-lain (das sollen), dan selanjutnya dilakukan pengkajian variabel-variabel penentu lahirnya kepastian hukum dalam realitas masyarakat (das sein).

Sistem Pendaftaran Tanah Indonesia yang menganut stelsel negatif dengan tendensi positif, intinya adalah segala apa yang tercantum dalam buku tanah dan sertifikat, berlaku sebagai tanda bukti hak yang kuat sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar).[232]

Beberapa hal yang merupakan faktor penentu lahirnya kepastian hukum, dapat dikelompokkan ke dalam landasan Yuridis-Normatif, landasan sosioyuridis dan kebijakan pertanahan. Faktor-faktor tersebut secara formil maupun materiil mempunyai peranan yang sangat menentukan timbulnya kepastian hukum hak milik atas tanah yang telah memperoleh sertifikat. Hal ini sesuai dengan asas nemo plus juris yang mendasari sistem pendaftaran tanah Indonesia yang menganut stelsel negatif dengan tendensi positif, yaitu negara tidak menjamin kebenaran data yang diperoleh dari pemohon hak tanah dari data itu. Kebenaran hukum ditentukan oleh hakim dalam proses peradilan.[233]

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hak milik tanah yang sudah terdaftar dan memperoleh sertifikat telah mendapat jaminan kepastian hukum hak tanahnya. Kepastian hukum yang dimaksudkan meliputi kepastian hak, kepastian objek dan kepastian subjek serta proses administrasi penerbitan sertifikat. Hal ini jelas dinyatakan sebagai salah satu tujuan pendaftaran tanah di Indonesia yang bersifat rechts kadaster.

Perwujudan peradilan sosial dibidang pertanahan dapat dilihat dalam prinsip-prinsip dasar UUPA, yakni prinsip ‘negara menguasai’, prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua hak atas tanah, prinsip landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya pelestariannya, dan prinsip nasionalitas. Prinsip dasar ini kemudian dijabarkan dalam berbagai produk berupa peraturan perundang-undangan dan kebijakan lainnya. Dalam praktik dapat dijumpai berbagai peraturan yang bias terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat dan belum memberikan perhatian serupa kepada kelompok masyarakat yang lebih besar. Bila kita sepakat bahwa berbagai kebijakan pertanahan harus ditujukan bagi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, maka beberapa hal perlu diperhatikan.

Yang menjadi bagian awal ialah, prinsip-prinsip dasar UUPA tidaklah bersifat statis. Dinamika perkembangan selama 36 tahun menghendaki diadakannya interpretasi dan reinterpretasi terhadap prinsip-prinsip tersebut secara bertanggungjawab. Menghadapi perkembangan baru, kebijakan yang ditempuh haruslah dilaksanakan dengan tetap taat asas, yakni sesuai dengan konsepsi yang melandasinya, namun akomodatif terhadap perkembangan tersebut.[234]

Berkenaan dengan hak atas tanah masyarakat hukum adat, kearifan sangatlah diperlukan sejauhmana negara mengakui hak-hak tersebut disamping menekankan perlunya dipenuhi kewajiban yang melekat pada hak itu? Disamping prinsip-prinsip tersebut diatas, Pemerintah mempunyai komitmen untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang dipunyai oleh orang perseorangan atau badan hukum berupa upaya pendaftaran tanah dengan tujuan untuk lebih memberikan perlindungan hukum pemegang hak atas tanah.

Kemudian prinsip selanjutnya, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa keberpihakan kepada kepentingan masyarakat banyak sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, secara langsung berakibat berkurangnya perhatian kepada investasi modal asing. Kebijakan apa pun yang dibuat semestinya memerhatikan keseimbangan antara berbagai kepentingan. Dalam optik sosiologi hukum, keinginan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan pertanahan yang menyangkut hak milik atas tanah, seyogianya dipahami sebagai keinginan untuk menilai secara arif apakah produk hukum yang telah ada dan sedang dirancang terutama dalam rangka menarik investasi tidak berat sebelah. Sepanjang falsafah UUPA masih relevan, peninjauan kembali bukanlah ditujukan kepada UUPA, melainkan terutama dimaksudkan untuk mengganti, menambah, atau menyempurnakan peraturanperaturan pelaksanaan UUPA.[235]

Di Indonesia ini, masih perlu perhatian yang lebih banyak bagi sebagian terbesar lapisan masyarakat, yang belum sepenuhnya mendapatkan haknya untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah. Tanpa mengurangi arti penting menyediakan peranti hukum untuk mendukung industrialisasi dan meningkatkan daya saing, maka penegasan orientasi kebijakan sangatlah diperlukan. Menggeser kebijakan pertanahan ke arah pemikiran yang cenderung kapitalis di mana tanah ditempatkan pada fungsi ekonomi dan aksesnya diserahkan pada mekanisme pasar, akan semakin menjauhkan diri terhadap pemberian makna konkret tercapainya keadilan sosial yang menjadi misi utama UUPA. Dengan demikian perlu adanya gagasan progresif menuju reformasi kebijakan pertanahan.

YY. Menuju Reformasi Kebijakan Pertanahan Progresif

Adalah Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip panggilan akrab beliau yaitu seseorang yang dijuluki Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresif.[236] Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.[237]

Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.[238]

Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip dasar kebijakan di bidang pertanahan yang telah digariskan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau UUPA. Seiring dengan semakin derasnya kecenderungan global terhadap penguasaan dan penggunaan tanah, semakin dirasakan pula perlunya melakukan pembaruan pola pikir yang mendasari terbitnya berbagai kebijakan di bidang pertanahan selama ini.

Pertambahan jumlah penduduk kelangkaan tanah dan kemunduran kualitasnya, alih fungsi tanah dan semakin tajamnya konflik dalam penggunaan tanah antarberbagai aktor pembangunan dalam berbagai tingkatan; kemiskinan, sempitnya lapangan kerja dan akses yang timpang dalam perolehan dan pemanfaatan tanah, serta semakin terdesaknya hak-hak masyarakat hukum adat, hanyalah beberapa contoh kenyataan yang harus dihadapi saat ini.

Dalam perjalanan waktu, setidaknya ada titik balik perubahan sebagai dasar berpijak untuk pembuatan kebijakan pertanahan progresif di masa yang akan datang. Kebijakan di bidang pertanahan ditujukan untuk, yakni efisiensi dan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, pelestarian lingkungan serta pola penggunaan tanah yang berkelanjutan. Untuk tercapainya efisiensi dapat ditempuh berbagai pendekatan dengan berpijak pada aspek urgensi, konsistensi, dan resiko.

Tujuan untuk tercapainya keadilan sosial dapat dijabarkan melalui beberapa aspek misalnya, peran tanah sebagai dasar untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan, identifikasi pihak-pihak yang dirugikan dalam berbagai konflik kepentingan serta sikap terhadap tanah-tanah masyarakat hukum adat. Tujuan yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup menghendaki tersedianya peraturan tentang penggunaan tanah yang komprehensif, kemampuan menggali peran serta masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya alam, serta koordinasi cabang-cabang administrasi yang efektif.

Menerjemahkan orientasi kebijakan dengan memperhatikan ketiga tujuan tersebut masih belum mencukupi. Diperlukan penjabaran berbagai aktivitas yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Berbagai sarana tersebut beruapa tersedianya peraturan perundang-undangan yang mampu menjabarkan berbagai aspek dari orientasi kebijakan dan tujuannya, yakni: (1) demokratisasi berupa pengawasan terhadap kekuasaan, jaminan stabilitas politik sebagai akibat demokratisasi, dan perlindungan hak asasi manusia; (2) peningkatan kepastian hukum melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang diperlukan dan pelaksanaannya konsisten; (3) pemberdayaan kelembagaan yakni memperkuat administrasi pertanahan, meningkatkan kemampuan sumber daya manusia pendukung dan transparansi dalam proses pembuatan keputusan; (4) meningkatkan insentif ekonomi dengan berupa efektifitas perpajakan dan transparansi di dalam pasar tanah; dan (5) menetapkan batas-batas kewenangan pemerintah berupa perumusan tanggungjawab pokok dan pengembangan model kemitraan antara swasta dan pemerintah.[239]

Pada akhirnya, kebijakan pertanahan apapun yang diterbitkan berdasarkan orientasi serta tujuan dan sarana yang mendukung itu tidak akan mencapai sasaran bila tidak diterima dan disikapi serta ditindaklanjuti oleh para pelaksananya secara konsisten. Reformasi dalam arti perubahan pola pikir dan tindakan aparat pelaksana dalam fungsi pelayanan kepada masyarakat, sangat dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan kebijakan pertanahan.

ZZ. Simpulan

Dalam rangka menyempurnakan/merancang peraturan perundang-undangan perlu dilatarbelakangi dengan orientasi yang jelas dan tujuan yang hendak dicapai, yang secara simultan terdiri dari tiga komponen, yakni; pertumbuhan ekonomi serta pemerataan; keadilan social, serta pelestaraian lingkungan dan pola penggunaan tanah yang berkelanjutan. Akhirnya, peraturan perundang-undangan yang terwujud diharapkan dapat mencerminkan perlindungan hak asasi manusia, peningkatan kepastian hukum, transparansi dalam pengawasan, dan sistem pertanggungjawaban yang jelas, sebagai wujud konkrit menuju reformasi kebijakan pertanahan progresif.

Zulfakar

Koordinator Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

Universitas Gajah Mada

Referensi

Abdurrahman, Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.

Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang, 2007.

Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1994.

Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2006.

____________________, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan, Kompas, Jakarta, 2007

____________________, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008.

Rusmadi Murad, Menyikap Tabir Masalah Pertanahan, Mandar Maju, Bandung, 2007.

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum “perkembangan dan metode masalah”, Muhammadiyah University Press, Universitas Muhammadiyah Surakarta,2002.

_______________,Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.

_______________, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006.

_______________, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982.

Saiffullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.

MENGGAGAS PENDIDIKAN HUKUM PROGRESIF


“....bahwa sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiannya dirampas dan direnggutkan. Mereka hanya dicekoki untuk menjadi ahli hukum profesional, tetapi mengabaikan dimensi kemanusiaannya (Gerry Spence)”.

Kutipan pendapat Gerry Spence, menggawali tulisan ini untuk melihat kembali perjalanan pendidikan hukum di Indonesia yang merupakan bagian integral dalam usaha membentuk manusia yang berbudaya serta berkualitas guna menciptakan masyarakat hukum yang berperikemanusiaan dan berkeadilan. Akan tetapi cita-cita tersebut bertolak belakang dengan dinamika penegakan hukum saat ini, karena tidak jarang kita dihadapkan pada fenomena yang sekan sulit untuk diterima ketika beberapa penegak hukum ikut andil dalam menciptakan ketidakadilan. Masih segar dalam ingatan kita bersama, bagaimana reaksi publik terhadap kepongahan hukum di Indonesia semakin nyata, dimana kasus suap yang melibatkan Urip Tri Gunawan sebagai ketua tim penyelidik kejaksaan agung merupakan satu dari sekian rentetan pasang surut penegakan hukum di negeri ini. Mestinya kejaksaan agung sebagai struktur penegak hukum menjadi benteng terdepan dalam mewujudkan supremasi hukum, malah sebaliknya menciptakan ketidakteraturan.

Potret di atas semestinya menjadi refleksi bagi pendidikan hukum yang selama ini hanya menyentuh pada dimensi ilmu hukum normatif belaka, karena jika yang digunakan dalam dunia pendidikan hukum kita cenderung normatif-positivistik, dengan demikian hukum hanya dilihat sebagai “suatu sarana yang harus dijalankan”. Pendidikan hukum yang menggunakan optik ini akan mengajarkan kepada mahasiswanya keterampilan tentang bagaimana menguasai sarana itu dan bagaimana pula menggunakannya.

Hal ini berarti, bahwa pendidikan hukum kita tidak mendidik mahasiswa untuk benar-benar dan sistematis mengkaji hukum sebagai sarana pengatur dalam masyarakat secara responsif, melainkan hanya bagaimana menjalankan hukum dengan benar sesuai dengan anjuran bunyi pasal/undang-undang yang ada. Secara singkat barangkali bisa dikatakan, bahwa keterampilan yang diajarkan adalah keterampilan tukang dan semua itu hadir diberikan oleh pendidikan hukum yang mencerminkan fakultas undang-undang.

Semestinya pendidikan hukum kita lebih diarahkan untuk menciptakan ahli hukum yang berdedikasi progresif dan bukan ahli hukum yang “jualan hukum”. Sehingga sangat wajar pendidikan hukum kita tidak atau kurang mampu membantu dan mendorong para mahasiswanya untuk menghadapi problematika hukum secara kritis dan juga kreatif.

Dosen selaku pendidik tentu harus bertanggung jawab atas realitas semacam ini. Bangunan pendidikan hukum kita seharusnya tidak lepas dari bagaimana cara penanaman nilai filosofi hukum dalam tataran teoritik maupun etik. Pengajaran nilai moral serta sosial kemanusiaan semestinya dilakukan lewat beberapa aspek keilmuan hukum secara proporsional. Sehingga pendidikan hukum tidak saja transfer knowledge belaka, namun juga dengan penanaman nilai-nilai. Seperti, konsep etik dalam pendidikan hukum saat ini mutlak diperlukan, karena konsep etik berangkat dari sebuah nilai, dan tidak saja diartikan pada ruang lingkup nilai etik dalam arti profesi hukum, akan tetapi juga nilai etik berskala progresif yang dapat memberikan manfaat sosial bagi masyarakat secara luas. Sehingga nilai-nilai tersebut menuntut kita kepada orientasi kebenaran, dan tugas pendidik adalah bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai tersebut kepada mahasiswa.

Tulisan ini tidak akan berlarut-larut menguraikan titik lemah dari pendidikan hukum kita, seolah-olah pendidikan hukum diletakkan menjadi victim (korban) kritikan, tanpa ada solusi yang ditawarkan untuk kedepan. Berawal dari keprihatinan Pro. Tjip (sebutan akrab bagai Prof. Dr. Satjipto Rahardjo) terhadap keterpurukan hukum di Indonesia, yang dinyatakan baik berupa wacana lisan maupun tulisan, sering membuat banyak kalangan terhenyak dan membuat para akedemisi dan praktisi hukum mengernyitkan kening. Salah satu kritiknya ialah “bahwa hukum itu sudah cacat sejak dilahirkan”. Hal ini sejatinya adalah kritik internal terhadap hukum. Masyarakat diatur oleh hukum yang penuh ketidakjelasan, karena ketidakmampuannya untuk merumuskan secara tepat hal-hal yang ada di masyarakat, akibatnya masyarakat diatur oleh hukum yang sudah cacat sejak lahir.

Tentu saja kritik tersebut ditujukan bagi legislatif, serta tidak luput juga penegak hukum dan para insan hukum dalam memahami dan menjalankan hukum hanya berdasarkan aturan undang-undang, tanpa mau melihat dan memahami kondisi masyarakat secara utuh. Sehingga beliau yang berawal dari akar rumput sosiologi hukum memberikan refleksi kritis mengenai hukum, yaitu hukum dilukiskan sebagai perilaku manusia yang dilandasi pandangan filosofis bahwa hukum itu untuk manusia dan tidak sebaliknya. Apabila manusia adalah untuk hukum, maka dinamika masyarakat akan terhambat, bahkan mungkin berhenti, saat dihadapkan pada hukum yang mempertahankan status quo. Sebaliknya, apabila hukum adalah untuk manusia, maka hukum itu hendaknya dapat mendatangkan kebahagiaan dan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara luas.

Gagasan hukum progresif menjelaskan ilmu hukum tidak bisa bersifat steril dan mengisolasi diri dari sekalian perubahan yang terjadi di dunia. Ilmu pada dasarnya harus selalu mampu memberi pencerahan terhadap subjek persoalan yang dilayani. Untuk memenuhi peran itulah maka ilmu hukum dituntut untuk menjadi progresif. Ilmu hukum normatif dan berbasis negara dan pikiran abad sembilan belas misalnya, niscaya tidak akan berhasil mencerahkan masyarakat abad ke-duapuluhan dengan sekalian perubahan dan perkembangannya. Maka sudah selayaknya suatu konsep pendidikan hukum normatif-positivistik yang cenderung kuno/usang, tidak dapat lagi dipakai untuk melayani kehidupan masa kini.

Dalam kualitas yang demikian itu maka ilmu hukum progresif adalah tipe ilmu yang selalu gelisah melakukan pencarian dan pembebasan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena memang hakikat ilmu itu adalah; mencari kebenaran. Artinya kebenaran yang dimaksud pada orientasi tujuan ilmu hukum ialah keadilan sosial. Tibalah saatnya pendidikan hukum kita berada pada jalur keilmuan secara utuh, menuju pendidikan hukum progresif yang memahami ilmu hukum itu tidak lagi sebagai suatu institusi yang otonom, melainkan sebagai bagian dari proses sosial yang lebih besar.

Mahasiswa hukum sekalian, apakah anda merasakan, bahwa pendidikan hukum selain memberikan ilmu pengetahuan juga menghaluskan jiwa anda, memulikan jiwa anda? Jika tidak, maka sesungguhnya pendidikan hukum kita belum berhasil secara penuh”. Semoga petikan kata Prof. Tjip yang terakhir dalam tulisan ini membuat kita tergerak pada batas kesadaran serta kemampuan yang kita miliki.

Kurnia Yulianto

Koordinator Lingkar Studi Hukum Progresif (Lshp)

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta



[1] Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Hukum, yang diampu oleh Bapak Dr. Salman Luthan, SH. MH, pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

[2] Sebuah istilah yang di populerkan oleh M Fadjroel Rachman, Rekor Koruptor “Top Markotop” Opini Kompas, 17/9/2007.

[3]Lihat kumpulan tulisan pembaharuan hukum berbasis masyarakat dan ekologis, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, HuMa, Jakarta, 2007. Rikardo Sumarmata, Kritik atas Paradigma Positivisme Hukum, hal 22.

[4] Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya “Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (behavioral jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar”, Citra aditya Bakti, Bandung, 2007, hal 27-28.s

[5] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 88.

[6] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum “Pencarian Pembebasan dan Pencerahan”, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2004, hal 36.

[7] Tempo 11 Juli 2008, Edisi No. 2537. hal A2.

[8] Dharmawan, Jihad Melawan Korupsi, Buku Kompas, Jakarta, 2005, hal 127-128.

[9] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 79.

[10]E. Fernando M. Manullang, Menggapai ….Op.,Cit, hal 78.

[11] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hal 19.

[12] Antinomi merupakan suatu pernyataan tentang suatu hal yang saling bertentangan. Lihat Kamus Ilmiah Populer, GITAMEDIA, Surabaya, 2006, hal 36.

[13] Ibid.

[14] Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006, hal 151.

[15] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 78.

[16] Satjipto Rahardjo, Biarkan..Op.,Cit, hal 79.

[17] Ibid.

[18] Abdul Manan, Aspek-Aspek…Ibid hal 19

[19] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal xviii

[20] Lihat Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis “Memetakan Perekonomian Indonesia”, Korupsi Kepresidenan, Grasindo, Jakarta, 2002 hlm 01.

[21] Ibid.

[22] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995 hlm ix.

[23] Ibid.

[24] Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia “Belajar dari Kegagalan Ekonomi Orde Baru”, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004 hlm 19.

[25] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2006 hlm 8.

[26] Thomos M. Franck, The new Development : Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries, Wisconsin Law Review No. 3 Thn 1972, hlm. 772. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005, hlm. 127.

[27] Leonard J Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and Policy, Vol. 9, Thn 1989, hlm. 232. dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, Jilid I (Bahan Diskusi Program Magister Hukum), PascaSarjana FH UI, 2005, hlm. 157.

[28] Ibid.

[29] Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi & Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001 hlm 25.

[30] Ibid.

[31] Lihat Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia….Op.,Cit. hlm 46.

[32] Ibid.

[33] Faisal Basri, Kita Harus Berubah, Kompas, Jakarta, 2005 hlm 18.

[34] Ibid. Perjuangan melawan globalisasi di meksiko di mulai saat kaum pribumi Indian di Chiapas pada tahun 1994 dan bersamaan dengan penandatanganan NAFTA yang menurut kaum ZAPATISTA sebagai ”Hukuman Mati” bagi Indian dan hadiah bagi orang kaya. Perlawanan ini dilakukan sebab setelah IMF dan Bank Dunia masuk Meksiko, jumlah orang yang sangat miskin di daerah pinggiran meningkat sampai sepertiganya, setengah dari total populasi tidak memiliki akses kepada sumber-sumber perekonomian untuk memenuhi kebutuhan dasar.

[35] Lihat Revirsond Baswir, Drama Ekonomi Indonesia….Op.,Cit. hlm 56. Kemudian para pendukung teori ini seperti dilaporkan dalam laporan tahunan yayasan Russel yang merupakan sponsor banyak penelitian masalah kemasyarakatan menyatakan bahwa seorang ilmuwan ekonomi yang jengkel dengan kecendrungan ”myopic” dalam disiplin ilmunya, yaitu kebutuhan masyarakat yang memerlukan jawaban dan melibatkan berbagai dimensi kehidupan, ilmu ekonomi datang dengan resep ekonomi teknis. Ketika dihadapkan dengan persoalan pengangguran dan kemiskinan yang semakin luas yang diperlukan adalah pembenahan mekanisme pasar, seolah-olah mekanisme pasar dengan tidak adanya campur tangan pemerintah persoalan akan selesai

[36] Lihat Ahmad Erani Yustika, Pembangunan & Krisis….Op.,Cit. hlm 28. Individu-individu menempati sistem tersendiri yang berbeda dengan sistem di luarnya. Otonomisasi individu sebagai agregat rasional tidak membutuhkan karakter kolektif dalam dirinya sendiri. Karena individu-individu memiliki kebebasan penuh untuk menciptakan efisiensi dan kesejahteraan maksimum bagi dirinya sendiri. Globalisasi kurang lebih bersandar pada asumsi ini, di mana pencapaian maksimum individu diutamakan sementara karakter sosial yang mengitarinya diabaikan. Bagi Bourdieu, globalisasi dibentuk melalui teori ekonomi-politik murni yang teguh mempertahankan oposisi antara logika khas ekonomi, di mana kompetisi dijadikan syarat bagi tercapainya efektivitas dan logika sosial, dilain sisi, yang menekankan pada persoalan keadilan.

[37] Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.

[38] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006 hlm ix.

[39] Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, hlm 22-25.

[40] Apa yang menjadi pendirian neo-liberalisme dicirikan sebagai berikut: kebijakan pasar bebas yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrasi dan “parasit” pemerintah. Aturan dasar kaum neo-liberalis adalah, “liberalisasikan perdagangan dan finansial, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi, (stabilitas ekonomi-makro dan privatisasi) kebijakan pemerintah haruslah “menyingkirkan dari penghalang jalan”. Paham inilah yang saat ini oleh para aktor globalisasi dipaksakan untuk diterima semua bangsa-bangsa di seluruh dunia, khususnya juga terjadi di Indonesia.

[41] Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No 2 September 2005, hlm 186.

[42] Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006 hlm 3-4.

[43] Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi…op,cit.

[44] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 139-147.

[45] Penjelasan bahwa hukum itu adalah prilaku, bukan aturan, lihat Satjipto Rahardjo, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002.

[46] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982 hlm 162.

[47] Ibid

[48] Revirsond Baswir, “Pembangunan Kerakyatan Melalui Demokratisasi Pengelolaan SDA”, Suara Pembaharuan, Jakarta, 19 Februari 1999.

[49] Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA 1960, negara berhak mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan lahan pertanian bagi sebar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hasil dari pengambilalihan lahan pertanian ini, ditambah dengan ribuan hektar lahan pertanian di bawah penguasaan negara lainnya, harus diredistribusikan kembali kepada para petani penggarap yang memang menggantungkan kelangsungan segenap hidup anggota keluarganya dari mengolah lahan pertanian. Ibid.

[50] Ibid.

[51] Ibid.

[52] Robertus Robet, Kembalinya Politik “Pemikiran Politik Kontemporer Dari (A)rendt Sampai (Z)izek”, Cipta Lintas Wacana, Jakarta, 2008, hal viii-ix

[53] Ibid.

[54] Henry J. Schmandt, Filsafat Politik “Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern” Cet II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 11.

[55] Soerjono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal v.

[56] Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Cet V, Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hal 1.

[57] Ibid.

[58] Ibid.

[59] Syarofin Arba, Demitologisasi Politik Indonesia, CIDESINDO, Jakarta, 1998, hal x.

[60] Munafrizal Manan, Pentas Politik Indonesia Pasca Orde Baru, IRE Press, Yogyakarta, 2005, hal 29.

[61] Robertus Robet, Kembalinya Politik…Op.,Cit. hal 4.

[62] Ibid.

[63] Ibid.

[64] Barda Nawawi Arief, Perlindungan HAM dalam Hukum Positif di Indonesia, Himpunan Naskah Lokakarya Nasional Tentang Hak-HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, Jakarta, 1992, hlm 89.

[65] Deskripsi itu menunjukkan mengenai sebagian realitas historis tentang perjanjian HAM. Memang tidak sedikit di antara hak-hak dasar manusia yang dilanggar oleh sesama manusia dan negaranya. Lihat M. Luqman Hakim, Deklarasi Islam Tentang HAM, Risalah Gusti, Surabaya, 1993, hlm 7

[66] Taransformasi global memaksa batas-batas negara menjadi runtuh, yang oleh Kenichi Ohmae disebut dengan ‘the end of the nation state’, sehingga dunia menjadi tanpa batas (borderless world). Ini berarti bahwa semua aspek kehidupan; yakni: ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan suatu negara selalu terpenetrasi oleh kekuatan-kekuatan ekstranasional sekaligus sebagai faktor yang mendinamisasi kawasan itu. Lihat Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Milenium Ketiga, In-TRANS, Malang, 2007, hlm 133.

[67] Rasionalisasi, bahwa Indonesia adalah Negara berdasarkan atas hukum, yaitu; asas pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, asas legalitas, asas pembagian kekuasaan, asas peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan asas kedaulatan rakyat. Selengkapnya lihat Muladi, Hak Asasi Manusia (hakekat, konsep dan implikasinya dalam perspektif hukum dan masyarakat), Refika Aditma, Bandung, 2005, hlm 50.

[68] Sejumlah 32 orang laki-laki dan seorang anak berusia 2 tahun-kesemuanya berasal dari etnis Aceh telah ditembak mati oleh sekelompok laki-laki bersenjata yang tiba-tiba muncul di perkebunan karet dan kelapa sawit Bumi Flora, Julok, Aceh Timur. Setelah pembunuhan terjadi, kelompok bersenjata itu tiba-tiba menghilang. Tentara dan Polisi Indonesia menuduh bahwa GAM bertanggung jawab atas kejadian itu, sedangkan GAM sendiri bersikeras bahwa pembunuhnya adalah aparat keamanan Indonesia. Data ini di dapat dari http://www.kontras.org//htm, dan diakses 04/03/2008/10.30.

[69] Pada umumnya, para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya magna charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum) menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggungjawabannya di muka hukum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Selengkapnya lihat Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm 36.

[70] Bahwa dunia untuk pertama kalinya mendapat konsep dasar HAM dari magna caharta di Inggris yang disusun enam ratus tahun setelah kebangkitan Islam. Sesungguhnya bahwa sampai abad ke-19 tidk ada satu orang pun yang berhenti untuk mengatakan bahwa magna charta memuat prinsip-prinsip pengadilan oleh juri, habeas corpus dan kontrol parlemen atas hak pajak. Kalau saja orang yang merancang magna charta itu masih hidup saat ini, maka mereka mungkin akan sangat terkejut jika mendengar bahwa dokumen itu mengabdikan gagasan dan prinsip-prinsip ini. Lihat M. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm 99.

[71] Deklarasi ini diikuti dua kovenan pada tahun 1966, yaitu international covenant on civil and political rights, international covenant on economic, social, and cultural rights disetujui oleh resolusi majelis umum perserikatan bangsa-bangsa 16 Desember 1966 dan mulai berlaku 3 Januari 1976, sedangkan international covenant on civil and political rights disetujui dan terbuka untuk ditanda tangani, pengesahan dan pernyataan dengan resolusi majelis umum perserikatan bangsa-bangsa 2200 A (XX) 16 Desember 1966 dan mulai berlaku sejak 23 Maret 1976. Lihat Abdul Hakim G. Nusantara, HAM di Dunia yang Berubah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994, hlm xii.

[72] Setiap orang harus dijamin haknya dalam kerangka syariat, untuk bergerak bebas dan untuk memilih tempat tinggalnya di dalam atau di luar negaranya; dan jika dizalimi maka ia berhak mendapat suaka dari negara lain. Negara yang memberikan perlindungan harus menjamin perlindungannya sehingga ia merasa aman, kecuali suaka yang dimotivasi karena tindakan yang oleh syariat dianggap sebagai suatu kejahatan. Lihat Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Syariat Islam, Ar-Raniry Press dan Mihrab, Jakarta, 2004, hlm xxxix-xl.

[73] Ini berarti HAM pada hakikatnya tidak hanya merupakan karakteristik dan identitas yang melekat pada hukum, tetapi juga merupakan subtansi dan jiwa dari hukum itu sendiri. Hukum yang secara subtantif tidak memberi jaminan perlindungan terhadap HAM (baik sebagai hak perorangan maupun hak komunitas) pada hakikatnya merupakan hukum yang cacat sejak kelahirannya. Baca Barda Nawawi Arief, Perlindungan HAM dalam Hukum Positif di Indonesia, Himpunan Naskah Lokakarya Nasional Tentang Hak-HAM, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, Jakarta, 1992, hlm 89.

[74] Perumusan konsepsi HAM menurut Indonesia, diantaranya di dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebelum masa kemerdekaan pada tahun 1945, kemudian pada sekitar pertengahan tahun 1950-an, dan ketika orde baru mulai tampil ke panggung kekuasaan pada tahun 1965. Setelah periode tersebut, kata HAM seolah-olah menghilang dari kamus sehari-hari, dan hanya dipergunakan secara terbatas di kalangan para ahli hukum, aktivis mahasiswa, dan aktivis HAM. HAM kemudian mengalami masa diam yang panjang di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi fakta yang dapat menjelaskan mengapa ditemui permasalahan untuk memahami pengertian subtantif dari HAM. Masalah HAM yang dihadapi oleh Indonesia tidak hanya sekedar soal defenisi, namun juga berkaitan dengan pemahaman terhadap ide-ide dasar dari HAM, asal usul mereka, subtansi, dan mekanisme penegakannya. Lihat selengkapnya Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Taransisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm 51-52.

[75] Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa serta status lain. Ibid.

[76] Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang HAM.

[77] Bertumpuknya permasalahan orde baru, baik masalah BLBI, KKN, kasus Tanjung Priuk tanggal 12 September 2008, ketidakpercayaan terhadap pemerintahan, dan terjadinya kerusuhan tanggal 12-14 Mei 1998, pada tanggal 21 Mei 1998 telah terjadi pergantian pemerintah yang selama ini berkuasa sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Lihat Muladi, Hak Asasi….Op.,Cit, hlm 4.

[78] Ibid

[79] Mahkamah Agung, Buku Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, Jakarta, 2006, hal 59.

[80] Ibid.

[81] Hal ini juga berkaitan erat dengan kodrat organisasi militer sendiri yang membedakan antara kesatuan militer yang sah dan sekumpulan individu pasukan liar atau gerilyawan. Lihat Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hal 283.

[82] Lihat Putusan Nomor: 45 PK/Pid/HAM AD HOC/2004, dengan terpidana Abilio Jose Osorio Soares, hal 545.

[83] Lihat R. Wijaya, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hal 129.

[84] Ibid.

[85] Mahkamah Agung, Op., Cit, hal 73.

[86] Demonstrasi itu dipimpin oleh Gregorio da Cunha Saldanha, ia adalah anggota organisasi yang sering disebut klandestin. Organisasi tersebut adalah Comite Executivo yang dikoordinasi oleh Constantio Pinto. Pemerintah Indonesia bahwa organisasi ini terlibat dalam kerusuhan Santa Cruz dan organisasi ini juga telah mengadakan beberapa pertemuan rahasia sebelumnya. Dan itu sebabnya mengapa semua anggota Comite Executivo didakwa dibawah hukum subversi. Lihat Artidjo Alkostar, Pengadilan HAM, Indonesia,dan Peradaban, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2004, hal 6

[87] Menurut resolusi 1246 (1999) yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan pada pertemuannya yang ke-4013 pada 11 Juni 1999, memutuskan untuk membuat UNAMET (Misi PBB di Timor-Timur) hingga Agustus 1999. Artidjo Alkostar, Pengadilan HAM….Op.,Cit. hal 7

[88] Ibid.

[89] Lihat Putusan Nomor: 45 PK/Pid/HAM AD HOC/2004, dengan terpidana Abilio Jose Osorio Soares, hal 515.

[90] Ibid. Beberapa organisasi yang dibentuk oleh Abilio dan berada di wilyah Tim-tim; antara lain PAM SWAKARSA, FPDK, BRTT (Barisan Rakyat Tim-Tim), MAHIDI (Mati Hidup Demi Indonesia), BMP (Besi Merah Putih), AITARAK, MILISI dan Pejuang Pro Integrasi.

[91] Ibid.

[92] KPP-HAM yang bertugas menyelidiki keterlibatan aparat negara dan/atau badan-badan lain. Dasar hukum yang memberi wewenang kepada KPP-HAM adalah Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Data ini di dapat dari http://www.jsmp.minihub.org//htm. dan diakses 01/03/2008/21.00.

[93] Ibid.

[94] Data ini di dapat dari http://www.elsam.or.id//htm, dan diakses 04/03/2008/10.40.

[95] Ibid.

[96] Lihat Putusan Nomor: 01/Pid.HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT.PST, dengan terpidana Abilio Jose Osorio Soares, hal 11-12.

[97] Rangkuman Penulis dari Putusan Nomor: 45 PK/Pid/HAM AD HOC/2004, dengan terpidana Abilio Jose Osorio Soares, hal 534-540.

[98] Korupsi politik adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh elit politik atau pejabat pemerintahan negara yang memiliki dampak terhadap keadaan politik dan ekonomi negara. Perbuatan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang dan atau pihak-pihak yang memiliki jabatan atau posisi politik. Korupsi politik ini bisa dilakukan oleh presiden, kepala pemerintahan, para menteri suatu kabinet yang pada dasarnya memiliki jabatan politis, anggota parlemen, dapat dikualifikasikan korupsi politik, karena perbuatan itu dilakukan dengan mempergunakan fasilitas atau kemudahan politis yang dipunyai oleh pelaku. Fasilitas yang disalahgunakan tersebut pada dasarnya merupakan amanat atau kepercayaan yang diberikan oleh rakyat. Lihat Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta, 2008, hal 19.

[99] Munafrizal Manan, Pentas Politik Indonesia Pasca Orde Baru, IRE Press, Yogyakarta, 2005, hal 112.

[100] M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet III, LP3ES, Jakarta, 2006, hal 9.

[101] Lihat Pasal 5 ayat (1)Undang-Undang Pemilu Tahun 2008.

[102] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara “Jilid II”, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal 182.

[103] Istilah demokrasi yang berasal dari bahasa Yunani itu terdiri dari kata demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti memerintah. Aristoteles mengatakan, demokrasi dapat dilihat dari dua segi, yaitu demokrasi dalam arti material dan demokrasi dalam arti formal. Demokrasi dalam arti material yaitu demokrasi yang diwarnai oleh falsafah atau ideologi yang dianut oleh suatu bangsa dan negara. Perbedaan dalam demokrasi yang dianut oleh masing-masing negara menunjukkan adanya perbedaan yang mendasar dalam demokrasi ini. Berbeda dengan demokrasi dalam arti formal yang terus mengalami perkembangan dari demokrasi langsung sampai kepada demokrasi tidak langsung. Demokrasi langsung melibatkan rakyat secara langsung, sebaliknya demokrasi tidak langsung sering dikatakan demokrasi perwakilan yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga/badan perwakilan rakyat. Lihat Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hal 9-10.

[104] Media Indonesia 19 Agustus 2008/N0.10069/TAHUN XXXIX.

[105] M. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal 4.

[106] Ibid.

[107] B. Hestucipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2003, hal 208.

[108] Ibid.

[109] Jimly Asshiddiqie, Op.,Cit. hal 181.

[110] M. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 1993, hal 86.

[111] B. Hestucipto Handoyo, Op.,Cit. hal 212-213.

[112] Lihat Pasal 5 ayat (2)Undang-Undang Pemilu Tahun 2008.

[113] Lihat Pasal 5 ayat (1)Undang-Undang Pemilu Tahun 2008.

[114] Sri Soemantri, Op.,Cit. hal 158-159.

[115] Ibid.

[116] Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985, hal 71.

[117] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Press, Yogyakarta, 2008, hal 100.

[118] J. Victor Koschmann, Individu dan Kekuasaan “Seri Pengkajian Kebudayaan Jepang”, Grasindo, Jakarta, 1995, hal 4.

[119] Ibid.

[120] Ibid.

[121] Syarofin Arba, Demitologisasi Politik Indonesia, CIDESINDO, Jakarta, 1998, hal 337.

[122] Ibid.

[123] Sri Soemantri, Op.,Cit. hal 160.

[124] M. Mahfud MD, Politik Hukum…Op.,Cit. hal 8.

[125] Ibid.

[126] M. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006, hal 14.

[127] M. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007, hal 49.

[128] M. Mahfud MD, Membangun Politik.…Op.,Cit. hal 20-21.

[129] M. Mahfud MD, Perdebatan Hukum..Op.,Cit, hal 49.

[130] S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta, 1986, hal 13-15.

[131] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 20.

[132] Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal 1. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hal 1. Kata filsafat atau falsafat berasal dari kata Arab “falsafah” yang diturunkan dari kata Yunani “philosophia” yang merupakan kata gabungan dari kata philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta dan kata shopia yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, kata philosophia, filsafah, falsafat, berarti mencintai atau cinta kepada kebijaksanaa. Orang yang mencintai kebijaksanaan disebut philosophos yang dalam bahasa Arab disebut “failasuf’ (jamaknya: filasifah) dan dalam bahasa Indonesia disebut “filosuf”.

[133] Ibid.

[134] Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal 18.

[135] Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal 10-11.

[136] Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal 439.

[137] S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum…Op.,Cit, hal 13-15.

[138] Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal 16.

[139] Ibid.

[140] Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, Membangun Hukum Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hal 87.

[141] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal 96.

[142] Ibid.

[143]A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial “Buku Teks Sosiologi Hukum Ke I”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hal 146.

[144] Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, Grassindo, Jakarta, 1999, hal 222.

[145] Bur Susanto, Keadilan Sosial “Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal 19-20.

[146] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal 99.

[147] Ibid.

[148] Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006, hal 151. Sejak hukum itu diadakan tidak untuk diri dan kepentingan sendiri, melainkan untuk bekerja dalam masyarakat, maka hukum sebagai konstruksi dihadapkan kepada lingkungan yang alami. Sebuah konstruksi harus bekerja dalam lingkungan yang alami. Keadaan ini menimbulkan banyak persoalan dan komplikasi. Hukum tidak selalu berhasil dengan baik untuk memproyeksikan “keinginannya” ke dalam masyarakat. Secara padat bisa daikatakan, bahwa “hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah matriks sosio-kultural. Ibid hal 142.

[149] Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal 49.

[150] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Cet II, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 9.

[151] Soerjono Soekanto, Pendekatan..Op.,Cit, hal 52.

[152] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..Op.,Cit, hal 4.

[153] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 78.

[154] Ibid.

[155] Ibid.

[156] E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal xviii

[157] Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan..Op.,Cit, hal 19.

[158] Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.

[159] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..Op.,Cit, hal ix.

[160] Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, hlm 22-25.

[161] Kediktatoran peradilan (judicial dictatorship) memutuskan suatu perkara semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum, tanpa harus melibatkan atau mendengarkan dinamika masyarakat, itulah sebabnya secara sosiologis peradilan menjadi terisolasi dari keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat itu. Selengkapnya lihat Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta, 2007 hlm 38.

[162] Baca selengkapnya TEMPO, Edisi No.2340, 17 Desember 2007, hlm A7

[163] Kepolisian masih dinilai sebagai institusi paling korup di Indonesia, polisi mendapat (4,2%) diperingkat kedua terkorup adalah lembaga pengadilan dan parlemen (4,1 %), sementara peringat ketiga adalah partai politik (4,0 %) demikian indeks barometer korupsi global 2007 yang dilansir Transparency International di Jakarta yang disosialisasikan oleh Transparency International Indonesia (TII). Lihat KOMPAS, 07 Desember 2007, hlm 2

[164] Lembaga peradilan di Indonesia keberadaannya telah memakan usia yang cukup tua, menengok kebelakang ketika negeri ini masih terpisah menjadi berbagai kerajaan-kerajaan, adalah suatu kenyataan kekuasaan kerajaan yang dipegang oleh raja yang berkuasa dan berdaulat secara mutlak. Artinya soal hidup dan mati dari rakyat ada pada tangannya, maka kekuasaan mengadilipun ada pada raja sendiri, pada zaman Airlangga misalnya. Serta ketika Islam masuk di Indonesia, lembaga peradilan mengalami perubahan, khususnya di Mataram pengaruh Islam melalui kekuasaan Raja Sultan Agung perubahan lembaga peradilan diwujudkan khusus dalam “peradilan perdata” yang dipimpin oleh raja sendiri, peradilan ini diubah menjadi “peradilan serambi” meskipun peradilan ini masih ditangan raja, akan tetapi telah beralih ketangan “penghulu” yang dibantu oleh beberapa ulama sebagai anggotanya. Hingga pemerintahan Hindia Belanda yang menjajah Indonesia lembaga peradilan dibentuk hanya untuk kepentingan kompeni saja yaitu “peradilan politielor atau peradilan sipil dan kriminal”. Lembaga peradilan mengalami perubahan kembali ketika Balatentara Jepang datang di Indonesia mendirikan empat peradilan; yaitu peradilan negeri, kepolisian, kabupaten, dan kawedanan yang berdasarkan UU No. 14 Tahun 1942. Selengkapnya lihat Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007 hlm 65-69.

[165] Tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya peradilan yang merdeka dan mandiri. Salah satu tiang penyangga tegaknya kedaulatan hukum suatu negara adalah adanya peradilan yang berdaulat. Entitas peradilan sejatinya merupakan lembaga yang bertugas mencerahkan dan memberi arah perjalanan peradaban bangsa. Penyelesaian sengketa antara rakyat dengan penguasa atau antara sesama warga yang di proses melalui peradilan yang independen harus menjadi puncak kearifan dan perekat bagi para pihak yang bersengketa. Perbedaan pendapat dan sengketa hukum merupakan bagian dari dinamika sosial dalam negara modern. Artidjo Alkostar, Reformasi Sistem Peradilan Pidana Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Selengkapnya lihat di http://www.legalitas.org/cetak/htm, 28/10/2007/10.25.

[166] Peradilan dilakukan melalui prosedur yang diikat oleh aturan-aturan ketat tentang pembuktian yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir pada proses pemeriksaan yang mendatangkan putusan fair. Baca Anthon F. Susanto, Wajah Peradilan Kita, Refika Aditama, Bandung, 2004 hlm 1

[167] Dalam sejarahnya peradilan suksesor pembebanan tanggung jawab pidana terhadap pemimpin politik pendahulu karena mengadakan perang yang melanggar hukum, atau mirip dengan itu pemerintah yang menjalankan mekanisme pemerintahan secara dictator, adalah benang merah peradilan suksesor terhadap tiran-tiran polis yang dijelaskan oleh Aristoteles dan peradilan Raja Charles I serta Louis XVI, hingga peradilan serupa pada masa kontemporer; yaitu peradilan Nuremberg, peradilan kejahatan perang Tokyo, peradilan kolonel di Yunani, dan peradilan Junta militer Argentina. Baca Ruti G. Teitel, Keadilan Transisional, Sebuah Tinjauan Komprehensif, ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2004 hlm 53-54.

[168] Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut pandangan Satjipto Rahardjo adalah sebuah kenyataan untuk berburu kebenaran walaupun pada masa tertentu harus mengakui kegagalan dan keterbatasannya, karena kebenaran hasil karya manusia adalah relatif. lihat Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap….Op.Cit,. hlm 70

[169] Pembahasan mengenai lingkungan peradilan, seringkali dirancuhkan dengan pembahasan mengenai pengadilan, padahal secara subtansial pertentangan pandangan tersebut tidaklah penting, sebab dalam penyebutan peradilan di dalamnya juga terkandung makna institusi (pengadilan), sedangkan dalam penyebutan kata pengadilan di dalamnya juga terkandung makna proses beracara (peradilan). Dan memang secara harfiah dapat saja orang memaknai kata “peradilan” sebagai hal yang menunjuk pada segala aktivitas pengadilan dalam menjalankan fungsinya yakni penegakan hukum dan penegakan keadilan. Lihat Sidik Sunaryo, Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, 2005 hlm 56-57.

[170] Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara yang langsung melayani kepentingan rakyat pada umumnya dan berhubungan dengan perlindungan hak asasi manusia mutlak secara teknis, organisatoris, administrative dan financial ditempatkan langsung di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, sedangkan Peradilan Agama dan Militer sebagai peradilan khusus yang hanya mempunyai yurisdiksi terhadap golongan rakyat tertentu, teknis berada di bawah Mahkamah Agung, tetapi secara organisatoris, administrative dan financial di bawah kekuasaan Departemen yang bersangkutan, semua ini hasil dari Munas Ikahi Kelima di Yogyakarta. Selengkapnya lihat Muhammad Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2004 hlm 9-10.

[171] Keterpaduan sub-sistem yang saling berhubungan antara lain seperti Kepolisian (yang melaksanakan tugas-tugas penyidikan), Kejaksaan (yang melaksanakan tugas penuntutan) dan Pengadilan (yang mengadili), serta Lembaga Pemasyarakatan (yang menjalankan eksekusi pengadilan). Firdaus Arifin, Modernisasi Sistem Peradilan Pidana, Selengkapnya lihat di http://www.legalitas.org/cetak/htm, 28/10/2007/11.15

[172] Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, FH UII Press, Yogyakarta, 2005 hlm 9

[173] Bahwa konsepsi keadilan yang paling rasional adalah utulitarianisme/ merupakan prinsip yang mendatangkan kemanfaatan

[174] Teori Keadilan sebagai fairness diungkapkan oleh John Rawls sebagai salah satu filsuf politik, yang lahir Baltimore, Maryland, Amerika Serikat (1921), yaitu suatu teori keadilan yang mengeneralisasikan dan mengangkat konsepsi tradisional tentang kontrak social ke level abstraksi yang lebih tinggi, demi tujuan tentang hak dasar dan manfaat. Lihat Jhon Rawls, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006 hlm 17

[175] Kegagalan dalam penegakan dan pemberdayaan hukum ini ditengarai oleh sikap submissive terhadap kelengkapan yang ada seperti prosedur, doktrin, dan asas hukum kita, selain ketidakmampuan criminal justice system dalam mengemban tugasnya. lihat Satjipto Rahardjo, Membedah…Op.Cit., hlm x

[176] Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak, ketika peradilan terjebak kepada suasana formalisme hukum, maka hukum harus dipandang sebagai sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan, dan mengapa tujuan dikorbankan karena sarana, apakah ini logika nya telah terbalik, artinya bahwa hukum diciptakan hanya untuk hukum itu sendiri, melainkan bukan berarti untuk mendatangkan keadilan secara luas. Lihat Anthon F. Susanto, Wajah….Op.Cit.,hlm 28

[177] Lihat Sidik Sunaryo, Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit.,hlm 27-28

[178] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007 hlm 26

[179] Peradilan harus menjadi sentra dan muara dari proses pencerahan dari semua sistem sosial dengan segala dinamikanya. Lihat Sidik Sunaryo, Sistem Peradilan Pidana, Op.Cit.,hlm 30

[180] Akhirnya antara kepastian hukum dan kepastian keadilan tidaklah patut untuk diperdebatkan, sejauh menjadikan keduanya sebagai berbeda satu sama lainnya, tetapi perdebatan itu mengenai keduanya haruslah diarahkan kepada perpaduan antara keduanya dalam membangun prinsip dan asas hukum yang menjadi dasar bagi tegaknya proses penegakan hukum dan keadilan. Ibid 31-32

[181] Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian secara substansial harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya. Lihat Anthon F. Susanto, Wajah Peradilan Kita, Op.Cit.,hlm 74.

[182] Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana memiliki karakteristik Interface (berhadapan) antara sistem peradilan pidana dengan lingkungannya, seperti berupa interaksi, interkoneksi, dan independensi. Hal demikian sebagai konsekuensi karakteristik dan hakikat sistem peradilan pidana sebagai open system. Baca Sidik Sunaryo, Sistem...,Op.Cit.,hlm 255

[183] Ibid 256

[184] Rusli Muhammad, Lihat Diktat Kuliah: Sistem Peradilan Pidana, Program Pascasarjana Magister Ilmu hukum FH-UII, Yogyakarta tanggal 15 September 2007.

[185] Maka tak jarang, crime control model, cukup membantu terciptanya peluang pelanggaran hak-hak asasi manusia dengan menekankan pada eksistensi dan penggunaan kekuasaan formal pada setiap sudut dari proses peradilan pidana. Artidjo Alkostar, Reformasi Sistem Peradilan Pidana Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Selengkapnya lihat di http://www.legalitas.org/cetak/htm, 28/10/2007/10.25.

[186] Baca Rusli Muhammad, Sistem….Op.,Cit hlm 9

[187] Interaksi manusia yang di dalamnya ada profesi penegak hukum; advokad, jaksa, hakim, dan polisi. Dan tidak luput pula terdakwa, korban serta masyarakat.

[188] Berbagai alasan ketidaktepatan mekanisme cara pandang crime control model yang bersifat represif sebagai bentuk perwujudan dalam melaksanakan proses peradilan pidana; sedangkan due process model tidak sepenuhnya menguntungkan karena bersifat anti terhadap kekuasaan formal; demikian juga familiy model, kurang memadai karena terlalu ”offender oriented” karena masih terdapat korban yang juga memerlukan perhatian serius. Dari ketiga model sistem peradilan tersebut dipandang sebagai sebuah model sistem peradilan pidana yang kurang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Baca Sidik Sunaryo, Sistem...,Op.Cit.,hlm 272

[189] Sehingga dari teori sistem hukum yang dijelaskan oleh Freidmen cukup membantu model sistem peradilan pidana yang sesuai diterapkan di Indonesia, seperti yang diutarakan oleh Muladi mengenai model keseimbangan kepentingan dalam melakukan transformasi dan reformasi sistem peradilan pidana. Lihat Anthon F. Susanto, Wajah….Op.Cit., hlm 11

[190] Lihat KOMPAS, 26 September 2007, hlm 4

[191] Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos dalam bentuk tunggal yang berarti adat istiadat atau kebiasaan, dan te etha dalam bentuk jamak artinya adapt kebiasaan. Pengertian etika persis sama dengan pengertian moralitas, secara harfiah etika dan moralitas sama-sama terkandung sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia etika diartikan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. lihat Satjipto Rahardjo, Membedah…Op.Cit., hlm 215

[192] Saat ini adanya gejala perbuatan professional yang mengabaikan kode etik profesinya sendiri. Kecenderungan mengabaikan kode etik tersebut adalah: ada dua faktor intern yaitu faktor dari dalam diri si penilai seperti lemahnya iman dan faktor ekstern seperti; (1) pengaruh konsumerisme, (2) pengaruh jabatan, (3) pengaruh sifat kekeluargaan. Lihat Joni Emirzon, Etika Profesi Dan Pertanggungjawaban Perdata Jasa Penilai Aset Dalam Kegiatan Bisnis Di Indonesia, Makalah, PDIH, 04 Oktober 2005, hlm: 13.

[193] Kode etik yang disusun oleh kelompok profesi penegak hukum tersebut, haruslah memberikan norma yang membatasi apa yang seharusnya dilakukan dan seharusnya tidak boleh dilakukan bagi anggota kelompok profesi penegak hukum tersebut, sehingga memberikan ruang lingkup kewenangan untuk melakukan tindakan. Baca Sholeh So’an, Moral Penegak Hukum di Indonesia, Agung Ilmu, Bandung, 2004 hlm 195

[194] Baca Sidik Sunaryo, Sistem...,Op.Cit.,hlm 165-167

[195] Pengawasan yaitu sebagai segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan semestinya.

[196] Indepedensi lembaga peradilan tidak dapat dipisahkan dari berbagai faktor yang mendukungnya baik yang sifatnya internal meliputi struktur kelembagaan, hakim, dan peraturan hukum, maupun yang sifatnya eksternal yang meliputi kekuasaan, politik, dan kesadaran hukum masyarakat. Masing-masing faktor ini memberi peran yang berarti, tidak saja sebagai pengabsahan tapi juga mempresentasikan ciri tertentu serta mempertahankannya. Lihat Ahmad Mujahidin, Peradilan….Op.Cit,. hlm 33

[197] Anthon F. Susanto, Wajah….Op.Cit., hlm 53

[198] Akuntabilitas peradilan dapat terwujud apabila masyarakat dan peradilan bersama-sama membangun budaya pengawasan partisipatif berdasarkan kesadaran hukum. Akuntabilitas bukan berarti apa-apa jika tercerabut dari akarnya yaitu “masyarakat”. Akuntabilitas peradilan tidak hanya terkait dengan masalah tanggung jawab individual, tetapi juga tanggung jawab intitusional. Tanggung jawab individual menuntut adanya kematangan integritas moral dan hati nurani para pihak yang terlibat dalam penyelengaraaan/proses peradilan. Tanggung jawab intitusional menuntut adanya manajemen/ administrasi peradilan yang baik untuk menunjang pembangunan peradilan yang berkelanjutan. Lihat Anthon F. Susanto, Ibid. hlm 54-55

[199] Baca Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Milenium Ketiga, In-TRANS Publishing STIH, Malang, 2007 hlm 79

[200] Penegakan hukum yang mengandung prinsip proporsional adalah bagaimana penegakan hukum berjalan sedemikian rupa, sehingga yang tegak tidak saja aturan normatifnya (aspek kepastian hukumnya), tetapi juga aspek filosofisnya (aspek dan nilai keadilannya). Baca Sidik Sunaryo, Sistem...,Op.Cit.,hlm 217

[201] Baca Artidjo Alkostar, Reformasi Sistem Peradilan Pidana Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Selengkapnya lihat di http://www.legalitas.org/cetak/htm, 28/10/2007/11.45.

[202] Teori Pound mengenai kepentingan-kepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan suatu model kebijakan hukum responsif. Lihat Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, 2007 hlm 83-84

[203] Hal ini dilatarbelakangi oleh tidak adanya jaminan kepastian terhadap Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, persoalan-persoalan yang tersisa dari undang-undang ini adalah lagi-lagi kekuasaan kehakiman mengalami pembatasan, yakni terbatas pada kekuasaan mengadili yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam berbagai lingkungan peradilan. Selengkapnya lihat Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, RajaGrafindo Persada, Bandung, 2006 hlm 193.

[204] Baca Sidik Sunaryo, Sistem...,Op.Cit.,hlm 172

[205] Pembinaan meliputi pembaharuan system rekrutmen, pendidikan dan pelatihan, sistem promosi & mutasi.

[206] Lihat Ahmad Mujahidin, Peradilan….Op.Cit,.hlm 226

[207] Bagian ini telah dijelaskan pada, hlm 16 diatas

[208] Ahmad Mujahidin, Ibid. hlm 227

[209] Lihat Rusli Muhammad, Potret…Op.Cit., hlm 195

[210] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum “perkembangan dan metode masalah”, Muhammadiyah University Press, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002, hal ix.

[211] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 213.

[212] Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008, hal vii.

[213] Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang, 2007, hal 1.

[214] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum….Op.,Cit, hal 25.

[215] Kebutuhan suatu hukum agraria yang menjamin kepastian dan perlindungan hukum hak-hak masyarakat dirasakan sangat mendesak, dan sejak 24 September 1960 ditetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini lahir setelah melalui proses yang cukup lama, menganut unifikasi hukum dan berdasarkan hukum adat. Menurut Boedi Harsono hukum adat dijadikan sumber utama dan merupakan hukum aspiratif, dalam arti jika sesuatu hal belum diatur dalam peraturan maka yang berlaku hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. Lihat Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam… Op.,Cit, hal 4.

[216] Ibid.

[217] Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2006, hal xiv.

[218] Dalam lintasan sejarah, paham liberalisme berkembang marak di daratan Eropa sejak awal abad 17. Pada saat itu, negara-negara bangsa berkembang kian sekuler dan bersifat antroposentris. Dalam hubungan ini, ada kepercayaan bahwa vox populi, vox dei. Perkembangan negara bangsa seperti itu, serta-merta mengakhiri masa teosentrisme, yang percaya akan adanya hukum alam yang berlaku secara kodrati diluar kekuasaan rasionalitas manusia, sebagaimana dikenal dalam ajaran agama sebagai sunatullah.

[219] Data BPN Tahun 2003 bahkan menunjukkan bahwa selama kurun waktu sepuluh tahun (1983-1993) mayoritas petani (84 %) menguasai pertanian kurang dari 1 (satu) Ha dan hanya 16 persen petani menguasai lebih dari 1 (satu) Ha.

[220] Maria S.W. Sumardjono, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan, Kompas, Jakarta, 2007, hal 24.

[221] Ibid.

[222] Ibid.

[223] Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan…Op., Cit, hal 21.

[224] Maria S.W. Sumardjono, Alternatif Kebijakan...Op.,Cit, hal 27.

[225] Ibid.

[226] Apabila suatu bagian tanah sudah diberikan kepada warga maka harus dimanfaatkan dan dipelihara sehingga tindakan pembiaran/penelantaran suatu bagian tanah dapat dinilai menyalahi tujuan pemberian hak atas tanah tersebut. Penguasa adat mempunyai kewenangan untuk mengambil kembali tanah-tanah yang ditelantarkan tersebut dan mengalihkan kepada warga masyarakat lainnya untuk dimanfaatkan. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan…Op., Cit, hal 17

[227] Di negara-negara Barat, konsep fungsi sosial hak atas tanah sudah mendapat rincian dalam peraturan dan dilaksanakan secara konsisten, sedangkan di Indonesia masih sebatas konsep yang dituangkan dalam Pasal 6 UUPA namun hingga kini belum memasyarakat. Pasal 6 UUPA tidak menyatakan bahwa hak atas tanah adalah fungsi sosial, melainkan mempunyai fungsi sosial. Hal itu berarti ketentuan dalam Pasal 6 UUPA tetap berpangkal pada pengakuan adanya hak-hak perorangan atas tanah sesuai konsep hukum adat yang mendasari hukum tanah nasional. Dengan demikian, jika tanah yang dimiliki oleh seseorang secara individual dibutuhkan untuk kepentingan umum maka pengakuan atas hak individual tetap ada dengan memberikan ganti rugi yang timbul atas hilang atau tercabutnya hak atas tanah yang digunakan untuk kepentingan umum. Ibid.

[228] Rusmadi Murad, Menyikap Tabir Masalah Pertanahan, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal 87.

[229] Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1994, hal 65.

[230] Ibid.

[231] Sosiologi hukum adalah disiplin ilmu yang masih baru di Indonesia. Baru dalam tahun 60-an ia perlahan-lahan mencoba untuk menemukan sudutnya sendiri dalam akademika di negeri ini. Tiga puluh tahun sesudahnya entri-nya itu ia sudah tidak lagi merupakan disiplin ilmu yang kurang dikenal, bahkan di luar akademi sekalipun. Dalam media massa, kita sudah biasa membaca nama seseorang yang dikaitkan dengan keahliannya sebagai seorang sosiolog hukum. Lihat Saiffullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal 34.

[232] Abdurrahman, Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal 44.

[233] Ibid.

[234] Rusmadi Murad, Menyikap Tabir…Op.,Cit, hal 65.

[235] Ibid.

[236] Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.

[237] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006 hlm ix.

[238] Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, hlm 22-25.

[239] Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan..Op.,Cit, hal 49-50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar